Kursus Bulan Pastoral pada hari
ini cukup menarik. Tema yang diangkat adalah soal dialog dengan agama Islam.
Setelah kemarin mencoba mengenali tantangan-tantangan dialog sosial
anthropologis budaya yang sering kali menjadi konflik serta pertikaian, hari
ini diajak untuk mengerucut lagi tentang persahabatan dengan saudara-saudari
kita muslim yang tentu memiliki pandangan beranekaragam dalam menghayati
imannya serta dalam memandang agama non-muslim. Hari ini, kita semua dibantu
oleh ibu Fatimah Husein, seorang ibu dosen UIN Kalijaga dan juga UGM tentang
kajian Islam di Indonesia. Pada awal pemaparannya, ibu Fatimah mengajak kita
semua (para peserta Bulpas) untuk menelusuri kembali hal-hal sejarah yang masih
menjadi alasan bagi saudara muslim untuk tetap tidak toleran dengan saudaranya
yang non muslim. Salah satu hal tersebut adalah sejarah dihapusnya 7 kalimat
dalam Piagam Jakarta.
Setelah itu, secara cerdas, ibu
Fatimah mengajak kita semua untuk berpikir kritis terhadap penghayatan agama, tanpa
harus mengalami reduksi iman ataupun bersikap ekslusif terhadap agama sendiri.
Inilah salah satu buah dari pendidikan, ketika manusia mulai memiliki sikap
terbuka, meski bukan untuk mengobral keyakinan, tapi untuk menjadi saksi atas
keyakinan imannya. Pendidikan telah mengubah ibu sedemikian rupa, sehingga
memiliki pandangan yang amat baru dalam menjalani hidup, agama, prinsip
universal, serta dalam menanggapi setiap persahabatan yang mulai muncul di
tengah ancaman fanatisme golongan agama tertentu.
Beberapa kali aku bertanya pada
ibu Fatimah, karena memang pengalaman real di masyarakat Jawa pada khususnya,
akan sangat sering terjadi, yakni soal dialog dengan saudara muslim. Aku merasa
perlu untuk terus menemukan pintu dialog, dengan siapapun, di tengah situasi
apapun, dengan karakter apapun, dengan resiko apapun. Pada sessi ini, paling
tidak aku diajak juga untuk selalu kritis dengan pemikiran diri sendiri, sikap
diri sendiri, dan juga setiap pandangan yang muncul sebagai pandangan
subyektif. Memang pandangan subyektif itu orisinil, namun perlu untuk terus
menerus dikritisi sesuai dengan prinsip nilai-nilai universal.
Sore hari, sessi dilanjutkan
dengan ulasan Romo Heru Prakosa tentang Islam di masyarakat Indonesia.
Menyambung pembahasan dari ibu Fatimah, Romo Heru mengungkapkan tentang
keberanian untuk terbuka pada agama lain menjadi bagian dari perjuangan
iman. Romo menunjukkan pada kita semua
tentang perlunya belajar percaya, dan membangun persahabatan dengan ‘yang
lain’. Memang tidak sesederhana seperti yang dipikirkan, namun kenyataan ini
menjadi hal yang menantang iman kita untuk terus mengupayakan persaudaraan
sejati.
Diajak untuk berpikir sedemikan
banyak tentang realitas-realitas hidup sebagai tantangan pastoral ke depan, aku
sungguh merasa begitu bodoh dengan itu semua. Aku merasa tidak mampu untuk
mencerna semuanya, namun paling tidak ada sesuatu yang tetap tinggal di dalam
jiwaku, sebagai bekal untuk melangkah dalam perjuangan mengkomunikasikan Allah
di dalam nilai-nilai universal itu bagi siapapun juga. Mungkin juga karena
ketidakmampuanku ini, aku tidak bisa setia untuk terus memperhatikan
narasumber. Aku lebih banyak sibuk dengan diri sendiri, dan menulis kembali
novelku yang sempat tersendat. Aku sadar, aku ingin menyelesaikannya, namun aku
kadang tak mengerti harus melanjutkannya seperti apa. Semoga, iman membantuku,
juga termasuk dalam menghadapi hal-hal yang tak pasti, yang membahayakan,
bahkan mematikan. Dan biarlah dalam menghadapi itu semua, aku boleh memiliki
hati, seperti hati-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar