Minggu, 04 Februari 2018

APA ITU KEBENARAN? (1)


Setelah menonton Film Silence, adaptasi dari Novel berjudul sama karangan seorang novelis Jepang, Shusako Endo, terbersit dalam benakku sebuah pertanyaan: apa itu kebenaran? Pertanyaan ini terlahir dari secuil pemahaman bahwa ternyata pewartaan iman Kristen telah melukai hati sebagian orang Jepang. Lantas dari luka itu, otoritas yang berkuasa mengambil kebijakan untuk menyerang balik dengan memotong akar pewartaan iman Kristen. Bagi mereka, tindakan memotong akar ini adalah sebuah kebenaran, sama halnya pewartaan para misionaris bagi orang Jepang. Pada akhirnya, kebenaran tetap menjadi sebuah pertanyaan. Ketika beberapa imam, bahkan imam terakhir yang berkarya di Jepang akhirnya berujung pada kemurtadan, di sisi lain tidak sedikit orang Jepang yang rela mati sebagai martir demi iman Kristen, kebenaran tetap menjadi sebuah misteri. Inilah kegelisahan para pastor yang akhirnya murtad itu. Kenapa kebenaran begitu berliku jalannya, kenapa keberadaannya begitu tersembunyi? Bagi orang Jepang yang memurtadkan para imam itu, tindakan kemurtadan para imam merupakan jalan penuh rahmat yang mengantar pada Tuhan, sementara bagi para martir asli Jepang, kemartiran merupakan jalan menuju Firdaus (Paraiso). Dan kebenaran tetaplah bungkam, sehening Kristus yang tidak melawan ketika dibawa ke penyaliban. Itukah kebenaran?


Bagiku, film itu sungguh mengena. Sekarang ini aku tengah berjuang sebagai misionaris domestik di Pulau Kalimantan. Meski Kalimantan tidak seperti di Jepang, namun renungan para misionaris Jesuit dalam Film “Silence” semacam P. Sebastian Rodriguez, P. Ferreira, P. Fransisco Garupe pernah singgah dalam dalam kegelisahanku. Kadang aku bertanya: kehadiranku lebih banyak membantu atau mengganggu? Membawa perdamaian dan kesejahteraan atau pertentangan? Tidakkah iman Kristen justru melukai orang-orang lugu yang dipercayakan kepadaku untuk digembalakan? Atau akhirnya akan berujung ke manakah perjuangan pewartaan iman Kristen di tanah Borneo ini? Meski aku sadar dan yakin bahwa karya ini bukan semata karyaku sendiri, namun kegelisahan itu tentu pernah mengusikku. Lalu pertanyaan tentang kebenaran kembali mengemuka. Apakah orang-orang lugu yang tidak pernah mengenal iman Kristen adalah orang-orang yang jauh dari kebenaran?


Tapi kebenaran itu universal. Ia melampaui segala macam atribut duniawi yang pernah dikenakan oleh manusia. Dan selama kebenaran itu hadir dalam setiap keunikan identitas adat istiadat dan kebiasaan manusia, ia tidak pernah bisa dikatakan jauh dari kebenaran. Melalui hal ini pulalah, kebenaran yang sekarang ini tengah kuperjuangkan di bawah panji Kekristenan akan menampakkan kekayaan dan keberpihakannya terhadap manusia. Kebenaran tidak pernah bisa dibatasi oleh atribut, oleh golongan, oleh identitas adat istiadat, dan oleh keyakinan diri sendiri. Kadang kebenaran itu meluluhlantakkan kepongahan diri, dan membawa diri kepada kekalahan yang memalukan. Namun yang jelas, kebenaran tidak pernah sia-sia. Dalam keheningannya, kebenaran tidak pernah bungkam. Ia seperti Yesus yang terdiam, ketika orang-orang Kristen justru menginjak-injakNya dengan kepura-puraan menyembahNya dalam pembelaan mati-matian atribut-atribut luaran. Seperti Kristus yang tetap mengampuni Khicijiro yang berkali-kali menyangkalNya dan kembali bertobat, meski akhirnya hidup Khicijiro berakhir sebagai seorang yang bertobat. Kebenaran itu terungkap dengan kesetiaan untuk mengupayakan kebaikan, meski dalam upaya itu, ia seolah bertemu dengan Tuhan yang bungkam. Kebenaran itu terungkap pada kesetiaan kepada Yesus tanpa harus menyandang gelar sebagai martir yang setia sepanjang hidupnya. Kebenaran itu seperti Petrus yang menyandang atribut Sang Penyangkal, namun akhirnya kembali ke Sang Cinta. Kebenaran itu terletak kesetiaannya memegang salib Kristus di hatinya, meski harus kehilangan diri sendiri dan dianggap sang pengkhianat seumur hidupnya. Itukah kebenaran?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar