Minggu, 04 Februari 2018

APA ITU KEBENARAN? (3)


Suatu ketika Sunan Kalijaga berdiri di tepi pantai, dalam hati ia sangat merindukan bisa pergi ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Keinginan pergi ke Mekah ini sebenarnya adalah perintah dari gurunya, Sunan Bonang. Maka dengan cara apapun, Sunan Kalijaga akan berjuang melaksanakan perintah gurunya itu. Ia kemudian terjun ke laut, dan berenang menyeberangi laut. Ketika mencapai tengah samudera, Sunan Kalijaga melihat ada seseorang berjalan di atas air, dengan tenang menghampirinya dan menyapanya. Orang itu adalah Nabi Khidir. Nabi Khidir pun menunjukkan kepada Sunan Kalijaga bahwa segala tindakan dalam hidup ini haruslah direnungkan dengan sungguh-sungguh maksud serta tujuannya. Ia menjelaskan bahwa tidak ada gunanya ke Mekah jika Sunan Kalijaga hanya ingin mengunjungi Ka’bah yang terbuat dari batu, tanah dan kayu. Kabah sesungguhnya adalah Kabatullah (Ka’bah Allah), dan itu letaknya di dalam hati setiap orang. Nabi Khidir menunjukkan bahwa setiap hati manusia adalah Ka’bah Allah.





Cerita ini bagi sebagian orang Jawa tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran, namun bagi sebagian orang Muslim bisa dianggap pula ajaran yang tidak benar. Jika Ka’bah Allah itu ada dalam setiap hati manusia, untuk apa lalu pergi ke Mekah untuk ibadah haji, mengunjungi Kabah? Ternyata kebenaran mengandung begitu banyak bahaya. Perbenturan antara “kebenaran” itu bisa menimbulkan perpecahan yang tak berujung akhirnya. Ukuran yang dipakai untuk menguji kadar kebenaran pun terkadang berat sebelah. Akhirnya kebenaran menyisakan sebuah ruang abu-abu yang tak terpahami. Supaya kebenaran tidak lagi abu-abu, maka dibuatlah doktrin, ajaran, aturan hukum, yang ditulis, disahkan kemudian diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Tetapi apakah itu sebenarnya kebenaran? Ada begitu bermacam ragam ajaran, doktrin, aturan hukum, yang diklaim sebagai sebuah kebenaran. Namun faktanya, kebenaran-kebenaran itu terkadang saling mengancam, saling serang dan saling memperkuat klaimnya untuk berdiri teguh sebagai dominasi. Itu semua terjadi karena manusia tidak ingin berada dalam area abu-abu sebagai bagian hakiki dari kebenaran. Itu juga diakui oleh Sunan Kalijaga. Bahkan sebagai seorang Wali, ketika berhadapan dengan Nabi Khidir, beliau mengakui ketidaktahuan tentang benar tidaknya pengabdiannya selama ini. Kesadaran tentang area abu-abu dari kebenaran ini seperti sebuah pintu yang menuntun untuk masuk lebih dalam ke Sang Kebenaran itu. Sehingga penghakiman tak lagi menjadi senjata dari kebodohan yang hanya akan semakin mengaburkan kebenaran. Ingatlah, Yesus tidak menyalahkan orang-orang yang hendak melempari batu wanita pendosa. Ia hanya mengatakan: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Yesus juga tidak menghukum wanita pendosa, Ia cukup mengatakan:  "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Untukku, itulah kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar