Selasa, 16 Agustus 2011

Catatan dari Sragen (2)



Ketika hadir di paroki yang sama sekali baru bagi pastor yunior sepertiku (yang baru pertama kali mengalami tugas di paroki), aku mencoba menemukan sosok panutan yang dapat dijadikan referensi dalam menjalankan tugas. Referensiku mengarah pada sosok imam misionaris Jesuit yang bersemangat dalam menjalankan karya misi bagi orang Jawa, Pater van Lith. Aku berusaha menyadari bahwa aku masih muda dan belum berpengalaman dalam karya pastoral paroki. Modalku adalah semangat dan keberanian untuk selalu mau belajar dari apapun juga dalam tugas pewartaan Kabar Gembira Kristus ini. Tidak banyak idealisme yang kubawa selain ingin menjadi sahabat bagi umat di paroki yang kulayani ini, paroki Sragen. Selain juga aku ingin menjadikan tugasku ini sebagai pemurnian diri terus menerus atas diriku yang masih begitu rapuh ini. Dan aku pun mencoba belajar dari sosok Pater van Lith.


Aku sadar, bahwa kehadiranku di paroki ini juga dalam kerangka ‘bermisi’. Untuk itu, pemahaman dan pengenalan terhadap medan, karakter, dan juga kebudayaan situasi setempat menjadi langkah awal dalam bermisi. Langkah ini bukanlah langkah yang mudah, tetapi juga bukan sesuatu yang sulit. Meski demikian, kesediaan untuk terus menerus dibentuk oleh situasi setempat dan juga sesuai dengan aturan-aturan pokok Gerejani  menjadi bekal dasar dalam bermisi. Aku mencoba untuk melakukan itu, di setiap jadwal-jadwal pelayanan yang memang harus kulakukan.

Setelah beberapa minggu hidup bersama dengan dinamika umat Sragen, aku mulai sedikit demi sedikit memahami situasi. Aku mulai menyadari bahwa paroki Sragen merupakan satu-satunya paroki di Kabupaten Sragen ini. Dengan demikian, satu paroki melayani satu Kabupaten. Meski tampaknya medan pelayanannya demikian luas (karena satu kabupaten), namun sebenarnya umat paroki Sragen merupakan kawanan kecil di antara penduduk kabupaten Sragen. Hatiku tersentuh ketika mengunjungi lingkungan-lingkungan luar kota yang jumlahnya begitu kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan penduduk wilayah itu. Seperti halnya lingkungan Sambirejo yang hanya berjumlah 22 kepala keluarga, di dalam satu wilayah kecamatan Sambirejo, atau Tawangsari, yang berjumlah 13 kepala keluarga, di antara wilayah Tawangsari yang luas. Dan itu terjadi di wilayah serta lingkungan lainnya. Amat jelas bahwa umat Katolik merupakan kawanan kecil.
Meski demikian, umat Katolik di Sragen ini merupakan kawanan yang istimewa, karena ada begitu banyak umat yang terlibat langsung dalam pemerintahan daerah Kabupaten Sragen (jika mengingat prosentasi yang tidak besar jumlahnya jika dibanding penduduk se-Kabupaten Sragen). Selain itu, terdapat Rumah Sakit Katolik milik para suster SFS yang merupakan rumah sakit terbesar kota Sragen. Ini cukup membuktikan bahwa peran dan keterlibatan Gereja di masyarakat Sragen tidaklah kecil. Situasi ini dapat dijadikan pemahaman awal mengenai kekayaan dan peran Gereja bagi suatu komunitas masyarakat tertentu. Itulah sebabnya mengapa saya menyebut umat Allah paroki Sragen ini sebagai kawanan yang istimewa.
Sebuah kawanan istimewa juga tidak pernah lepas dari tantangan dan kesulitan. Di samping peran dan keterlibatan umat di dalam hidup bermasyarakat, ternyata umat Katolik Sragen tetap saja merupakan kawanan kecil yang tetap harus tunduk pada kawanan besar masyarakat pada umumnya. Dan jika kawanan besar menerapkan suatu bentuk diskriminatif pada suatu aturan tertentu, maka kawanan kecil ini harus dengan gigih berjuang untuk mendapatkan haknya. Ini terjadi pada proses perijinan pendirian Kapel Masaran yang sejak tahun 2003 sampai kini tidak kunjung mendapatkan titik terang. Meski demikian, kawanan kecil ini terus berjuang untuk mendapatkan hak-haknya sesuai dengan prinsip dan aturan yang telah ditetapkan oleh pihak pemerintah. Mau tidak mau, kawanan ini harus tunduk pada sistem masyarakat yang terjadi, dan umat paroki Sragen telah berjuang untuk itu.

Mengenai sekolah Katolik, di Kabupaten Sragen ini masih begitu tersendat untuk dapat memberikan peran bagi masyarakat. Se-Kabupaten, sekolah Katolik hanya terdapat satu sekolah untuk masing-masing tingkat (kecuali Taman Kanak-kanak): 2 Taman Kanak-kanak, 1 SD, 1 SMP, 1 SMA, dan 1 SMK. Dengan demikian, para pelajar Katolik pun terkonsentrasi pada sekolah-sekolah tersebut dan perkembangan pewartaan iman Katolik melalui sekolah pun tidak begitu berkembang baik. Ini juga disebabkan oleh tiadanya Bimas Katolik di Kabupaten ini.

Berdasarkan pengenalan dan pemahaman yang masih tahap awal ini, saya berusaha untuk memikirkan cara berevangelisasi di Kabupaten Sragen sesuai dengan konteks situasi tersebut. Bagaimanakah evangeliasi ini dilakukan di dalam situasi masyarakat seperti Kabupaten Sragen ini? Belajar dari van Lith, salah satu usaha yang kini saya coba untuk kembangkan adalah militansi umat dalam menghayati kekatolikan mereka. Meski umat Katolik merupakan kawanan kecil, namun cukup memberi arti dan warna terang dalam hidup moral masyarakat. Dengan demikian, bukan pertama-tama jumlah yang mesti dikembangkan tetapi kualitas hidup iman Katolik. Sasaran yang hendak saya tuju pertama-tama adalah pendampingan para generasi muda dan juga keluarga-keluarga baru yang akan dibentuk (para calon mempelai Katolik). Semangat kekatolikan yang telah tumbuh di kawanan kecil ini senantiasa dikobarkan dengan mencoba memberi semangat dalam dinamika mereka yang unik. Umat Katolik sebagai kawanan kecil ini mesti bersemangat dalam dinamika hidup imannya, menjadi garam dan terang masyarakat. Tanpa menonjolkan identitas Katolik namun menampakkan semangat kekatolikkan mereka. Mengajak mereka untuk menyadari, bahwa sebagai orang Katolik, tidak cukup hanya memiliki pengetahuan iman Katolik, tetapi juga mengungkapkan/mewujudkan iman Katolik di tengah masyarakat. Dan untuk mengungkapkan/mewujudkan iman Katolik, maka pemahaman akan iman Katolik dengan segala dinamika pergulatannya menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan demikian, salah satu hal yang bisa dibuat adalah menjauhkan budaya instant dalam menghayati iman Katolik. Iman harus diperjuangkan, dimiliki, dan akhirnya dibagikan. Dengan demikian, harapannya, iman Katolik sungguh mengakar di hati sanubari umat Allah Paroki Sragen.

Akhirnya, perjuangan ini harus didasarkan pada doa dan juga ketaatan mutlak pada kehendak Allah. Doa-doa dan perayaan sakramen menjadi sumber air hidup yang senantiasa dapat ditimba demi kesegaran dan kelangsungan ‘karya misi’ ini. Doa-doa dan perayaan sakramen itu menyatukan setiap umat beriman pada pokok Anggur yang telah tertanam di tanah Sragen, yakni Kristus sendiri. Dalam hal ini, para gembala menjadi ujung tombak dan barisan depan dalam menimba semangat ini. Kesaksian hidup mereka yang menampakkan relasi erat dengan Sang Pokok Anggur ini akan menjadi bekal indah demi evangelisasi baru di paroki Sragen. Semoga Tuhan memberkati kita semua dalam karya baik yang telah DIA mulai dan DIA tumbuhkan di paroki Sragen. Sebab oleh karena DIA dan demi DIAlah, perjuangan iman kita ini berasal dan tertuju. Selamat berjuang. Tuhan memberkati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar