Minggu, 04 Februari 2018

KONTROVERSI KELAPA SAWIT


Melalui tulisan ini, aku hendak sedikit curhat tentang keberadaan perusahaan perkebunan sawit yang ada di daerah dimana aku tinggal sekarang. Aku tak hendak menilai, apalagi menghakimi, atau membuat analisis tentang itu, aku hanya ingin curhat saja. Memang ketika muncul sebuah perusahaan tertentu, selalu ada pro dan kontra yang menyertai. Bagi yang pro dengan munculnya perusahaan, ini pasti terkait dengan majunya infrastruktur, terciptanya lapangan pekerjaan, dan juga pertumbuhan ekonomi akibat dari keberadaan perusahaan tersebut. Tapi bagi mereka yang kontra, ini lebih terkait dengan dinamika tetang bagaimana perusahaan tersebut dijalankan, sesuai dengan prinsip keadilan atau justru penindasan. Yang kutemui di lapangan, kedua hal ini selalu ada.


Aku tidak memungkiri, bahwa dengan munculnya perusahaan, pembangunan infrastruktur suatu wilayah akan diperhatikan secara khusus, dan lapangan pekerjaan pun tercipta. Namun  di sisi lain, aku juga menemukan bagaimana perusahaan itu hanya berorientasi kepada keuntungan, sehingga terkadang soal keadilan di beberapa hal lebih sering terabaikan. Dalam kasus perusahaan sawit di tempat dimana aku tinggal, problem yang sering muncul adalah soal jual beli lahan, kelestarian lingkungan yang mulai terancam, dan juga problem keadilan para pekerjanya. Perusahaan di manapun tentu tidak pernah punya niat untuk merugi, dan dengan demikian, modal akan terus digemukkan, dengan berbagai macam cara, termasuk mengabaikan keadilan dan kelestarian alam.  Biasanya pihak perusahaan berkolaborasi dengan pihak penguasa untuk mendapatkan ijin usaha. Pemerintah sebagai pihak yang berwenang di suatu wilayah berhak untuk menetapkan wilayah yang termasuk HGU (Hak Guna Usaha), termasuk soal lahan. Menjadi tidak adil jika akhirnya wilayah yang ditentukan sebagai HGU itu merupakan tanah masyarakat yang sudah dikelola oleh mereka turun temurun. Memang perusahaan membayar ganti beli atau pinjam tanah (lahan) yang termasuk ke dalam wilayah HGU itu, namun terkadang nilainya tidak sepadan dengan hasil usaha yang dilakukan di atas lahan tersebut. Itu belum lagi jika perusahaan menyerobot tanah rakyat demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Secara hukum mereka kuat karena wilayah yang mereka kerjakan sudah dipetakan oleh pemerintah sebagai wilayah HGU dan tentu mereka mendapat ijin yang sah dari pemerintah. Namun secara keadilan, terkadang mereka mengelabui penduduk untuk mau menyerahkan lahan mereka demi segepok uang yang jika tidak disertai pendidikan mengelola uang, akan habis begitu saja. Sementara tanah yang sebenarnya bisa dikelola oleh masyarakat, telah berpindah kepemilikan dan kewenangan pengelolaannya sehingga hasil bumi yang ada di situ berpindah tangan. Akhirnya, masyarakat menjadi kuli di tanahnya sendiri, demi segepok uang.

Memang saat ini masyarakat tak mampu lagi untuk melawan perusahaan dalam mengembangkan keuntungan terus menerus. Pembangunan infrastruktur yang tadinya diperhatikan dengan baik pun lama kelamaan hanya mengarah kepada kepentingan perusahaan demi lancarnya operasional mereka. Jika pembangunan itu tak terkait dengan kepentingan mereka, terkadang hal itu begitu saja mudah dilupakan dan diabaikan. Memang lapangan kerja tercipta, namun masyarakat tak lagi memiliki hak untuk menjadi pengelola lahan mereka tetapi menumpang hidup dengan menjadi pekerja perusahaan demi mendapatkan rupiah. Jika perusahaan itu berhenti dan angkat kaki, mereka tak lagi mampu mengelola lahan dengan baik karena ketergantungan itu telah diciptakan dari hari ke hari.


Dari situasi ini, kadang aku merasa, bahwa perusahaan itu tidak salah, yang salah adalah sistem kepemilikan dan pengelolaannya. Jika perusahaan tidak melulu berorientasi kepada penggemukkan modal saja, tapi juga memperhatikan aspek keadilan sosial, tentu ini akan menyejahterakan banyak pihak, termasuk terjaganya kelestarian alam. Tapi apa itu mungkin? Dengan sendirinya dunia ini menciptakan kelas-kelas sosial, melanggengkan kekuasaan modal, dan membuat ketergantungan akan uang. Sungguh kasihan para hewan dan tumbuhan yang sebenarnya hidup tenteram. Sampai akhirnya air tercemari, tanah terbongkar dan mereka mati satu persatu karena tergusur oleh hasrat akan keuntungan itu. Semoga surga itu masih ada, meski sebagian darinya sudah berubah menjadi deretan pohon-pohon sawit saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar