Minggu, 04 Februari 2018

APA ITU KEBENARAN? (2)


Berbicara tentang kebenaran, mungkin memang memerlukan berjuta-juta kata untuk menjelaskannya, namun mungkin juga tanpa kata. Yang paling mudah dikatakan, adalah kebenaran itu sebuah misteri. Sebagaimana Yesus yang tetap diam ketika Pilatus menanyakan tentang kebenaran kepadaNya.  [Maka kata Pilatus kepada-Nya: "Jadi Engkau adalah raja?" Jawab Yesus: "Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku." Kata Pilatus kepada-Nya: "Apakah kebenaran itu?" (Yoh 18:37-38)].

Aku setuju dengan komentar salah satu temanku, bahwa kebenaran itu relatif sekaligus absolut. Seperti istilah: “Perubahan adalah ketidakberubahan itu sendiri”, di dalam perubahan yang terus terjadi, di sanalah terdapat ketidakberubahan. Atau dengan kata lain, ketidakberubahan itulah perubahan yang terus menerus terjadi. Ketika kita mengabsolutkan kebenaran, maka kebenaran itu akan menjadi begitu miskin; namun jika kita merelatifkan kebenaran, kita tengah menyangkal keberadaan Sang MahaBenar yakni Tuhan Allah itu sendiri. Lalu bagaimana pertanyaan Pilatus hendaknya dijawab? Bahkan Yesus pun diam seribu kata. Ia hanya menunjukkan kebenaran dengan keberanianNya memilih taat dalam cinta kepada Allah dan manusia. BagiNya, kebenaran itu menyatukan, meski realitas yang ada dalam dunia ini tetap berbeda-beda. Ia seperti bangunan Candi Borobudur, yang terdiri antara Kamadhatu (lambang nafsu  tak teratur), Rupadhatu (relief yang menggambarkan tentang usaha untuk melepaskan diri dari nafsu namun masih terikat pada rupa dan bentuk), serta Arupadhatu (pencerahan tertinggi ketika manusia hanya tertuju pada Nirwana). Ketiga hal itu tak dapat dipisahkan, jika kita hendak berbicara tentang kebenaran dalam ranah manusia. Meski demikian, gambaran itu pun tentu masih begitu miskin dibandingkan dengan hakikat kebenaran.




Yesus menyadari hal itu, maka Ia tidak banyak berkata-kata untuk menjelaskan tentang kebenaran. Ia lebih memilih menjalani kebenaran, daripada mengatakannya. Meski dalam menjalani itu, ada pertanyaan lain yang mencoba untuk terus menguji sang kebenaran: “kenapa Yesus memilih untuk menerima kekerasan dan kekejian atas sesuatu yang sebenarnya tidak harus Ia terima? Apakah tindakan Yesus dengan menerima salib ini tidak berarti sebagai pembiaran atas kekejian umat manusia yang mengadili sesamanya dengan ukuran kebenaran semau perut sendiri?”. Yesus tetap diam. Ia hanya mengatakan: “Allahku, ya Allahku, kenapa Engkau meninggalkan Aku”, dan “Sudah selesai”. Yesus memang bukan tipe orang yang suka mengumbar kata-kata. Ia memilih mengambil jalan berliku untuk menjelaskan tentang kebenaran. Sebab bagi Dia, kebenaran itu berarti berani disalahkan dan menanggung hukuman agar yang lain dibenarkan dan dibebaskan dari hukuman. Ia bahkan tetap mencintai Yudas Iskariot, dari hatiNya yang paling kudus. Ia tidak pernah menghendaki Yudas mengkhianatiNya, namun Ia menghormati berbagai macam sisi kebenaran manusia, yang tentu masih terus berupaya menemukan yang sejati tentang kebenaran. Ia juga menyadari, dalam usaha pencarian itu, manusia lebih sering jatuh kedalam berbagai macam sisi tentang kebenaran itu, karena Ia sangat menghormati kemerdekaan manusia. Dan akhirnya, persoalan tentang kebenaran tetaplah misteri. Yesus hanya berpesan: “jadilah seperti anak kecil, sebab merekalah sesungguhnya yang empunya kebenaran”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar