Kursus Bulan Pastoral hari kedua.
Pagi hari, aku mengawali dengan mengikuti Perayaan Ekaristi di Kapel, yang
kumengerti dimulai pada pukul 06.00. Tetap saja ada kemalasan yang tertinggal
di dalam jiwaku ini, yang akhirnya mengajak tubuhku untuk tidak segera beranjak
dari tempat tidur. Meski tidak terlambat, namun terasa begitu tergesa. Dalam
perayaan Ekaristi pun, aku tidak begitu fokus karena masih terasa demikian
ngantuk. Tetapi aku bersyukur karena aku boleh mengalami semua peristiwa ini,
boleh berjumpa dengan teman-teman pastor dari berbagai tempat di Indonesia ini.
Aku bersama teman-teman di Bulan
Pastoral ini merupakan angkatan ke-IV pada program yang diadakan oleh Pusat
Pastoral Yogyakarta ini. Aku mengikuti acara ini pun sebenarnya hanyalah bagian
dari ketaatanku sebagai romo diosesan Keuskupan Agung Semarang. Meski demikian,
setelah hari kedua ini, aku banyak belajar tentang kesediaan diri untuk terus
berbenah, tanpa merasa diri lebih dan penuh dari lainnya. Aku diajak untuk
memahami perjuangan dalam membangun komunitas, yang didasari dengan sikap
saling menerima, menghargai dan menyayangi secara tulus hati. Hal ini kurasakan ketika sessi yang dibawakan
oleh Bapak Frans Liem membuka pengalaman baru untukku tentang keunikan setiap
pribadi. Aku merasa bahwa diriku ini unik, demikian juga bapak Frans Liem yang
tetap juga memiliki keunikan. Dari
keunikan-keunikan itu, aku menemukan sebuah panggilan untuk terus berkarya
mewarnai dunia. Demikian juga para romo yang menjadi peserta dalam kursus ini.
Aku merasa disapa untuk terus mau belajar, dengan segala situasinya, bagi
pewartaan Kabar Gembira Tuhan.
Dari pagi hingga makan siang,
sessi diisi oleh dinamika Community Building-nya Bapak Frans Liem. Apa yang
disampaikan beliau begitu real di dalam hidup ini, tentang bagaimana membangun
komunitas yang sungguh-sungguh memusatkan diri pada kasih Kristus. Pemahaman
ini paling tidak menjadi salah satu referensi untuk mau terlibat dengan
paradigma yang terus mau dibenahi dalam rangka membangun komunitas yang baik. Setelah
makan siang, aku langsung tidur hingga pukul 15.00. Dan kemalasan itu tetap
saja ada di jiwaku. Akhirnya aku beranjak untuk mandi sekitar pukul 16.00,
memang tidak terlambat, namun mepet. Sessi berikutnya diisi dengan mengerjakan
tugas yang belum sempat diselesaikan tentang refleksi pribadi mengenai situasi
pastoral yang pernah dijalankan serta menemukan tantangan-tantangan pokok
pastoral yang dihadapi, maupun yang masih terus menjadi perhatian. Aku mulai
belajar untuk sedikit demi sedikit menyusun visi yang tidak tergesa serta tidak
melulu idealis, namun berdasarkan data serta discernment.
Dan dari pengalaman itu, aku
belajar untuk mendengarkan lebih banyak, turun ke lapangan dengan lebih tulus,
serta merencanakan sebuah pelayanan bukan berdasarkan kebiasaan yang terus
berlaku, tetapi yang sesuai dengan kebutuhan dari Sang Sabda itu sendiri, di
tengah konteks masyarakat yang berbeda satu sama lain dengan berbagai macam
keunikannya. Aku diajak untuk belajar sabar, tidak reaktif, dan setia dalam
mencintai. Dan itu artinya, aku diajak untuk menjadi pribadi yang mau
memperhatikan orang lain, menjadi pelayan, dalam konteks apapun. Jika akhirnya
harus berhadapan dengan pilihan untuk mati-matian dalam pelayanan, maka
kesanggupan itulah yang harus dipilih, dan diperjuangkan.
Pada penutup malam, setelah
sharing tentang tantangan-tantangan pokok pastoral, aku sempat berjumpa kembali
dengan romo Kieser, salah seorang dosen-ku yang bagiku inspiratif dalam
memperjuangkan sebuah gerakan. Mencintai sabdaNya adalah berbuat sesuatu, dan
bukan hanya memikirkan sesuatu.....................
lanjutken, Rm Ari
BalasHapusterima kasih, Berkah Dalem
BalasHapusRomo Ari, Apa kabar ? Berkah Dalem. salam frans lim 081318923024
BalasHapuskabaar baik pak, mohon maaf jika blog ini vakum begitu lama, karena ketiadaan sinyal internet di tempat saya bertugas, tetap semangat ya. Tuhan memberkati
BalasHapus