Minggu, 04 Februari 2018

APA ITU KEBENARAN? (4)



Dalam perkawinan Katolik, dikenal dan diterapkan prinsip unitas dan indisollubilitas (kesatuan dan ketakterceraian). Selain itu, dalam perkawinan Katolik tidak mengenal apa itu poligami dan poliandri. Banyak orang Katolik setuju dan menjalankannya dengan setia prinsip-prinsip itu, namun pada kenyataannya, ada juga yang memilih untuk dicederai atau mencederai prinsip itu. Ada beberapa pasangan Katolik yang akhirnya berpisah, ataupun memiliki selingkuhan. Jika prinsip pertama disebut sebagai kebenaran, tentu tindakan dicederai dan mencederai prinsip itu adalah tindakan mengabaikan kebenaran. Dalam ranah ini, kebenaran adalah bagi mereka yang mampu dengan setia berpegang pada prinsip itu, sementara yang akhirnya tak mampu setia, ia termasuk bagian dari mereka yang tidak benar. Tetapi apakah dalam situasi dicederai dan mencederai itu tidak terkandung kebenaran? Kenapa perkawinan di luar Katolik mengenal perceraian dan itu dianggap wajar? Mengapa sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran dianggap sebagai suatu hal yang wajar? Apakah karena kebenaran juga “ada” dalam sisi lain prinsip itu sehingga dianggap hal wajar?




Selama aku menjadi pastor, ada beberapa pasangan Katolik yang akhirnya memilih untuk bercerai. Meski mereka sudah memiliki anak, atau karena alasan salah satu pasangan tidak mampu melahirkan anak, atau karena salah satu berselingkuh, akhirnya mereka tetap memutuskan untuk berpisah. Sebagai orang lugu yang telah akrab dengan prinsip itu, tentu aku langsung mengatakan bahwa orang-orang yang memilih bercerai itu adalah orang-orang yang tidak benar. Namun keyakinanku ini diuji lebih lanjut ketika aku mulai memahami alasan mengapa mereka bercerai. Ada hal-hal yang tidak bisa begitu saja dijadikan kriteria untuk menghakimi bahwa mereka itu bersalah. Ternyata ada secuil kebenaran juga tentang fakta yang terjadi, ketika prinsip diingkari. Artinya, dalam situasi itu, tidak ada orang yang (menurutku) benar-benar jahat. Ada hal-hal yang tidak bisa mereka lawan dari diri mereka ketika akhirnya mereka memilih untuk menyerah pada perceraian. 


Dan itulah yang disebut dosa, ketika manusia tidak mampu bertahan  pada yang ilahi, tetapi lebih memilih yang insani. Tapi apakah dosa itu bukan sebuah kebenaran? Fakta dengan jelas menunjukkan bahwa dosa itu ada, dan ada juga yang oleh karena kejatuhannya dalam dosa, ia menjadi semakin memahami arti hidup dan kebenaran. Tidak sedikit orang suci yang akhirnya menjadi suci karena pernah mengalami situasi kedosaan yang benar-benar menyakitkan. Seperti Petrus yang akhirnya menjadi martir Tuhan setelah ia menyangkalNya tiga kali. Ada Thomas yang akhirnya tak tergoyahkan imannya setelah ia sempat meragukan DIA yang telah bangkit  dari mati. Yesus pun dengan jelas mengatakan: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." Itukah kebenaran?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar