Minggu, 31 Maret 2019

KACAMATA KUDA HIDUP BERAGAMA DI INDONESIA


Kasus ditolaknya warga yang beragama Kristen dimakamkan di tanah wakaf muslim di Mojokerto, pemotongan salib makam di Pringgolayan, DIY dan juga perusakan makam Kristen di Magelang beberapa waktu lalu menyisakan sebuah pertanyaan tentang krusial tentang toleransi hidup beragama di negeri ini. Apakah agama yang sejatinya adalah jalan hidup untuk mencapai kesempurnaan jiwa justru membuat bangsa ini saling terkotakkan dan terfragmentasi ke dalam kerangka surga masing-masing? Atau kenapa peristiwa itu harus terjadi sementara persaudaraan sebagai sesama manusia telah ada jauh sebelum agama-agama itu muncul? Menjadi semakin miris ketika dogma agama pun dikenakan bagi mereka yang telah meninggal sebagai sesama manusia? Dimanakah rasa kemanusiaan? Atau agama telah memperbudak kemanusiaan dan meletakkan kemanusiaan di sisi tepi yang sewaktu waktu bisa didorong masuk ke jurang? Lantas siapakah sesamaku manusia? Apakah sesamaku manusia hanyalah mereka yang se-bangsa, se-agama, se-jenis kelamin, dan se-aliran politik yang sama? Apakah surga juga sudah ditentukan bagi mereka yang beragama anu, sementara di luar agama anu semuanya akan menjadi penghuni neraka? Jika memang benar demikian, apakah ada bukti yang bisa menguatkan argumen tersebut sehingga berhak untuk mengkotakkan manusia ke dalam kotak-kotak tertentu antara surga dan neraka, termasuk bagi mereka yang sudah meninggal?


Kasus ini tentu menjadi keprihatinan kita bersama sebagai warga yang beriman dan beragama. Ketika setiap orang meyakini bahwa setiap agama membawa manusia kepada perjalanan menuju kepada Tuhan, mengapa lantas pada prakteknya, terdapat pemisahan yang begitu melukai martabat sebagai sesama manusia? Tidakkah martabat manusia lebih rendah dari agama? Peristiwa itu tentu akan menimbulkan pertanyaan demi pertanyaan yang tidak akan pernah habis. Untuk memperoleh jawaban, kita perlu mendalami kasus per kasus mengapa hal itu terjadi. Tentu juga harus dengan menyertakan pemahaman tentang posisi agama sebagai bagian dari pranata sosial yang mengelompokkan manusia ke dalam tatanan tertentu. Konteks sosial dimana dogma itu dihayati dan diterapkan juga perlu ditelaah lebih mendalam hingga menjadi nada dasar dari situasi sosial masyarakat yang menjadi locus terjadinya peristiwa tersebut.

Tidak bisa dipungkiri, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius. Dari sejarahnya, kehidupan sehari-hari dan sosial orang Indonesia tidak bisa terpisah dari penghayatan religius. Mulai dari sejak agama-agama dari tanah seberang belum masuk ke Nusantara, manusia Indonesia telah memiliki kebiasaan serta adat istiadat yang terkait dengan kepercayaan tentang adanya Yang Numinus (Tuhan). Meski orang Indonesia saat itu belum memahami apa itu monotheisme dan politheisme, namun kebiasaan religius dan kepercayaan terhadap Sang Misteri Agung Kehidupan itu telah ada. Dan ketika agama-agama dari tanah seberang itu berdatangan ke bumi Nusantara ini, sejarah menyatakan bahwa orang Indonesia dapat menerima dan menghidupinya dengan mengalir begitu saja. Lambat laun, kebiasaan dan kepercayaan ini semakin membawa bangsa ini untuk terbiasa mengatur hidup sosialnya berdasarkan kebiasaan serta kepercayaan tersebut. Indonesia era Kerajaan Hindu dan Budha telah membentuk identitas sosial  yang identik dengan keagamaan. Demikian pula ketika masuk agama Islam dan Kristen, bangsa ini seakan terkotakkan dengan kebiasaan dan kepercayaan itu ke dalam tatanan sosial yang berbeda-beda berdasarkan agama yang dianutnya. Pengkotakan ini terjadi karena pola pikir bangsa ini yang lebih lekat dengan hal religius daripada sekular. Cara berpikirnya lebih mengedepankan intuisi dan emosi daripada nalar atau logika. Maka, bagi mereka yang memiliki pola pikir sekular berdasarkan logika nalar tentu akan menjadi pribadi yang kesepian atau dianggap sebagai stranger (aneh/asing). Mereka dengan cepat akan dihakimi sebagai bukan bagian dari komunitas. Demikian juga yang terjadi pada kaum LGBT. Para kaum LGBT akan dianggap sebagai pesakitan karena memang dengan jelas dogma keagamaan menyangkal adanya realitas tersebut. Lambat laun, keyakinan ini menjadi laten dan iman dipisahkan dari akal sehat serta keadilan sebagai sesama manusia yang setiap orangnya unik. Agama menjadi alat yang menentukan apakah seseorang bisa dijadikan teman atau lawan.

Dengan pemahaman akan pengkotakan kelompok sosial atas dasar agama inilah, kasus terjadinya intoleransi di Indonesia ini dapat dipahami satu persatu. Lantas apakah ada yang salah dengan ber-agama atau ber-agama itu menimbulkan manusia bersalah? Tentu kesalahan  bukan terletak pada agama tetapi lebih kepada kurang sempurnya bangsa ini dalam menempatkan agama sebagai the path of becoming true human. Ibaratnya, penghayatan hidup beragama orang Indonesia kebanyakan masih seperti mengenakan kacamata kuda yang hanya mengenal satu arah saja. Jika demikian, arah yang tidak bisa dilihat melalui kacamata kuda itu, dengan mudah dikatakan sesat dan salah. Orang lain yang berada di luar komunitas agamanya akan dengan mudah dikatakan sebagai “orang yang berada di luar jalur keselamatan”. Parahnya, pemahaman ini dikenakan tidak hanya bagi mereka yang hidup tetapi juga bagi mereka yang mati. Tidakkah hal itu sungguh memprihatinkan?

Kasus yang terjadi di Mojokerto, Pringgolayan dan Magelang menurutku adalah bagian dari proses panjang tentang penghayatan hidup beragama gaya “kacamata kuda” ini. Meski dalam dogma tertentu mungkin mengatur tentang boleh tidaknya orang beragama lain dimakamkan di makam yang telah dikhususkan untuk agama tertentu, namun konteks hidup sosial kebersamaannya sebagai sesama warga bangsa jelas telah dibuang jauh-jauh. Dan biasanya, penghayatan hidup agama model “kacamata kuda” ini lebih sering terjadi pada masyarakat yang disitu terdapat adanya kelompok masyarakat dengan  “agama mayoritas dan agama minoritas”, apapun agamanya.

Peristiwa adanya pembedaan pemakaman antara agama satu dengan agama lainnya pernah aku jumpai di tempat aku tinggal selama kurun waktu tahun 2013-2018. Kasus yang terjadi hampir mirip dengan yang terjadi di Mojokerto, namun kebalikannya. Aku pernah tinggal di suatu masyarakat dimana mayoritas warganya adalah orang Dayak dan beragama Katolik. Tepatnya di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Perbandingan mayoritas dan minoritas ini bisa diterjemahkan demikian: 90% orang Dayak dan Katolik, sementara 10%-nya adalah orang Melayu dan Muslim. Meski dalam hal toleransi hidup sehari-hari terjalin dengan baik, namun soal makam, kedua masyarakat dengan identitas masing-masing ini memiliki makam yang khusus. Dengan sendirinya, orang Dayak Katolik memiliki makam khusus yang hanya diperbolehkan bagi mereka yang beragama Katolik. Apabila ada warga Muslim, meski orang Dayak, tetap dimakamkan di tempat lain: makam Muslim. Memang dalam aturan agama Katolik tidak pernah ada dogma yang mengatur tentang pemakaman Katolik, namun dengan sendirinya masyarakat telah membuat pembedaan ini berdasarkan kebiasaan, tradisi, identitas dan akhirnya soal kepercayaan beragama. Meski ada kemiripan dengan kasus di Mojokerto, namun sebenarnya kasus di Simpang Hulu, Ketapang, Kalbar ini didasari dengan pengertian dari setiap warganya tentang adanya perbedaan itu sejak awal. Dengan demikian, kasus penolakan-penolakan itu tidak pernah terjadi, meski tetap saja memisahkan antara komunitas agama yang berbeda-beda.

Pemisahan tentang makam itu terjadi pertama-tama bukan karena alasan agama tetapi soal menjaga tradisi dan identitas suku, meski akhirnya lalu dipertajam lagi oleh agama yang menegaskan bahwa hanya agama tertentu yang bisa menerima adat budaya nenek moyang mereka. Daripada identitas tradisi dan budaya ini luntur karena agama tertentu tidak mampu mengakomodasi, maka lebih baik diadakan pemisahan secara langsung. Adanya pemisahan ini mungkin bisa dikategorikan sebagai penghayatan agama model “kacamata kuda”, meski dengan kadar yang berbeda karena disertai dengan penguatan identitas tradisi dan budaya. Selain itu, pemisahan ini terjadi dengan dasar kesepakatan bersama dengan tidak saling menuntut ataupun menolak.

Meski pemisahan makam berdasarkan agama ini telah disepakati bersama demi tujuan saling memurnikan ajaran agama serta tradisi budaya masing-masing komunitas sosial masyarakat tertentu, adanya pengkotakan ini tentu tetap memiliki resiko terjadinya penghayatan agama semacam mengenakan “kacamata kuda”. Keberagaman yang tertuang dalam hidup sehari-hari akan digagalkan oleh kematian dengan dipisah-pisahkannya makam khusus oleh masing-masing kelompok. Akibatnya, apabila ada salah seorang dari kelompok minoritas benar-benar tidak memiliki akses yang memadai dari komunitasnya, ia tetap akan terpinggirkan dan terasingkan. Makam “umum” akan tinggal cerita, dan yang ada adalah klaim tentang sesama adalah mereka yang mati dengan tata cara seagama serta sekomplek makam. Bisa dibayangkan apabila satu keluarga dengan anggotanya yang menganut berbagai macam agama, tentu tidak mungkin ada yang namanya makam keluarga. Bahkan orang mati pun, masih dipisah-pisahkan oleh karena dogma. Sungguh memprihatinkan.

Pada akhirnya, toleransi yang terjadi lebih karena pihak mayoritas mendapatkan haknya sebagai kelompok mayoritas dan kelompok minoritas menerima begitu saja kenyataan itu sebagai dalih untuk menjaga keamanan dan stabilitas sosial. Apakah keadilan benar-benar dijunjung tinggi, hal itu tidak lagi diperdebatkan dan diperjuangkan lebih lanjut. Konsensus yang terjadi pun lebih didasari oleh kehendak untuk menjaga keamanan dan ketentraman, dan bukan atas dasar keadilan serta keanekaragaman. Semoga,  kasus-kasus penolakan pemakaman orang kristen di tanah wakaf muslim seperti yang terjadi di Mojokerto tidak terulang kembali. Semoga, kasus-kasus tersebut justru menjadi dorongan bagi segenap warga bangsa yang beragama dan beriman untuk semakin menjunjung tinggi martabat setiap manusia, dengan keadilan sebagai nilai utama yang pantas diperjuangkan oleh dan untuk setiap orang yang hidup di negeri ini. Sehingga menghayati agama, bukan seperti sedang mengenakan “kacamata kuda”, namun seperti kerjasama antara si buta dan si lumpuh yang menuntun dan menggendong agar sampai ke tujuan akhir, Sang Maha Kuasa, yang memberikan matahari dan hujan kepada segala makhluk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar