Pada hari ini, kursus Bulan
Pastoral 2013 membicarakan tentang persoalan diskriminasi berdasarkan gender di
masyarakat. Dengan narasumber Ibu Yustina Rostiawati, kami para peserta diajak
untuk memahami tentang gender dan juga segala realitas yang tinggal, mengemuka,
serta kompleks di dalamnya. Pada awal pembicaraan, aku merasa agak tidak bisa
mengikuti, karena alur yang dibuat menjadi sedemikian rumit. Kita disuruh
mendiskusikan tentang nilai-nilai serta ajaran tradisi yang muncul pada saat
masa kecil, remaja hingga dewasa. Nilai-nilai dan ajaran serta tradisi itu
ditelaah sebagai bagian dari proses pembagian peran-peran yang dikonstruksikan
oleh masyarakat tentang pria dan wanita. Di dalam konstruksi tersebut, terdapat
hal-hal yang membelenggu kaum tertentu dan telah sedemikian terkristalisasi
hingga berciri diskriminatif.
Tema yang dibicarakan sebenarnya
tidak sangat jauh dari kehidupan sehari-hari terkait dengan keadilan antara
laki-laki dan perempuan, namun telaah yang dibuat tidak serta merta mudah untuk
dilakukan. Kita semua diajak untuk jeli, kritis di dalam menyadari realitas
gender itu di tengah hidup masyarakat. Sebab di dalam berpastoral, kita
berhadapan dengan dunia kongkret, yang pasti nyata di tengah dunia. Dalam
mengikuti sessi tersebut, aku merasakan begitu banyak kebingungan, karena tidak
sungguh mudah memahami adanya realitas ketidakadilan itu. Kita semua diajak
untuk lebih kritis di dalam melihat suatu persoalan tentang keadilan.
Meski begitu, aku berusaha untuk
memahami satu persatu, dan mencoba untuk memetakan pemahaman itu di dalam
benakku. Meski tidak sempurna dalam memahami, paling tidak aku menangkap bahwa
persoalan pastoral itu menyangkut soal pendampingan, perjuangan menjadi seorang
sahabat yang terus ada di antara mereka, hingga akhirnya mereka tetap terus
melanjutkan hidup. Pastoral pun bukan untuk menjawab serta menemukan semua
solusi dari setiap persoalan, namun lebih dalam pendampingan yang tidak
berkesudahan agar orang lain pun menemukan solusi dari setiap persoalan. Di
samping itu, pastoral mengajak kita untuk mau belajar dalam memahami, peka
terhadap situasi, menentukan langkah-langkah pendampingan, dan kemudian gerakan
pencerahan yang mungkin bisa dibuat.
Sessi ini terus berlanjut hingga
malam. Penutup sessi ini adalah dengan menyaksikan film Pertaruhan. Aku punya
filmnya, namun belum sungguh-sungguh menyaksikannya. Setelah menyaksikan kisah
pekerja seks di Gunung Bolo, Tulungagung, aku diajak untuk memahami lebih jelas
lagi tentang adanya ketidakadilan yang nyata di sekitar kita. Ketidakadilan ini
menjadikan mereka yang berada di posisi paling lemah dan rendah, akhirnya
menjadi korban. Hal ini jelas dialami oleh para perempuan miskin dan tidak
berpendidikan. Sehingga, untuk mempertahankan hidup ini, mereka seakan
mempertaruhkan hidup mereka sendiri.
Dari sessi ini, paling tidak aku
diajak untuk mau mendengar, mau melihat, mau memahami, dan kemudian menganalisa
yang obyektif dan jernih, tentang persoalan-persoalan ketidakadilan yang
terjadi. Hal ini amat penting sebagai bagian dari kasih pastoral (caritas
pastoralis) yang bersentuhan langsung dengan realitas penderitaan di
tengah-tengah umat. Terima kasih atas refleksi yang boleh digulati selama
sehari ini tentang gender bersama ibu Yustina, semoga aku semakin mau dan
mampu untuk terus belajar dalam
mewartakan karya kasihNya di tengah-tengah dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar