Sabtu, 13 Agustus 2011

Bekerja dengan prinsip ‘asal bapak senang’. Sesuaikah dengan iman Kristiani?



Ilustrasi
Pada zaman dahulu kala, seorang raja ingin menikahkan putrinya dengan seorang pria yang layak. Sang raja lalu mengadakan sayembara bagi para pria yang mampu mencuri sesuatu dari dalam istananya yang dijaga ketat, tanpa ketahuan oleh siapa pun. Pemenangnya berhak untuk menikahi putrinya.  Dalam kurun waktu yang ditentukan, banyak pemuda mengikuti sayembara ini dan menunjukkan kebolehannya. Mereka mengerahkan berbagai kelihaian dan kesaktian untuk menerobos penjagaan ketat di istana. Pada hari penentuan, para peserta dikumpulkan.  Pemuda pertama dipanggil menghadap raja dan ditanya hasilnya, ia menjawab, Saya mencuri batu rubi ini dan tak seorang pun di istana yang mengetahuinya.Raja menjawab, bukan kamu pemenangnya.  Pemuda kedua maju, semalam saya mengambil kereta kencana dan membawanya keluar gerbang, para penjaga saya buat terlelap semua, tak ada yang melihat saya. Raja mempersilakan peserta itu duduk kembali.  Dengan percaya diri, peserta berikutnya menghadap, ampun Paduka, sayalah yang mengambil mahkota Paduka dari kamar Paduka, dan seluruh barisan pertahanan istana tak ada yang menyadarinya. Raja hanya menggeleng.  Semua orang jadi bingung, karena masih saja belum ada yang dinyatakan sebagai pemenang.  Akhirnya, seorang pemuda menghadap dengan tangan kosong dan berkata, saya tidak mendapatkan apa pun. Raja menjawab, mengapa? Pemuda tersebut menjawab, sungguh tidak mungkin kita bisa mencuri tanpa ketahuan oleh siapa pun, karena setidaknya selalu ada satu orang yang mengetahuinya, yaitu diri kita sendiri.  Raja pun tertawa lebar dan menyambut sang menantu barunya. Betapa damai dan membahagiakannya dunia kita ini, jika setiap orang mengindahkan suara hatinya.  Pada dasarnya nurani setiap orang adalah bersih adanya. Di dalam hati kita, setidaknya selalu ada rasa malu untuk berbuat buruk dan rasa takut akan akibat berbuat buruk. Suara hati yang bersih adalah penjaga dunia sejati. Masalahnya, apakah kita memelihara dan mengindahkan suara hati kita atau tidak.



Uraian:
Dalam cerita tersebut, kita diajak untuk belajar berani mendengarkan hati nurani, sebab di dalam hati nurani yang paling dalamlah, Tuhan bersemayam. Dalam Gaudium et Spes (Dokumen Gereja Katolik dalam Konsili Vatikan II yang berbicara tentang Gereja dan Dunia) artikel 16 disebutkan bahwa: Di lubuk hatinya manusia menemukan hukum, yang tidak di terimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa   yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggema dalam lubuk hatinya: jalankanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah,  yang  sapaan-Nya  menggema  dalam  batinnya. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan  dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama. Atas kesetiaan terhadap hati nurani Umat kristiani bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak  persoalan  moral,  yang  timbul  baik  dalam hidup perorangan maupun dalam hidup kemasyarakatan. Oleh karena itu semakin besar pengaruh hati nurani yang cermat, semakin  jauh  pula  pribadi-pribadi  maupun  kelompok-kelompok  menghindar  dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka berusaha untuk  mematuhi norma- norma kesusilaan yang objektif. Akan tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi, tanpa kehilangan martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang orang, yang tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta.


Sebagai umat beriman, kita sungguh yakin bahwa Allah berkenan tinggal dan bersemayam di dalam lubuk hati nurani kita. Ia menjadi hukum terutama di dalam hidup kita yang harus kita taati. Di dalam lubuk hati terdalam dari diri kita, Allah berkenan tinggal dan bersabda. Kekuatan hati yang bersih ini pulalah yang akan membawa kita lebih bijaksana dalam menjalani hidup, termasuk dalam karya dan tugas perutusan kita.
Di dalam hidup harian, kita sering berjumpa dengan hukum-hukum yang mengatur kehidupan bersama, ataupun aturan-aturan lainnya, termasuk juga dalam dunia kerja. Sebagai bagian dari sebuah sistem masyarakat tertentu atau lembaga tertentu yang memiliki aturan hukum, kita harus mematuhi hukum-hukum tersebut. Namun apakah hukum-hukum tersebut sifatnya mutlak? Jika kita hidup sebagai seorang tentara, hukum dan ketaatan ini tuntutannya mutlak untuk ditaati. Namun sebagai umat beriman, apakah memang benar demikian? Tentu tidak. Hukum yang mutlak harus ditaati adalah hukum Allah sendiri yang telah tertulis di dalam hati nurani kita yang paling dalam, paling bersih. Dengan demikian, hidup yang hanya didasarkan pada ketaatan buta pada aturan-aturan luar, sering membuat kita tidak dapat menghayati tugas dan peran kita sebagai umat beriman secara optimal.

Dengan demikian, hidup yang berprinsip ‘asal bapak senang/atasan senang’ adalah hidup yang ‘tidak mendalam’. Sebab prinsip hidup demikian pasti memiliki motivasi yang lebih mementingkan diri sendiri: agar diri sendiri selamat, tidak mau melakukan sesuatu yang lebih, agar diri sendiri dipandang baik dan patuh sementara dirinya tidak berani mengambil resiko demi memperjuangkan sesuatu hal yang bernilai lebih luhur.
Dengan berani mendengarkan serta taat pada hati nuraninya yang paling dalam, kita diajak untuk mampu berkarya lebih, mau dan berani untuk menjadi ‘perpanjangan tangan-Nya’ meski harus menghadapi resiko yang tidak ringan.
Itu semua berdasarkan pada anugerah Allah atas kebebasan manusia. Kebebasan manusia memiliki dimensi tanggung jawab atas perjuangan kebenaran dan keadilan. Dan tujuan akhirnya adalah menjunjung tinggi martabat manusia demi memuliakan Allah. Dan manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Allah. Aturan dan hukum pertama-tama dibuat demi tujuan mengangkat martabat manusia ini, bukan demi kekuasaan satu atau sekelompok orang. Ketaatan yang diberikan dalam mematuhi aturan atau hukum tertentu pun tidak berdasarkan pada prinsip “asal bapak senang” namun lebih pada pilihan pribadi yang bebas demi kebaikan semua orang. Kebebasan ini memampukan kita untuk bertanggungjawab atas setiap pilihan hidup kita demi kebaikan dan kebenaran. Dan itu semua bersumber dari dalam hati nurani kita yang paling dalam dan paling bersih sebagai seorang manusia.
Apa yang diungkapkan dan dilakukan Yesus dalam Matius 12:1-14 ini adalah contoh bagaimana Ia tidak sekedar taat mutlak kepada hukum luar, namun taat kepada hukum Allah yang terletak di dalam hati nurani-Nya yang paling dalam, dimana Allah bersemayam dan bersabda. Ia tidak seperti orang-orang Farisi yang hanya taat hukum luar karena di dasari oleh ketakutan. Yesus berani berjuang berdasarkan hati nurani-Nya yang paling dalam demi keselamatan manusia dan pemuliaan Allah. Apa yang dilakukannya tidak sekedar berprinsip “asal bapak senang/asal Tuhan tidak menghukum”, namun Ia taat akan bisikan Allah itu yang lebih murni melalui hati nurani-Nya. Apa yang dipilihnya tidak berdasarkan pada ketakutan ataupun keinginan untuk menyelamatkan diri sendiri (egois) namun sungguh karena cinta-Nya pada kemanusiaan dan kepada Allah sendiri, meski resiko yang dihadapinya adalah kematian. Dan inilah gambaran perjuangan manusia menuju kesejatian dirinya yang adalah taat kepada Allah. Ia mampu melihat apa yang lebih bernilai, apa yang lebih dikehendaki oleh Allah melalui hati nurani-Nya yang paling dalam. Sudahkah hati kita seperti hati Yesus?



Matius 12: 1-14
Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya. Melihat itu, berkatalah orang-orang Farisi kepada-Nya: "Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat." Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam? Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah. Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat." Setelah pergi dari sana, Yesus masuk ke rumah ibadat mereka. Di situ ada seorang yang mati sebelah tangannya. Mereka bertanya kepada-Nya: "Bolehkah menyembuhkan orang pada hari Sabat?" Maksud mereka ialah supaya dapat mempersalahkan Dia. Tetapi Yesus berkata kepada mereka: "Jika seorang dari antara kamu mempunyai seekor domba dan domba itu terjatuh ke dalam lobang pada hari Sabat, tidakkah ia akan menangkapnya dan mengeluarkannya? Bukankah manusia jauh lebih berharga dari pada domba? Karena itu boleh berbuat baik pada hari Sabat." Lalu kata Yesus kepada orang itu: "Ulurkanlah tanganmu!" Dan ia mengulurkannya, maka pulihlah tangannya itu, dan menjadi sehat seperti tangannya yang lain. Lalu keluarlah orang-orang Farisi itu dan bersekongkol untuk membunuh Dia.




























Tidak ada komentar:

Posting Komentar