Sabtu, 30 Maret 2019

Iblis Tidak Pernah Mati, Tetapi Harus Selalu Ada Orang yang Melawannya


Judul tulisan ini terinspirasi dari kumpulan cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma. Aku tidak akan mengulas kumpulan cerpen tersebut, namun bagiku, penggalan kalimat itu bisa dijadikan inspirasi bagi kita bangsa Indonesia saat ini, ketika kebenaran seolah-olah menjadi bahan permainan, dan godaan untuk saling bertikai di antara sesama anak bangsa seakan diambang pintu. Apakah kita akan membiarkan Sang Iblis itu masuk rumah kita?


Salah satu hal yang membuatku tergelitik untuk membuat tulisan ini adalah ketika aku menonton beberapa film genre perang yang terinspirasi dari kisah nyata. Salah satunya adalah film dengan judul Where Hands Touch. Film ini dibuat pada tahun 2018 oleh sutradara Amma Asante. Film ini menceritakan tentang kejamnya Hitler dengan Partai Nazi-nya ketika menguasai Jerman dan menghendaki Jerman dibersihkan dari segala ras yang bukan ras Arya. Dalam film itu, dikisahkan tentang seorang ibu, darah asli Jerman, yang memiliki dua anak. Satu anaknya, berdarah campuran karena si ibu mengandung dari seorang tentara Perancis keturunan Senegal yang menduduki kita Rhineland pada Perang Dunia I. Ketika meletus Perang Dunia II, si anak itu, Leyna Schlegel telah berusia 17 tahun. Di kota Rhineland, Hitler bersama Nazi mulai mengadakan pembersihan orang-orang yang bukan ras Arya, terutama keturunan Yahudi. Pada awalnya, hanya orang Yahudi saja yang ditangkap dan dikirim ke kamp, namun orang-orang negro dan keturunannya pun mulai diperlakukan sama dengan orang Yahudi. Si ibu pun berusaha menyelamatkan putrinya dengan membawa keluarganya ke Berlin. Namun di Berlin, keadaan tidak semakin membaik. Meski akhirnya si gadis menjalin hubungan cinta dengan seorang anak perwira Nazi dan seorang anggota Hitler Youth, namun hal itu tidak dapat mengubah situasi bahwa dia tetap terancam dari “pembersihan” itu.

Gadis itu, Leyna Schlegel, jelas-jelas adalah seorang Jerman tulen, meski bapaknya adalah seorang negro dan ibunya ras Arya asli. Namun ideologi Nazi dengan doktrinnya tentang pembersihan Jerman dari segala ras di luar ras Arya, telah membuatnya menjadi orang asing. Ia dipaksa untuk tidak mengakui jati dirinya, dan menganggapnya bukan bagian dari Jerman. Demikian pula yang terjadi pada orang Jerman keturunan Yahudi. Mereka ditangkap, dikirim ke kamp-kamp konsentrasi dan kemudian dibunuh, dilenyapkan. Ideologi Nazi telah membuat kemanusiaan berada dalam posisi serendah-rendahnya. Dan itu digunakan oleh Hitler bersama kawanannya untuk mempertahankan kekuasaannya. Berapa juta orang mati karena doktrin tersebut, dan berapa juta pula orang Jerman kehilangan hati nurani kemanusiaannya. Hitler dengan doktrin Nazi telah membutakan manusia terhadap martabatnya, dan mengijinkan Iblis berpesta pora hanya demi mempertahankan kekuasaan yang tak bermakna.

Kiranya, pola “pembersihan” semacam doktrin ideologi Nazi ini masih tetap ada, meskipun sekarang ini bentuknya berbeda-beda. Iblis masih saja bergentayangan mencari mangsa. Dan tujuannya adalah tetap sama, menempatkan martabat manusia pada posisi serendah-rendahnya. Alurnya pun bisa dibaca, yakni ketika manusia terpecah-pecah hanya karena berbeda golongan, berbeda warna kulit, berbeda status sosial, berbeda agama, dan berbeda kepentingan. Iblis mulai masuk melalui doktrin-doktrin itu. Setelah Jerman, ada beberapa negara yang dihinggapi Sang Iblis, sehingga banyak korban berjatuhan sia-sia. Yang paling jelas contohnya adalah Peristiwa Perang Saudara di Suriah. Sesama anak bangsa saling bertempur, sesama pemeluk agama Islam saling mengangkat senjata dan saling membunuh, dan saling menghujat, bahwa golongan satu lebih lurus, lebih benar daripada golongan lainnya. Dengan mengatakan bahwa darah orang lain yang berbeda itu halal hukumnya, Sang Iblis mulai melongok masuk ke dalam rumah hati orang-orang itu. Demikianlah kiranya Sang Iblis yang berpesta pora saat Perang Dunia II terjadi, mulai mengetuk pintu-pintu hati manusia sekarang ini. Jika diijinkan melangkah melewati pintu, maka terjadilah bencana perang, dimana kemanusiaan selalu diposisikan di titik terendah dalam kehidupan.

Di Indonesia, Sang Iblis sudah sering kali menyambangi, tapi mungkin kita hanya sekedar tahu, sekedar mengerti, namun tak paham apa yang harus dilakukan. Mulai sejak terjadi pertikaian tahun 1965, lalu muncul pemerintah Orde Baru yang terasa begitu diktator, hingga muncul era Reformasi dengan Demokrasi yang terlalu absurd. Pertikaian dan pertumpahan darah sering terjadi karena bangsa ini mulai tergoda dengan Iblis. Bahkan Iblis menjelma dalam doktrin-doktrin yang katanya suci, dengan menghalalkan membunuh sesamanya yang berbeda suku, berbeda agama, berbeda aliran. Ketika terjadi begitu banyak kasus intoleransi di bangsa ini, Iblis tengah mengatur strategi untuk kembali beraksi, dan sepertinya Iblis tidak pernah kehabisan cara. Berbagai macam hal dilakukan agar manusia mau mengikuti jebakannya. Ketika korupsi merajalela, ketika politik uang dianggap lumrah saja, ketika politik sektarian dan berhaluan radikal semi kekerasan tetap hidup tenang di negeri ini, Sang Iblis tengah menyusun kekuatannya. Kini, ketika hendak Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2019, sepertinya Iblis tengah mencari celah untuk mendeklarasikan diri ketika Indonesia ini ternyata mudah tergoda untuk dipecah belah. Caranya tentu dengan menebar Hoax tanpa henti, kebencian macam doktrin Hitler dengan intoleransi dan diskriminasinya. Sekarang ini, Iblis makin pintar, karena bersembunyi dibalik jubah-jubah dan kubah-kubah. Tempat-tempat ibadah digunakan untuk menebarkan kebencian, bahkan dengan tegas menyuruh memusuhi bangsa sendiri, saudara sendiri, karena berbeda pilihan calon pemimpin. Iblis memang tak pernah mati. Ia hanya seperti ular yang selalu berganti kulit, dan mungkin sekarang ini makin cerdik dan berbelit-belit. Kebenaran ditelikung sedemikian rupa, kejujuran digempur habis-habisan dengan iming-iming kekayaan dan kekuasaan. Tidakkah bangsa ini merasa? Dan Iblis akan semakin tertawa-tawa gembira, ketika manusia saling tuding, lantas mengatakan bahwa saudaranyalah yang kepanjingan/kerasukan Iblis.

Saudaraku, aku cuma mengingatkan, Iblis itu tak pernah mati, tapi harus selalu ada orang yang melawannya. Bukan dengan saling memecahbelah, saling menghakimi, membiarkan intoleransi dan diskriminasi, bukan dengan menebar hoax dan korupsi, bukan dengan saling bertikai dan berperang, tetapi dengan bersatu dan saling melayani. Apapun pilihanmu, janganlah membiarkan bangsa ini tenggelam seperti saat Jerman dikuasai Hitler, ataupun Suriah karena ISIS-nya. Lawanlah Iblis, agar selalu jayalah negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar