Awal hari dimulai dengan
merayakan perayaan ekaristi bersama. Masih dengan model liturgi yang
dipersiapkan oleh Romo Kieser, setiap hari Senin, Rabu dan Jumat. Setelah
Ekaristi, dilanjutkan sarapan dan mulai masuk ke sessi pada jam 08.00. Tema
sessi hari ini adalah Imamat dalam perkembangan sejarah Gereja hingga Konsili
Vatikan II. Seluruh sessi dipandu oleh Rm. Madya Utama, SJ. Kami tetap duduk
manis mendengarkan ulasan dari Romo Madya tentang sejarah imamat di dalam
Gereja Katolik. Sessi ini merupakan kelanjutan dari Sessi sebelumnya, yakni
dari Romo Indra, tentang imamat menurut Kitab Suci (PL dan PB). Secara khusus,
Romo Madya menggarisbawahi tentang perubahan konsep imamat ‘sacerdos’
(imam kultis) ke ‘minister’
(pelayan). Dengan data-data sejarah yang disajikan secara singkat namun runtut,
Romo mengungkapkan tentang dinamika perubahan konsep imamat dalam sejarah
Gereja. Aku mengikuti dengan agak tertatih, karena menyadari bahwa daya
tangkapku terbatas, tapi aku mencoba untuk terus mengikuti semampuku.
Ketika alur sejarah dalam
pemaparan itu mulai memasuki babak Konsili Vatikan II, Romo Madya mengajak para
peserta untuk berefleksi mengenai kelima bidang pastoral Gereja. Refleksi itu
terkait dengan sejauh mana para imam ini melaksanakan pelayanan di dalam
bidang-bidang itu, untuk melihat proporsi serta prioritasnya, agar semakin
menjadi pelayan yang sungguh handal. Beberapa pertanyaan yang diolah antara
lain sebagai berikut:
1. Sebagai
orang yang menerima tahbisan, Apakah yang selama ini (sudah) Anda lakukan, di
bidang:
a. Koinonia
(Persekutuan)
b. Kerugma
(Pewartaan)
c. Diakonia
(Pelayanan)
d. Leiturgia
(Liturgi)
e. Poimenik
(Kesaksian)
2. Berapakah
waktu yang Anda sediakan untuk masing-masing
bidang?
3. Apakah
dampak dari yang Anda lakukan itu bagi kehidupan?
Kami mendiskusikannya dalam
kelompok dan membagikan pengalaman serta pergulatan dalam memperjuangkan
pelayanan pada kelima bidang itu. Dan sebelum makan siang, kami diberi teks
tentang imamat dan juga pedoman pembinaan calon imam tingkat seminari tinggi.
Teks itu diharapkan dibaca sebelum pertemuan
pada sessi sore harinya. Dan aku pun jatuh tertidur, tanpa sempat
membacanya.
Pada Sessi sore hari, Romo
Madya mengulas tentang kedua teks tersebut yang mengungkapkan tentang konteks
Indonesia serta citra imam yang diharapkan. Satu hal yang amat membekas adalah
ketika diungkapkan bahwa menjadi imam hendaknya menjadi seperti Kristus sendiri
di tengah konteks hidup umat yang beraneka ragam dan dengan tantangan yang
tidak mudah untuk dihadapi. Romo Madya mengungkapkan tentang bagaimana hidup
Yesus yang sungguh membawa kebebasan bagi setiap jiwa, memperbarui segala hal,
memperdamaikan siapapun juga. Akhirnya aku bertanya soal keberanian untuk teguh
pada komitmen terhadap kebenaran. Sebagaimana Yesus, aku teringat kisah Romo
Toro yang berjuang bersama dengan umat Tanjung Selor yang dirampas tanahnya
oleh Perusahaan. Ancaman pembunuhan menjadi konsekuensi yang tidak ringan,
namun dipilih karena Yesuslah yang menjadi acuan dasar dan utama. Dan untuk
itu, perlu dibangun relasi yang erat dengan Allah dalam Kristus oleh Roh Kudus.
Akhirnya, aku menyadari, bahwa
menjadi imam adalah bukan soal kesuksesan dalam melaksanakan tugas-tugas,
tetapi soal kesetiaan dalam terlibat menghadirkan Kerajaan Allah, dalam
kebersamaan, dalam dinamika, dalam perjuangan yang tidak pernah berhenti,
hingga Tuhan sendiri yang menyatakan bahwa waktu kita sudah habis. Aku ingin
menjadi sahabat bagi siapapun, itulah citra imam yang saat ini tinggal dalam
diriku. Sebagaimana Yesus, Sang Sahabat sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar