Jumat, 01 Maret 2019

MANUSIA ITU HEWAN?


Suatu ketika, dalam sebuah obrolan, seorang sahabat berkata bahwa manusia itu juga bagian dari hewan. Manusia terikat dalam kebutuhan material dan psikisnya untuk memperoleh kenyamanan serta kelangsungan hidupnya. Ketika manusia didorong oleh kebutuhan itu, maka ia cenderung melihat dunia ini sebagai arena untuk berlomba dalam memenuhi kebutuhannya, tak peduli apakah orang lain pun akan berlomba demi kebutuhan yang sama. Dan memanglah, dunia ini lalu menjadi seperti hutan rimba yang menerapkan prinsip rantai makanan. Pihak pemenang adalah mereka yang mampu memakan lebih banyak dibandingkan yang lainnya. Demikianlah pemikiran sang sahabat itu.


Aku tidak langsung menyalahkan ataupun membenarkan pemikiran itu. Sebab aku pun yakin, bahwa selain manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan material dan psikis dasar itu, manusia tetaplah makhluk unik yang dilengkapi juga dengan akal budi serta hati. Jika ingin menelusuri lebih lanjut tentang keunikan manusia dari sisi akal budi dan hati, tentu kuliah filsafat manusia pantas untuk kembali dibuka diktat-diktatnya. Namun aku tidak akan tenggelam lagi dalam pergulatan tentang kenyataan multidimensionalnya manusia dari sisi filsafat manusia. Aku tidak akan memungkiri kenyataan bahwa manusia adalah makhluk multidimensi. Tapi aku juga tidak menyalahkan ungkapan dari sahabatku itu. Jika melihat lebih jauh, ungkapan sahabatku itu justru seperti suara kenabian untuk menyadari lebih lanjut tentang salah satu dimensi manusia, yakni sisi kehewanan manusia.

Hewan tidak dilengkapi dengan kemampuan untuk berpikir rasional dan berkehendak dari hati, karena hewan hanya disebut memiliki naluri saja. Naluri yang dimiliki oleh hewan adalah bertahan hidup dengan terhindar dari lingkaran rantai makanan. Naluri bertahan hidup ini kadang dilakukan dengan memakan hewan lain yang menjadi bagian dari dunia ini. Pilihannya adalah: aku dimakan atau memakan. Selalu saja begitu. Bagi mereka yang dimakan, berarti ia akan mati dan lenyap dari arena, sementara bagi yang memakan, akan bertahan hidup dan mampu memenuhi segala kebutuhannya untuk bertahan hidup. Lalu jika situasi ini ditempatkan pada hidup manusia sekarang ini, apakah bisa dipahami secara rasional?

Setelah mengalami permenungan singkat yang tidak terlalu rumit, aku lebih condong membenarkan pemikiran sahabatku tadi. Aku setuju dengan pernyataannya, bahwa manusia ini bagian dari hewan, dan merekalah yang menempati posisi tertinggi dari prinsip/siklus rantai makanan. Ketika mereka berada dalam posisi tertinggi, maka tidak ada lagi yang mampu mengalahkannya. Semua hewan dan makhluk di dunia ini tidak akan mampu mengalahkan manusia. Tetapi ketika mereka berjumpa satu sama lain sebagai tuan atas dunia, lantas mereka dihadapkan pada pertempuran untuk menjadi alpha bagi semua. Kecenderungan ini pun seolah menjadi alam bawah sadar dari setiap dinamika relasi antar manusia. Sistem relasi manusia pun secara samar namun pasti, didasari oleh adalah pertempuran ini. Dunia ini tetaplah dipahami sebagai medan pertempuran. Apabila sejarah telah mencatat terjadinya perang-perang dahsyat, ini juga dikarenakan oleh adanya dorongan dari kecenderungan untuk saling menguasai dan menempati posisi tertinggi. Jika tidak disadari, maka dunia ini akan terpuruk hingga dasar karena tak mampu lagi menampung pertempuran.


Marilah kita sejenak melihat lebih jauh, dimana pertempuran sedang terjadi dimana-mana di dunia ini. Ambil contoh saja: dalam sistem perdagangan, kepentingan bisnis selalu berorientasi pada profit atau keuntungan modal demi menguasai pasar. Inilah gambaran situasi sekarang ini dengan adanya perang dagang, mulai dari skala kecil hingga skala global. Perang dagang ini kadang tanpa menyertakan logika rasional serta daya nurani manusia yang timbul dari hati. Setiap detik, terjadi perang iklan demi penguasaan pasar. Itu contoh adanya prinsip rantai makanan dari segi kepentingan bisnis dalam dunia perdagangan. Masih ada contoh lain adanya pertempuran ini dalam bidang-bidang lainnya. Sebut saja misalnya dalam segi pertentangan ajaran kebenaran yang dibawa oleh pranata sosial bernama agama. Masing-masing agama dengan ajaran saling mengklaim bahwa ajaran agama tertentu lebih benar dan lebih menyelamatkan dibanding agama lain. Pertempuran pun terjadi, setiap orang yang yakin dengan ajaran agama tertentu tidak segan untuk memandang pihak lain yang tidak menjadi bagian dari agamanya sebagai rival yang harus ditaklukan. Logika rantai makanan kembali mengemuka, karena pertempuran itu haruslah dimenangkan. Aku harus memakan pihak lain atau aku akan dimakan; aku harus mempertobatkan pihak lain atau aku akan disesatkan. Demikianlah logika perhewanan manusia yang tengah merasuk dalam alam bawah sadar manusia, meski diluarnya dibungkus oleh dogma paling suci sekalipun. Senjata untuk memakan pihak lain bukan lagi taring, gigi, dan cakar, tetapi dogma-dogma yang diyakini sebagai kebenaran.

Tentu masih ada lagi contoh berlakunya prinsip rantai makanan ini dalam dinamika relasi antar manusia. Namun yang menjadi kegelisahanku sebenarnya adalah ketika prinsip itu mulai merasuk dalam relasi keluarga dan persahabatan. Tak jarang, antar sesama anggota keluarga, suami dan istri, terjadi saling memakan dan saling mengalahkan. Persahabatan yang adalah relasi unik dari manusia seringkali terlukai oleh naluri kehewanan ini. Ketika ditanya apa masalahnya, muaranya selalu pada hasrat untuk menjadi penguasa, atas segala-galanya, baik secara material maupun psikis. Tidak jarang kekerasan terjadi, baik secara fisik maupun verbal, terhadap sesama saudara dan sahabat. Lalu hendak kemanakah semuanya itu berujung? Apakah memang manusia ini diciptakan untuk saling memakan, saling menguasai, dan saling mengalahkan? Bahkan hiburan yang berdasarkan pada prinsip saling mengalahkan ini terbukti sebagai hiburan yang banyak sekali diminati oleh manusia. Berbagai macam pertandingan olah raga terbukti banyak diminati ketika ada drama tentang menang dan kalah. Kisah-kisah sinetron dan film selalu saja ada tokoh protagonis dan antagonis, dan sejarah kejayaan manusia sering disertai dengan lumuran, darah dan air mata. Selalu saja ada pemenang dan pecundang, si pemakan dan korban, pahlawan dan penjahat. Itukah sisi “kehewanan” manusia? Kesimpulanku tetap sama, aku tak akan membenarkan serta menyalahkan ungkapan itu. Bagiku, dunia ini adalah sebuah keluarga besar, dan bukan sebuah medan pertempuran. Itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar