Hari ini, aku merasa cukup
senang, karena tidak mempersiapkan kotbah hari Minggu, dan kami kunjungan ke Paroki Sumber untuk
mengikuti Ekaristi di sana serta berdialog dengan masyarakat serta budaya di
sana. Ada peristiwa unik pada minggu ini. Meski kami berangkat agak pagi, dan
sampai di Makam Romo Sanjaya sesuai dengan rencana, namun berangkat ke Wilayah
Lor Senowo tidak bersama-sama, dan akhirnya terjadi kebingungan di antara dua
mobil tersisa. Ekaristi yang rencananya diadakan pada pukul 08.00, akhirnya
mundur menjadi pukul 08.30. Aku merasa bersalah karena aku yang dipasrahi untuk
menunjukkan jalan di tim-nya Romo Prima juga tidak mengerti jalan persisnya.
Sepanjang Ekaristi, aku merasa bersalah. Namun biarlah semua itu terjadi,
sebagai bentuk pembelajaran untuk yang akan datang supaya lebih terencana dan
diupayakan dengan baik.
Acara di Sumber sungguh menarik,
diadakan dialog antara para romo dengan umat Sumber dalam rangka memperjuangkan
iman sesuai konteks hidup masyarakat serta alam sekitar. Aku terkesan dengan
upaya-upaya mereka, terlepas dari benar tidaknya secara hukum dan aturan
Gereja. Paling tidak perjuangan mereka telah membentuk persekutuan
paguyuban di antara mereka sendiri.
Dengan begitu, setiap orang pun bergerak, berseri, tumbuh dan berjuang demi
hidup sekitarnya. Acara diselingi dengan penampilan kesenian dari anak-anak
serta orang dewasa yang menarikan tarian kuda lumping (namanya lupa). Kesenian
kuda lumping yang ditampilkan itu
merupakan hal yang baru bagiku, karena aku belum pernah menyaksikannya. Di
samping itu, acara itu didatangi juga oleh tokoh dialog dari kaum muda NU yang
terkesan sudah sering berjuang tentang keselarasan hidup bersama di tengah
masyarakat serta alam sekitar Merapi.
Setelah selesai makan siang,
acara dilanjutkan dengan berkunjung ke Gardu Pandang Merapi di Babadan. Baru
sekali itu pula aku mendatangi tempat itu. Memang indah dan begitu dekat dengan
Merapi. Merapi yang terlihat indah itu, menyimpan sebuah misteri keagungan alam
yang kan selalu menampakkan kebaikan hatiNya, bagi siapapun yang mau bersahabat
dengannya. Aku mengambil gambar beberapa kali, dan disuguhi oleh pertunjukkan
gratis seseorang yang suka akan olahraga ekstrim motor trail. Setelah itu, kami
semobil: Rm. Prima, Rm. Warno, Rm.Harris, Rm. Karel, Rm.Devanto dan aku
memutuskan untuk ke Sendangsono. Melewati Muntilan, kami mengarah ke Pegunungan
Menoreh, menuju Sendangsono. Sesampai di Sendangsono, langsung ke warung dan
makan, hehehe. Setelah makan, dilanjutkan berdoa dan memotret sebentar. Lalu melanjutkan
perjalanan ke Jogja.
Sesampai di Condong catur, aku
mandi, dan duduk melihat hasil fotoku. Setelah membuat renungan, dan
menyelesaikan pilihan untuk foto-foto itu, aku menulis tulisan ini. Ada banyak
rasa yang kurasakan malam ini. Aku merasa kangen, aku merasa bosan, aku merasa
teduh, aku merasa dikejar-kejar oleh impian, aku merasa sepi, aku merasa
dicintai, aku merasa ditinggalkan, aku merasa tidak mendapatkan apapun, aku
merasa harus rela terhadap segala hal. Semuanya menghambur menjadi satu. Dan
aku harus menerimanya, apapun yang terjadi. Itu seperti ketika aku ingat bahwa
aku harus berdoa bagi setiap orang yang meminta doa padaku, kapanpun, dalam
situasi apapun. Dan biarlah semuanya itu ada, memang demikianlah adanya. Syukur
kepada Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar