Senin, 25 Maret 2019

SANG KHIDIR: SEBUAH PERMENUNGAN


Beberapa tulisan tentang Nabi Khidir menceritakan hal yang sama tentang kisah perjumpaan dengan Sunan Kalijaga itu. Tetapi ada sesuatu yang membuatku tertarik ketika ada sebuah tulisan yang mencoba menjelaskan keberadaan dan identitas Nabi Khidir ini berdasarkan Alquran. Kisah tentang Sang Khidir dalam Alquran digambarkan dengan sebuah kisah misterius tentang seorang hamba yang oleh Allah SWT diberi rahmat dari sisiNya dan diberiNya ilmu. Kisah itu terdapat dalam surah al-Kahfi dimana ayat-ayatnya dimulai dengan kisah Nabi Musa: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: 'Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun." (QS. al-Kahfi: 60). Musa mengatakan hal itu kepada muridnya karena ia hendak berjumpa dengan hamba Allah yang diberi rahmat dari sisiNya dan diberi ilmuNya. Pertemuan dengan hamba Allah itu terjadi disebuah tempat dimana dua buah lautan bertemu. Mengenai tepatnya dimana tempat itu, tidak ada seorang pun yang tahu. Alquran pun tak pernah dengan jelas menyebutkan dimanakah tempat itu, demikian pula nama hamba itu. Al-Qur'an sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:


"Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. al-Kahfi: 65). Meskipun Nabi Musa adalah seorang Nabi yang bisa berbicara langsung dengan Allah, pemilik mukjizat tongkat dan tangan bercahaya serta Taurat diturunkan kepadanya tanpa perantara, namun dalam cerita ini, Nabi Musa digambarkan sebagai seorang sosok pencari ilmu yang sederhana, yang dengan tekun hendak belajar dari hamba Allah itu dan berhadapan dengan berbagai macam penderitaan selama belajarnya. Nama guru bijaksana itu tidak pernah disebutkan, serta tempat pertemuannya dengan sang guru pun tidak pernah diungkapkan dengan jelas. Sebab kisah ini memuat sebuah pesan tersembunyi tentang kebijaksaan Tuhan yang tidak bisa dimengerti begitu saja. Dalam Alquran, nama hamba Allah yang kepadanya Nabi Musa hendak berguru ini tidak pernah disebutkan, tetapi dalam hadist yang suci, disebutkan bahwa nama hamba itu adalah Khidir.
                Dalam kisah itu, Nabi Musa diceritakan tengah berbicara kepada umat Israel tentang kebenaran dan juga ajakan untuk menyembah Allah. Kata-kata nabi begitu tepat dan lengkap. Lalu setelah nabi Musa berbicara, ada seorang umat yang bertanya: “wahai Nabi, siapakah orang  di dunia ini yang ilmunya paling dalam?”. Dengan agak emosi, nabi Musa menjawab: “akulah orang yang ilmunya paling dalam”. Allah tidak berkenan dengan jawaban nabi Musa ini, maka Tuhan mengutus malaikatNya, Jibril untuk mendatangi nabi Musa dan bertanya: "Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah  meletakkan ilmu-Nya?”. Nabi Musa tersadar, ia terlalu tergesa-gesa memberikan jawaban. Lantas malaikat Jibril mengatakan bahwa sesungguhnya Allah  mempunyai seorang hamba yang berada di majma' al-Bahrain (pertemuan dua lautan) yang ilmunya lebih dalam daripada Musa. Jiwa nabi Musa yang merasa rindu untuk menambah ilmu, akhirnya berkeinginan untuk menemui hamba Allah itu dan bertanya dimanakah kiranya ia dapat menemukannya. Malaikat Jibril lantas mengatakan bahwa Musa dapat menemukan hamba Allah itu di sebuah tempat dimana dua lautan bertemu (majma’ al-Bahrain). Untuk menemukannya, Musa disuruh membawa ikan dalam keranjang. Apabila ikan di dalam keranjang itu hidup dan masuk ke air, disitulah ia dapat menemukan hamba Allah yang diberi rahmat dan ilmu dari sisi-Nya.
                Dalam tulisan itu dikisahkan, akhirnya Nabi Musa berangkat bersama dengan seorang pembantunya. Mereka membawa ikan di dalam keranjang sesuai dengan perintah malaikat Jibril. Setelah jauh berjalan, mereka berjumpa dengan sebuah batu besar di tepi pantai. Karena merasa lelah, Nabi Musa lalu tertidur. Saat Nabi Musa tidur, ikan dalam keranjang yang dibawa pembantunya itu tiba-tiba hidup dan melompat ke laut. Si pembantu menyaksikan peristiwa itu. Tetapi karena digoda oleh setan, si pembantu lupa memberitahu Nabi Musa. Setelah Nabi Musa terbangun, mereka melanjutkan perjalanan. Saat Sang Nabi merasa lapar, ia bertanya kepada si pembantu apakah ikan yang jadi bekal mereka bisa dimakan. Teringatlah si pembantu bahwa ikan itu kembali hidup dan telah melompat ke laut. Betapa girang hati Nabi Musa mendengarnya. Ia lantas mengajak pembantunya untuk kembali ke tempat dimana ikan itu hidup dan melompat ke lautan.
                Akhirnya Nabi Musa dapat berjumpa dengan Sang Hamba Allah. Pada pertemuan itu, Sang Hamba tidak mengatakan siapakah nama dirinya. Ia mengatakan kepada Nabi Musa bahwa Sang Nabi tidak akan mampu bersabar dalam mengikuti dirinya. Lalu Sang Hamba Allah mengajukan persyaratan jika Nabi Musa hendak mengikutinya, syaratnya adalah Sang Nabi tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan apapun hingga Sang Hamba menerangkannya sendiri. Dalam mengikuti perjalanan Sang Hamba, Nabi Musa mendapati peristiwa yang membuatnya melanggar persyaratan itu. Peristiwa itu antara lain: ketika berjumpa dengan seorang anak kecil yang lelah tertidur di tepi pantai, Sang Hamba Allah itu mendatangi si anak dan membunuhnya. Nabi Musa protes dan mengajukan pertanyaan. Sang Hamba Allah pun mengingatkan bahwa Sang Nabi sudah melanggar persyaratan. Lalu mereka melanjutkan perjalanan. Peristiwa kedua, ketika mereka naik ke sebuah perahu, Sang Hamba Allah perlahan-lahan merusak perahu yang tengah mengapung. Lagi, Sang Nabi mengajukan protes, kenapa Sang Hamba Allah merusak perahu, apakah  Sang Hamba Allah berniat mengajak bunuh diri? Lalu Sang Hamba mengingatkan kembali bahwa Sang Nabi sudah melanggar untuk kedua kali. Kali ketiga, Sang Hamba Allah mengajak Nabi Musa untuk membangun dinding sebuah rumah yang nyaris roboh. Siang malam Sang Hamba membangunnya hingga membuat Sang Nabi berpikir bahwa tindakan Sang Hamba itu hanyalah tindakan yang tidak berguna dan sia-sia. Nabi Musa protes sekali lagi hingga akhirnya Sang Hamba mengatakan bahwa itulah batas terakhir pertemuannya dengan Sang Nabi. Di akhir pertemuan itu, Sang Hamba hanya mengatakan bahwa segala tindakan yang dibuatnya bukanlah inisiatifnya sendiri melainkan inisiatif dari Sang Hyang Kuasa yang ditujukan untuk Nabi Musa. Ia hanyalah perantara dari Sang Hyang Kuasa itu yakni Allah.
                Cerita ini begitu menarik bagiku. Nama Sang Hamba Allah itu tidak pernah diungkapkan di dalam Al-Quran, tetapi seorang Nabi besar seperti Musa bahkan dengan rendah hati ingin belajar darinya dan mengikuti apa yang dikatakan oleh Sang Hamba. Aku mencoba mencari kembali apa artinya kisah tentang Hamba Allah ini. Lalu aku menemukan sebuah tulisan yang mengulas tentang cerita itu. Tulisan itu tentang tafsir Syekh Siti Jenar berkenaan dengan sosok Nabi Khidir. Bagi Syekh Siti Jenar, pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir, Sang Hamba Allah, seperti yang tertulis di Al-Quran bukanlah sebuah peristiwa sejarah. Peristiwa itu adalah peziarahan rohani yang berlangsung di dalam diri Nabi Musa sendiri. Tempat dimana Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir adalah perbatasan alam kasatmata dan alam tak kasatmata. Sementara pembantu Nabi Musa, yang membawa bekal makanan adalah simbol terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Selubung gaib yang menyelubungi manusia dari Kebenaran Sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, Sang Pembuka (al-Fattah). Pada saat Sang Nabi berjumpa dengan Sang Khidir, maka si pembantu tidak disebut-sebut lagi karena pintu menuju alam kasatmata sudah terbuka. Lalu bekal makanan yang dibawa oleh si pembantu memiliki makna pahala perbuatan baik yang berguna untuk bekal menuju tanah Surgawi (al-Jannati). Bagi para pencari kebenaran sejati, pahala perbuatan baik justru akan menghalangi penemuan Sang Kebenaran. Sebab apabila Sang Nabi ketika merasa lapar dan tahu bahwa ikannya sudah pergi lalu memerintahkan untuk mencari bekal lain, apalagi memburu ikan yang kembali hidup itu, maka Sang Nabi tidak akan pernah berjumpa dengan Sang Khidir. Artinya, dalam menuju kebenaran sejati, tidak diperkenankan memburu pahala dari perbuatan baik.
Menurut Syekh Siti Jenar, sosok Nabi Khidir adalah jati diri sejati di dalam diri manusia itu sendiri. Setiap manusia akan mengalami peziarahan rohani yang berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Nabi Musa bertemu dengan  Sang Khidir di alam tak kasatmata, yaitu alam yang tidak jelas batas-batasnya. Alam yang tidak bisa dinalar dengan kekuatan akal. Itu sebabnya,  Sang Khidir melarang Nabi Musa bertanya sesuatu dengan akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yang disaksikan Nabi Musa terhadap perbuatan yang dilakukan Khidir benar-benar bertentangan dengan hukum dan akal sehat yang berlaku di dunia, seperti melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah, dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar