Hari ketiga mengikuti Bulan
Pastoral di Wisma de Mazenod Condong Catur ini kujalani dengan lancar. Pada
hari ketiga, kursus diawali dengan
Perayaan Ekaristi secara berbeda oleh Romo Kieser, bertepatan dengan Hari Raya
Rasul Thomas. Dalam perayaan ekaristi, kami diajak untuk merefleksikan
perutusan Thomas, yang percaya pada Kristus. Aku agak tidak dapat mengikuti
perayaan itu karena aku demikian ngantuk, dan entah kenapa seolah aku masih
saja merasa enggan untuk terus bersemangat.
Setelah perayaan Ekaristi, sessi
hari ini berlanjut dengan sessi oleh Mgr. Situmorang, yang berbagi gagasan
tentang tantangan pastoral nasional di Indonesia. Dengan bersemangat, mgr
menerangkan tentang sikap pastoral yang pada dasarnya selalu lokal, personal
dan kontekstual. Pastoral selalu
berpusat pada Kristus dan GerejaNya. Pembicaraan menjadi semakin menarik karena
banyak romo mengungkapkan pengalamannya dalam berpastoral di tempatnya
masing-masing dengan tantangannya yang juga beragam. Mgr Situmorang menjawab satu persatu pertanyaan
tersebut, mulai dari persoalan tentang perkawinan adat, kelapa sawit, dan juga
soal betapa Gereja juga harus kritis dengan sikap birokratis yang mulai muncul.
Dan tanggapan-tanggapan yang muncul pun sesuai dengan pergulatan masing-masing
tempat di dalam menjalankan pastoral dengan baik demi perkembangan Gereja.
Sessi dari Mgr. Situmorang
diakhiri dengan makan siang. Dan setelah makan siang, aku keluar sebentar untuk
mencari ATM Danamon demi menransfer uang dari Komisi Liturgi Keuskupan ke
Komlit Kevikepan untuk kegiatan parade kor besok tanggal 7. Aku menyadari bahwa
kegiatan kursusku dalam Bulan Pastoral ini menuntut konsentrasi yang tidak
terbagi, namun aku terkadang masih
merasa begitu asing dengan hal-hal ini. Rasanya aku memasuki sebuah dunia yang
baru dan tak mudah dipahami; meski juga merupakan bagian dari hal yang
menyegarkanku. Aku teringat, pada hari ini pula, tanggal 3 Juli 2013,
teman-teman angkatan mengadakan pesta ulang tahun imamat, di rumah Romo
Hartanta, sekaligus merayakan ulang tahun perkawinan orang tua romo Hartanta
yang ke-40. Syukur atas panggilan ini, yang meskipun aku masih saja tidak
mengerti mengapa semua terjadi, namun tetap memberi arti untuk tidak mau diam
di tempat.
Sore hingga malam, sessi
dilanjutkan dengan sharing kelompok tentang tantangan pokok pastoral di
Indonesia, berikut alasannya mengapa demikian. Sebagian besar kelompok masih
tetap menjawab persoalan itu dengan jawaban yang telah ditemukan pada hari
sebelumnya. Meski begitu, pada sore hari itu mulai dipertajam dengan alasan
serta analisis secukupnya mengenai tantangan pokok tersebut. Akhirnya setelah
terjadi beberapa diskusi yang cukup hangat, acara ditutup dengan mendengarkan
analisa ataupun catatan dari Romo Madya Utomo, SJ. Kiranya pastoral membutuhkan
kesabaran, ketekunan, kerja keras, dan kerendahan hati untuk terus belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar