Kamis, 16 Desember 2010

Ajaran Teologi Biblis dan Magisterium Gereja tentang Unitas Perkawinan




1.       Pengantar
Dalam tradisi religius manapun, perkawinan adalah suatu peristiwa sakral, religius.  Perkawinan diyakini sebagai tugas perutusan Allah bagi manusia dalam melanjutkan karya penciptaan-Nya. Secara khusus, Gereja Katolik menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu  perjanjian yang permanen, suci dan sakramen, unitas (monogam) dan indissolubilitas (tak terceraikan). Perkawinan dinyatakan sendiri oleh Allah sebagai tanda dan sarana kehadiran Allah sendiri dalam menjamin kelangsungan hidup umat-Nya. Penegasan tentang hal ini bersumber langsung dari Al-Kitab, baik Perjanjian Lama maupun Baru.  Lebih tegas lagi dinyatakan oleh Yesus yang menolak terjadinya poligami dan perceraian dalam perkawinan. Sebab sejak awal mula penciptaan manusia, perkawinan bersifat monogam dan tak terceraikan karena merupakan persatuan kasih mesra antara  seorang pria dan seorang wanita yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri untuk terlibat dalam karya penciptaan-Nya.[1]
Institusi perkawinan itu ada sejak adanya manusia. Ketika Tuhan menciptakan pria dan wanita, maka sejak saat itulah lahir pula institusi perkawinan, perjanjian seumur hidup antara  seorang pria dan seorang wanita dalam membina rumah tangga/membentuk suatu keluarga. Lahirnya sebuah keluarga turut serta dalam melanjutkan karya penciptaan Allah bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan demikian, perkawinan merupakan suatu institusi yang suci, suatu tugas perutusan yang kodrati bagi manusia untuk melibatkan diri dalam karya penciptaan dan penyelamatan Allah bagi dunia. Sebab Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kej 2:24).
                Meski demikian, dalam realitas yang hidup dalam masyarakat hingga saat ini, kasus  poligami dan perceraian menjadi salah satu kasus yang cukup marak dalam hidup berkeluarga. Begitu mudahnya pasangan-pasangan suami istri memutuskan untuk bercerai karena suatu hal yang membuat hidup perkawinannya tidak bisa dilanjutkan atau melakukan poligami. Kenyataan ini memunculkan keprihatinan tersendiri bagi penghormatan atas kesucian dan sakramentalitas perkawinan yang pada hakikatnya bersifat unitas dan indissolubilitas. Adanya reduksi makna perkawinan dari institusi suci yang ditetapkan oleh Allah sendiri menjadi sekedar institusi sosial telah memicu maraknya poligami dan perceraian dalam keluarga-keluarga saat ini. Perkawinan mengalami desakralisasi yang memungkinkan suami istri dapat melangsungkan perkawinan baru lagi atau  saling menggugat cerai. Bahkan desakralisasi perkawinan ini memungkinkan orang untuk melakukan perkawinan baru, meski masih terikat perkawinan dan  perceraian berkali-kali. Desakralisasi ini merusak sifat unitas dan indissolubilitas perkawinan serta menodai kehendak Allah yang telah menetapkan perkawinan sebagai suatu institusi suci, bagian dari perutusan-Nya bagi kelangsungan hidup manusia.
Menanggapi maraknya desakralisasi perkawinan dan  perusakan atas sifat  unitas serta indissolubilitas perkawinan dengan kasus-kasus perceraian itu, kiranya perlu sebuah pengajaran lebih lanjut mengenai dasar-dasar ajaran mengenai kesucian perkawinan dan sifat perkawinan yang satu (unitas) serta tak terceraikan (indissolubilitas) dari dimensi biblis (Kitab Suci). Kitab Suci merupakan Sabda Allah sendiri yang menjadi referensi vital bagi umat beriman dalam menghidupi imannya. Pengajaran lebih lanjut mengenai unitas dan indissolubilitas perkawinan dari dimensi Kitab Suci ini paling tidak akan membawa penyadaran baru bagi para umat dalam menghayati panggilan hidup berkeluarga (sebagai suami dan istri) dalam kerangka iman. Dengan demikian, desakralisasi perkawinan dan perusakan atas sifat unitas dan indissolubilitas perkawinan ini akan semakin terkikis oleh kesadaran umat untuk semakin hidup berdasarkan imannya yang teguh terhadap Sabda Allah, secara khusus tentang panggilan hidup berkeluarga yang didalamnya termuat tentang kesucian perkawinan serta sifatnya yang satu dan tak terceraikan.
Oleh karena   itu, tulisan berikut ini pertama-tama bertujuan  untuk menggali lebih dalam tentang sifat unitas perkawinan dari dimensi biblis. Harapannya, penggalian lebih lanjut tentang dasar-dasar kesucian dan sifat unitas perkawinan dari dimensi biblis ini dapat memperteguh iman umat dalam menjalankan tugas perutusannya sebagai  suami maupun istri, dan juga merupakan persiapan bagi calon pasangan suami istri dalam menghayati hidup perkawinan yang akan ditempuh.
Untuk mempermudah dalam pemahaman terhadap tulisan ini, pokok-pokok yang akan dibahas dan digali disusun sebagai berikut: (1) Pengantar; (2) Apakah makna Unitas Perkawinan? (3) Pandangan Teologis Biblis tentang Unitas Perkawinan; (4) Ajaran Magisterium Gereja tentang Unitas Perkawinan; (5) Penutup

2.       Apakah Makna Unitas Perkawinan?
Perkawinan memiliki sifat hakiki unitas. Yang disebut sebagai sifat unitas pada perkawinan adalah sifat monogam. Dengan kata lain, perkawinan itu hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang pria dan seorang wanita.[2] Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria bebas dan seorang wanita bebas. Oleh karena itu tidak dibenarkan adanya poligami (seorang suami yang memiliki beberapa istri) dan juga poliandri (seorang istri yang memiliki beberapa suami).[3] Perkawinan yang dilangsungkan antara seorang yang masih memiliki ikatan perkawinan dengan seseorang lainnya tidaklah sah disebut sebagai suatu perkawinan.
Sifat unitas ini menjadi sifat esensial perkawinan itu sendiri dan dengan demikian perkawinan yang dilangsungkan secara poligami maupun poliandri tidak dapat disebut sebagai perkawinan. Sifat unitas ini melekat erat dalam kodrat perkawinan manusia dimana Allah sendiri telah menciptakan pria dan wanita untuk saling melengkapi dalam membangun suatu komunitas baru. Sejak penciptaan, Allah menciptakan pria dan wanita untuk saling memberikan diri dan bersatu sebagai satu daging (Kej 2:24). Kutipan teks Kitab Suci ini menjadi dasar dari sifat hakiki unitas perkawinan. “Satu daging” memiliki makna sebuah kesatuan lengkap dari pribadi pria dan wanita,  kesatuan total dari jiwa dan roh sebagaimana juga kesatuan antar tubuh.[4]  Kesatuan ini membawa seorang pria dan wanita hidup dalam kebersamaan dan terlibat untuk melanjutkan karya dan rencana Allah di dalam perkawinan. Kesatuan mereka lebih dekat dan lebih erat dibandingkan kesatuan antara orang tua dan anak-anaknya. Oleh karena demikian kuatnya kesatuan antara suami dan istri, mereka akhirnya membentuk satu realitas.[5] Dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh para pelaku poligami maupun poliandri. Dengan demikian, sifat unitas perkawinan merupakan sifat esensial dari perkawinan dimana seorang pria dan seorang wanita mengikat janji untuk saling bersatu karena disabdakan Allah sendiri sebagai bagian dari keterlibatan dalam karya penciptaan-Nya melalui perkawinan.


3.       Pandangan Teologis Biblis tentang Unitas Perkawinan
 Dalam bukunya yang berjudul The Separation of The Spouses With The Bond Remaining, Juraj Kamas menyatakan bahwa  Kitab Suci Perjanjian Lama mengajarkan tentang perkawinan sebagai institusi dari Sang Pencipta sendiri sejak permulaan kehidupan manusia. Salah satu teks biblis tertua tentang perkawinan terdapat dalam Kitab Kejadian dimana Tuhan menyatakan: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kej 2:18). Teks ini berkata bahwa Tuhan memanggil manusia untuk berpasang-pasangan.[6] Hal ini ditegaskan oleh pernyataan berikutnya yang mengatakan bahwa :  “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. (Kej 2:24). Kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita dalam ikatan perkawinan ini mengemban suatu tugas suci yang dinyatakan Allah sendiri sebagai bagian dari penerusan karya penciptaan Allah. Kesatuan itu merupakan kesatuan yang unik, intim, ekslusif dan kodrati. Pemberian diri seorang pria kepada seorang wanita, dan demikian pula sebaliknya ini menjadi dasar dari sifat unitas perkawinan. Hal ini menyatakan bahwa sejak awal mula penciptaan manusia, Allah telah menetapkan perkawinan itu sebagai sebuah institusi kodrati yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita sebagai satu tubuh, satu jiwa dan satu roh, demi melanjutkan tugas perutusan karya keselamatan Allah bagi dunia. Mengenai tugas perutusan ini, Kitab Suci mencatat:  Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej 1:28).
Dalam Kitab Perjanjian Baru, kesatuan khas antara seorang pria dan seorang wanita dalam ikatan suami dan istri ini ditegaskan oleh Yesus sebagai sifat unitas perkawinan yang takterceraikan.  Yesus menegaskan lagi apa yang telah tertulis dalam Kitab Kejadian tentang unitas dan ketidakterceraian perkawinan sambil memberi nuansa baru tentang penghayatan selanjutnya dan penghormatan terhadap martabat perkawinan yang berciri esensial unitas dan indissolubilitas. "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Mat 19: 4-6). Dengan demikian, amat jelaslah ajaran Kitab Suci mengenai sifat unitas sebagai sifat hakiki dari suatu perkawinan sebab sifat itu ditetapkan oleh Allah sendiri.
 Meski demikian, dalam perjalanan selanjutnya, apakah manusia sungguh-sungguh memahami dan melaksanakan sabda Allah tentang unitas dan indissolubilitas perkawinan tersebut?  Apakah tradisi perkawinan pada konteks masyarakat Israel dalam Kitab Suci sungguh telah menjadikan  prinsip unitas dan indissolubilitas ini sebagai prinsip utama dalam perkawinan? Ataukah prinsip monogami dalam perkawinan ini merupakan prinsip ideal yang seringkali dilanggar oleh tradisi masyarakat yang mengesahkan terjadinya praktik poligami?

3.1.   Unitas Perkawinan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama
Prinsip dasar tentang unitas perkawinan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama terdapat dalam Kitab Kejadian yang merupakan pernyataan Allah dalam menciptakan pria dan wanita sebagai bagian dari rencana penyelamatan-Nya (Kej 2:18; Kej 2:24; Kej 1:28). Namun prinsip ini tidaklah dapat diterapkan sepenuhnya dalam perjalanan manusia selanjutnya. Contoh kasus dalam Kitab Suci tentang awal praktik poligami terdapat dalam kisah Abraham yang memperistri Hagar, hamba Sara, karena Sara tidak memiliki anak (Kej 16: 1-15).[7] Dalam teks ini, Sara meminta Abraham untuk memperistri Hagar agar Abraham memiliki anak/keturunan, tanpa menceraikan Sara. Contoh kisah ini merupakan kisah poligami dengan tujuan memperoleh keturunan. Dari kasus ini, kita boleh bertanya apakah karena keinginan untuk mendapatkan keturunan, sifat unitas perkawinan yang pada intinya adalah perkawinan antara seorang istri dan seorang suami dapat direlatifkan? Apakah demi tujuan memperoleh keturunan lantas praktik poligami menjadi praktik yang sah? Pertanyaan ini akan terus menerus menjadi refleksi bagi pemahaman tentang arti dan tujuan perkawinan selanjutnya. Meski pada akhirnya kisah tersebut tetap menegakkan prinsip unitas perkawinan karena setelah Sara melahirkan Iskak, Tuhan menyuruh Abraham mengusir Hagar dan mengakui Iskak sebagai keturunan Abraham yang sah (Kej 21:11-12).
Contoh praktik poligami selanjutnya dalam Kitab Suci terdapat pada kisah-kisah setelah Adam dan Hawa. Banyak tokoh yang digambarkan dalam Kitab Suci memiliki istri lebih dari satu.[8] Tampaknya kebudayaan patriarkal di kalangan umat Israel telah menempatkan posisi pria memiliki kewenangan untuk melakukan poligami demi tujuan keturunan. Bahkan dalam Kisah Yakub pun praktek poligami menjadi suatu hal yang amat umum. Jika demikian halnya, bagaimanakah penghayatan Sabda Allah yang menyatakan tentang unitas perkawinan sebagai bagian dari keterlibatan terhadap karya penciptaan-Nya? Apakah kebudayaan patriarkal telah mengesampingkan prinsip unitas perkawinan ini hanya demi mendapatkan keturunan yang menjamin lestarinya suatu bangsa tertentu dalam konteks Israel?
 Pelanggaran atas sifat unitas perkawinan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama erat kaitannya pula dengan kasus-kasus perceraian dan pernikahan kembali setelah terjadinya perceraian. Dalam hal ini, hukum Musa pada teks Ulangan 24: 14 mengatakan: "Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu” .
Sebab dengan diadakannya hukum perceraian, maka prinsip unitas dan indissolubilitas menjadi suatu prinsip ideal namun relatif (tidak mutlak). Perceraian itu memungkinkan seorang istri atau seorang suami yang telah bercerai dapat melakukan perkawinan baru kembali. Hal ini jelas melanggar prinsip unitas perkawinan yang adalah  kesatuan antara seorang suami dan seorang istri, yang menyangkut juga kesatuan secara fisik, spiritual, emosional dan sosial. Meski dalam hal ini, Musa mengijinkan terjadinya perceraian ketika suami sudah tidak mencintai istrinya lagi, atau si istri kedapatan berbuat zinah (bersetubuh dengan lelaki lain selain suaminya). Kebudayaan patriarkal  masyarakat Israel amat berpengaruh dalam praktik perceraian menurut hukum Musa ini.
 Pada masyarakat Israel terdapat dua Mazhab Rabi yang memiliki pandangan berbeda dalam hal perceraian: Mazhab  Rabbi Hillel dan Mazhab Rabbi Shammai. Menurut pandangan dari Mazhab Shammai, satu-satunya alasan seorang suami dapat menceraikan istrinya adalah ketika istrinya kedapatan melakukan pelanggaran moral asusila, khususnya perzinahan. Sedangkan Mazhab Hillel memiliki pandangan yang lebih liberal. Menurut Mazhab Hillel, seorang istri dapat diceraikan dengan berbagai macam alasan, bahkan ketika si suami tidak lagi menyukai istrinya.[9] Berbagai macam alasan terjadinya perceraian ini telah memungkinkan terjadinya proses reduksi makna atas sifat unitas dan indissolubilitas perkawinan yang telah ditetapkan oleh Allah sejak awal penciptaan.
Adanya hukum tentang perceraian ini juga memunculkan adanya praktik poligami yang terdapat dalam Ulangan 21:10-14:  "Apabila engkau keluar berperang melawan musuhmu, dan TUHAN, Allahmu, menyerahkan mereka ke dalam tanganmu dan engkau menjadikan mereka tawanan, dan engkau melihat di antara tawanan itu seorang perempuan yang elok, sehingga hatimu mengingini dia dan engkau mau mengambil dia menjadi isterimu, maka haruslah engkau membawa dia ke dalam rumahmu. Perempuan itu harus mencukur rambutnya, memotong kukunya, menanggalkan pakaian yang dipakainya pada waktu ditawan, dan tinggal di rumahmu untuk menangisi ibu bapanya sebulan lamanya. Sesudah demikian, bolehlah engkau menghampiri dia dan menjadi suaminya, sehingga ia menjadi isterimu. Apabila engkau tidak suka lagi kepadanya, maka haruslah engkau membiarkan dia pergi sesuka hatinya; tidak boleh sekali-kali engkau menjual dia dengan bayaran uang; tidak boleh engkau memperlakukan dia sebagai budak, sebab engkau telah memaksa dia."[10]
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, praktek poligami dan perceraian masih sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh karena tradisi dan kebudayaan patriarkal dari masyarakat Israel. Meski demikian, teks  Kej 2:24 tetap menjadi prinsip dasar ideal tentang unitas perkawinan. Hal ini ditunjukkan juga dengan contoh-contoh tokoh dalam Kitab Suci Perjanjian Lama yang akhirnya hanya mengakui dan mencintai satu istrinya seperti Abraham yang akhirnya mengusir Hagar demi istrinya yang sah, Sara ataupun Yakub yang mencintai Rahel.[11] Dalam kasus tersebut,  perkawinan istri kedua atau istri yang tidak dicintai selalu berstatus tidak sah (diragukan keabsahannya).[12]  Praktik poligami terjadi pertama-tama karena demi tujuan memperoleh keturunan, karena konteks patriarkal, tradisi memperistri orang asing yang menjadi tawanan, dan perkawinan demi tujuan politis (kasus Salomo yang memiliki banyak istri).[13] Di mata Tuhan, praktik poligami ternyata memiliki banyak resiko, salah satunya adalah perpecahan di dalam keluarga (contoh: Abraham yang akhirnya disuruh Tuhan untuk mengusir Hagar, Yakub dengan kedua belas anaknya dari  empat istri, dan juga istri-istri Salomo yang akhirnya mendirikan mezbah bagi dewa-dewa lainnya).
Prinsip tentang unitas perkawinan ini kembali ditegaskan dan diperbarui dalam kitab para nabi. Para nabi menegaskan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian antara seorang suami dan seorang istri yang melambangkan cinta kasih Tuhan dengan umat-Nya. Kesetiaan Allah terhadap umat Israel menjadi gambaran ideal sekaligus panggilan bagi kesetiaan antara suami dan istri dalam hidup perkawinan. Dalam hal ini, Nabi Hosea dengan jelas mengungkapkan bahwa  Allah sendiri berkenan menjadikan umat Israel sebagai istri-Nya.[14] Menurut Hosea, Israel adalah istri yang sundal karena seringkali tidak setia kepada perjanjian-Nya. Namun demikian, Allah selalu setia dan mau menerima “istri-Nya” yang sundal itu. Perjanjian antara Allah dan umat Israel ini menjadi lambang bagi perjanjian dalam perkawinan antara suami dan istri yang sifatnya unitas dan indissolubilitas. Teks-teks lain yang juga memberikan penegasan tentang unitas perkawinan dari para nabi tersebut antara lain: Yer 2: 12-3:13; Yeh 16:1-66; Yes 50:1; 54: 1-10; Yes 54:5-7; Yer 3:1-3; Yer 5:7-9;  Hos 11-8-9.[15] Meski teks-teks ini berkaitan dengan sifat ketidaksetiaan umat Israel terhadap Tuhan yang digambarkan dengan persundalan, namun teks-teks ini menegaskan kembali tentang kesetiaan Tuhan atas umat-Nya yang sering jatuh ke dalam dosa. Perjanjian antara Allah dan umat Israel ini menjadikan mereka sebagai satu kesatuan antara Allah dan umat-Nya, sebagaimana suami dan istri.
Dengan beberapa teks tersebut, para nabi mengungkapkan tentang perkawinan bukan saja merupakan institusi ilahi, karya Allah, namun juga merupakan simbol perjanjian antara Allah dan umat Israel dalam kesetiaan-Nya yang tidak ada habisnya. Keilahian, kesatuan (unitas/monogam), dan pernikahan sepanjang masa antara Allah dan Israel ini menjadi model utama dan dasar yang baru bagi semua perkawinan. Dengan demikian, melanggar prinsip unitas dalam perkawinan adalah sebuah pelanggaran melawan perjanjian perkawinan dan dengan demikian melawan kehendak Tuhan sendiri.[16]

3.2.    Unitas Perkawinan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, prinsip unitas dan indissolubilitas perkawinan dipertegas dan diperbarui kembali oleh Yesus. Perjanjian antara Allah dan umat-Nya yang menjadi merupakan prinsip dasar perjanjian antara suami dan istri dalam suatu perkawinan ditegaskan dan diperbarui oleh Kristus. Kehadiran-Nya di dunia merupakan wujud pembaruan perjanjian yang lebih menampakkan lagi kasih setia Allah terhadap umat-Nya. Kasih itu terletak dalam kesetiaan untuk mengampuni yang berdosa dan menerima kembali orang berdosa untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya.


3.2.1.  Ajaran Yesus tentang Unitas dan Indissolubilitas Perkawinan dalam Injil
Pola relasi yang baru dalam perjanjian ini (kasih setia Allah yang berkenan mengampuni dan menerima umat-Nya yang berdosa) menjadi dasar pula bagi perjanjian antara suami dan istri dalam perkawinan yang merupakan lambang dari perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Dalam Perjanjian Baru, perkawinan selalu bersifat unitas dan indissolubilitas. Hal ini ditegaskan pula oleh Yesus dalam ajaran-Nya mengenai perkawinan, perceraian dan perkawinan baru setelah perceraian. Terdapat dua teks Injil yang memuat ajaran Yesus tentang  perkawinan, perceraian dan perkawinan baru setelah perceraian. Ajaran ini menjadi salah satu prinsip dasar dari perkawinan Kristen yang bersifat hakiki unitas dan indissolubilitas:[17]

a.    Markus 10: 2-12
Lalu datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya, "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?" Tetapi jawab-Nya kepada mereka, "Apa perintah Musa kepada kamu?" Jawab mereka, "Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai." Lalu kata Yesus kepada mereka, "Justru karena kekerasan hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Padahal pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan dua lagi, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya lagi kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka, "Siapa saja yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia berzina terhadap istrinya itu. Jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berzina.

Dalam teks Markus 10: 2-12 ini Yesus menegaskan tentang prinsip unitas dan indissolubilitas perkawinan dari teks Perjanjian Lama yang mengatakan tentang persatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan adalah kehendak Allah sendiri.  Konteks teks ini adalah usaha orang-orang Farisi yang hendak mencobai Yesus dengan pertanyaan tentang perceraian. Lantas Yesus menjawab melalui dasar pegangan orang Farisi yakni Taurat Musa. Pada hukum Musa, perceraian dan poligami masih dimungkinkan dengan alasan ‘kekerasan hati manusia’. Yesus pun menunjukkan bahwa pada prinsipnya, perkawinan itu ditetapkan Allah sendiri sebagai persatuan antara seorang laki-laki dan  seorang perempuan karena kehendak-Nya dalam melibatkan keduanya yang menjadi satu daging itu dalam karya-Nya. Dengan demikian, Yesus dengan tegas menolak perceraian dan poligami karena itu merupakan perlawanan terhadap kehendak Allah sendiri yang telah menetapkan sejak awal  dunia bahwa Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan dua lagi, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mrk 10:6-9). Teks ini menjadi salah satu dasar tentang prinsip unitas dan indissolubilitas perkawinan.

b.   Matius 19: 3-9
Lalu datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya, "Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?" Jawab Yesus, "Tidakkah kamu baca bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Lagi pula Ia berfirman: Karena itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan dua lagi, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Kata mereka kepada-Nya, "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan istrinya?" Kata Yesus kepada mereka, "Karena kekerasan hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Siapa saja yang menceraikan istrinya, kecuali karena zina, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berzina."
Teks Matius 19: 3-9 ini senada dengan teks Markus 10: 2-12 yang memuat ajaran Yesus mengenai prinsip unitas dan indissolubilitas itu mutlak bagi suatu perkawinan karena perkawinan itu merupakan kehendak Allah sejak awal penciptaan. Yesus  menekankan tentang sifat permanen dari perjanjian perkawinan yang menjadikan seorang pria dan seorang wanita menjadi satu daging.  Seorang laki-laki atau perempuan yang saling memberikan diri tidak akan lagi tinggal sebagai dirinya sendiri, mereka menjadi dwitunggal yang intim dan ekslusif. Alasan permanensi ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita itu adalah perkawinan itu merupakan kehendak Tuhan sendiri sejak Ia menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan.[18] Bagi Yesus, perkawinan dari kodratnya bukan berdasarkan pada hukum manusia tetapi hukum Tuhan dimana Ia telah menyatakan bahwa seorang pria dan seorang wanita akan bersatu menjadi satu daging.[19]


3.2.2.        Ajaran tentang Unitas dan Indissolubilitas Perkawinan dalam Surat Paulus
Ajaran  Paulus mengenai perkawinan tampak dalam surat-suratnya yang pertama kepada jemaat di Tesalonika dan Korintus. Konteks situasi jemaat Tesalonika dan Korintus saat itu adalah adanya libertinisme seksual  Yunani. Bagi masyarakat Yunani, seksualitas tidak lebih merupakan persoalan yang melulu duniawi saja. Kenyataan libertinisme seksual ini jelas merendahkan martabat perkawinan yang merupakan bagian dari rencana penyelamatan-Nya. Dalam teks suratnya kepada jemaat di Tesalonika dan Korintus yang membahas tentang perkawinan, Paulus pertama-tama ingin menunjukkan tentang penghayatan tubuh sebagai seorang Kristen. Dalam kacamata Paulus, seksualitas mengandung suatu hal negatif tertentu yang dapat menjauhkan manusia pada iman Kristen ketika seksualitas  menjadi liar dan hanya sekedar pemenuhan nafsu badani saja. Di dalam konteks seperti inilah Paulus mengemukakan pandangannya tentang martabat perkawinan. Ia dengan jelas menolak percabulan dan pelacuran. Keintiman antara laki-laki dan perempuan yang  pengungkapan eksklusivitasnya melalui hubungan seksual di dalam ikatan perkawinan yang satu dan takterceraikan merupakan perwujudan iman Kristen dalam menghayati hidup perkawinan. Perkawinan semacam itu disebut sebagai  sarana membendung segi destruktif dari seksualitas (remedium concupisentiae).[20]

a.    1 Tes 4:3-8
Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan, supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi isterimu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan, bukan di dalam keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah, dan supaya dalam hal-hal ini orang jangan memperlakukan saudaranya dengan tidak baik atau memperdayakannya. Karena Tuhan adalah pembalas dari semuanya ini, seperti yang telah kami katakan dan tegaskan dahulu kepadamu. Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus. Karena itu siapa yang menolak ini bukanlah menolak manusia, melainkan menolak Allah yang telah memberikan juga Roh-Nya yang kudus kepada kamu.
Teks berikut ini pertama-tama merupakan kritik Paulus terhadap realitas libertinisme seksual yang berlaku di lingkungan masyarakat Tesalonika. Libertinisme seksual ini dipandang oleh Paulus sebagai bagian dari ketidaksetiaan terhadap Allah dan merupakan perilaku orang-orang kafir (orang-orang yang tidak mengenal Allah). Paulus juga dengan tegas menganjurkan orang-orang Kristen itu agar menjauhi percabulan dengan mengambil seorang perempuan menjadi istrimu sendiri, dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan, bukan di dalam keinginan hawa nafsu. Hal ini ditegaskan oleh Paulus karena ia melihat adanya segi negatif dalam seksualitas manusia sehingga memerlukan perkawinan yang monogam demi pengudusannya (mengekang hawa nafsu seksual yang liar, yang menajiskan diri sebagai orang Kristen).

b.   1 Kor 5, 6 dan Ef 5
Dalam teks berikut (1 Kor 5 dan 6), Paulus tetap saja menegaskan prinsip pengudusan tubuh dengan menghindari percabulan dan menekankan tentang martabat perkawinan.  Dalam 1 Kor 6:15, Paulus berkata: “Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak!”. Paulus menggunakan kata ‘anggota Kristus’ karena ia menganalogkan hubungan antara orang beriman dan Kristus dengan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Ayat 16 mengutip Kej 2:24: “Mereka berdua menjadi satu daging, yang disebut juga satu tubuh”.  Persatuan semacam ini pulalah yang terjadi antara Kristus dan umat beriman, setiap umat beriman akan bersatu dengan Kristus menjadi satu tubuh, milik-Nya.[21] Dalam konteks berikut, unitas perkawinan bagi seorang suami dan istri amat ditekankan karena melambangkan persatuan antara Kristus sendiri dengan umat beriman. Dengan demikian, segala bentuk percabulan, pelacuran, dan poligami telah melukai intimitas dan kesucian kesatuan antara Kristus dengan orang beriman. Dengan demikian, Paulus pun telah mengajarkan tentang sifat unitas (kesatuan) dalam perkawinan ini, karena pertama-tama kesatuan antara seorang suami dan seorang istri ini melambangkan kesatuan antara Kristus dan umat-Nya, sebagaimana suami dan istri menjadi ‘satu tubuh’, Kristus dan umat-Nya pun bersatu menjadi  ‘satu tubuh’.[22]

4.       Ajaran Magisterium Gereja tentang Unitas Perkawinan
Dasar-dasar teologi biblis tentang unitas dan indissolubilitas perkawinan ini menjadi dasar dari refleksi berikutnya mengenai perkawinan Katolik. Para bapa Gereja pun mengembangkan refleksi teologis mereka tentang unitas dan indissolubilitas perkawinan Katolik berdasarkan teologi biblis mengenai perkawinan. Meski tidak dibahas secara khusus, sifat unitas perkawinan melekat erat dengan sifat indissolubilitas-nya. Ajaran dari para bapa Gereja dan tulisan-tulisan Gerejawi yang memiliki posisi otoritas cukup tinggi secara total berdasar pada teks-teks Kitab Suci sebagai sumber awal dan esensial yang digunakan untuk membela perkawinan Kristiani dan indissolubilitas-nya berhadapan dengan kebudayaan pagan.[23] Dengan  demikian, ajaran tentang unitas dan indissolubilitas perkawinan di dalam sejarah Magisterium Gereja tetap berdasar dari ajaran Kitab Suci mengenai unitas dan indissolubilitas perkawinan. Ajaran ini berkembang sesuai dengan konteks yang dihadapi oleh Gereja di sepanjang sejarah, sejak awal mula hingga saat ini.

4.1.   Teologi Unitas Perkawinan dalam konteks Gereja  Awal
Kristianitas lahir  di dalam budaya Helenis-Romawi. Dalam kebudayaan itu, perkawinan dipandang sebagai sebuah institusi manusiawi saja sehingga perceraian menjadi suatu hal yang umum terjadi. Pada masa ini, masyarakat dimana Gereja tumbuh tidak memahami perkawinan sebagai kesatuan utuh antara seorang suami dan seorang istri yang tak dapat dipisahkan dan relasi permanen antara seorang suami dan seorang istri. Pada saat itu, orang-orang Roma memahami perkawinan sebagai suatu relasi permanen monogam sejauh didasari oleh adanya kesalingan komitmen antara suami dan istri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kehendak untuk menikah, affectio maritalis. Hidup bersama yang disertai dengan tindakan conjugal dipahami sebagai hal yang membentuk relasi permanen dan intim, yang menyatukan pula setiap relasi moral dan sosial, bersamaan dengan prokreasi dan pendidikan anak-anak.[24] Namun bila komitmen dan kehendak untuk menikah, untuk tinggal bersama sebagai suami dan istri telah lenyap, maka secara yuridis, perkawinan itu berhenti pula.
Menurut hukum Romawi, perkawinan dipandang sebagai hal privat. Hal ini berdiri sendiri tanpa ada intervensi dari pihak pemerintah. Perkawinan dirayakan secara pribadi dan perceraian pun akhirnya dilakukan secara pribadi ataupun sekelompok tertentu tanpa ada aturan hukum yang baku maupun campur tangan dari otoritas pemerintah. Apabila kehendak untuk hidup sebagai suami dan istri itu sudah tidak ada lagi, maka dengan sendirinya perkawinan itu tidak ada lagi.
Gereja awal mengambil beberapa point penting tentang perkawinan dari hukum Romawi mengenai kehendak bebas dan komitmen yang dibangun antara suami dan istri untuk mengadakan suatu perkawinan, namun juga meletakkan dasar-dasar ajarannya mengenai unitas dan indissolubilitas perkawinan berdasarkan Kitab Suci. Oleh Gereja awal, perkawinan dipandang tidak hanya merupakan institusi manusiawi yang bersifat privat namun juga merupakan institusi ilahi yang diletakkan sendiri oleh Allah sejak awal penciptaan. Selain itu, perkawinan Kristiani mulai dibentuk dan diatur oleh hukum publik dan dirayakan sesuai dengan tradisi budaya lokal yang sesuai dengan doktrin Kristiani.[25] Dengan demikian, Gereja awal dengan tegas tidak menerima aturan pemerintah perihal perceraian dan perkawinan baru selepas perkawinan pertama. Gereja awal berusaha terus menerus meletakkan hukum perkawinan Kristiani ini bagi para umatnya. Perkawinan Kristiani adalah perkawinan di antara dua orang beriman (seorang laki-laki dan seorang perempuan) yang saling memberikan diri satu sama lain sepanjang hidup. Pemberian diri satu sama lain ini tidak dapat dipisahkan. Bagi mereka, perkawinan tidak lagi hanya merupakan persetujuan legal, namun sebagai suatu sakramen, yang memuat komitmen tak terpisahkan untuk hidup bersama dan tidak pernah dapat diputuskan. Sejak prinsip unitas serta indissolubilitas perkawinan ini diletakkan, penyelesaian masalah pada kasus-kasus tertentu tentang ketidaksetiaan atau kejahatan salah satu dari istri atau suami adalah dengan adanya perpisahan tanpa hak untuk mengadakan perkawinan kembali (1 Kor7: 10-11).[26]


4.2.    Teologi Unitas Perkawinan dalam Konteks  di Empat Pusat Gereja Awal[27]
Pada abad-abad awal Gereja, terdapat empat pusat Gereja yang terorganisasi cukup baik. Keempat pusat Gereja ini mengatur dan meletakkan prinsip-prinsip perkawinan Kristiani di dalam teologi serta hukumnya. Keempat pusat Gereja tersebut adalah: Antiokia, Roma, Alexandria, dan Afrika Utara dengan tokoh teolog masing-masing :

4.2.1.        Antiokia
Dasar-dasar teologis tentang perkawinan dalam Perjanjian Baru menjadi referensi bagi keputusan pastoral sehubungan dengan perkawinan muncul dari seorang teolog Gereja Antiokia, St. Ignatius Antiokia (35-107). Dalam suratnya kepada Polikarpus, uskup Smyrna, St. Ignatius mengungkapkan tentang perhatian pastoralnya mengenai perkawinan Kristiani. Menurutnya, perkawinan Kristiani harus mendapatkan persetujuan dan peneguhan dari uskup setempat sehingga persekutuan hidup suami istri tersebut sesuai dengan kehendak Tuhan dan bukan hanya berdasarkan pada kehendak manusiawi saja.[28] Dari ungkapan ini, meski St. Ignatius tidak secara eksplisit berbicara mengenai sifat unitas dan indissolubilitas, namun tampak sekali bahwa perkawinan Kristiani bukanlah sebuah perkawinan yang melulu berdasarkan kehendak manusiawi saja tetapi juga merupakan bagian dari kehendak Tuhan bagi kelangsungan hidup manusia. Perkawinan memiliki dimensi ilahi yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri sesuai dengan Kitab Suci Perjanjian Baru. Dengan demikian, sifat hakiki unitas dan indissolubilitas perkawinan menjadi suatu hal yang mutlak bagi setiap perkawinan Kristiani yang dilangsungkan. Peran otoritas Gereja adalah meneguhkan dan memberkati  perkawinan itu sebagai sebuah peristiwa yang sakral karena merupakan kehendak Tuhan sendiri.



4.2.2.         Roma
Salah satu tokoh teolog Gereja Roma adalah St. Yustinus Martir (100-165). Dalam pandangannya tentang perkawinan, St. Yustinus meletakkan dasar unitas dan indissolubilitas perkawinan Kristiani pada ajaran Yesus sendiri dalam Perjanjian Baru. Ia membedakan antara hukum sipil Roma mengenai perkawinan dengan Injil. Hukum sipil mengijinkan perceraian dengan disertai perkawinan baru, namun Yesus melarang adanya perkawinan baru dan menyatakan perkawinan baru itu sebagai dosa.[29] Penekanan St. Yustinus atas ajaran Yesus mengenai perkawinan ini juga tidak secara eksplisit mengurai tentang sifat unitas dan indissolubilitas perkawinan. Namun dimensi ilahi yang dinyatakannya sesuai dengan ajaran Yesus dalam Perjanjian Baru memuat unsur hakiki perkawinan sebagai suatu perjanjian yang unitas dan indissolubilitas. Dengan tegas dikatakannya bahwa persatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam suatu ikatan perkawinan merupakan bagian dari kehendak Allah sendiri yang jika persatuan ini dirusak, merupakan sebuah tindakan dosa melawan kehendak Allah.

4.2.3.        Alexandria
Salah satu tokoh teolog dan pujangga Gereja yang amat menonjol di Alexandria adalah Clement dari Alexandria (150-215). Clement mengungkapkan tentang sifat permanennya suatu ikatan perkawinan.  Ia mendasarkan pandangannya pada teks Perjanjian Baru yang amat jelas melarang perceraian dan perkawinan baru setelah perceraian. Perkawinan baru setelah perceraian selalu merupakan bentuk perzinahan, dan ini melanggar kehendak Allah. Apa yang telah dipersatukan di dalam ikatan perkawinan pada dasarnya bersifat permanen dan sesuai dengan kehendak Allah. Perceraian berarti melanggar kehendak Allah yang telah mempersatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan di dalam sebuah ikatan perkawinan.

4.2.4.        Afrika Utara
Di Gereja Afrika Utara, pemahaman mengenai unitas dan indissolubilitas perkawinan  dari Perjanjian Baru muncul lebih eksplisit dari refleksi  Quintus Septimus Florens Tertullian (160-240) Tertullian mendefiniskan persatuan perkawinan sebagai berikut:  perkawinan terjadi ketika Allah mempersatukan dua orang (seorang laki-laki dan seorang perempuan) secara bersama ke dalam satu daging, atau mempertemukan mereka menjadi satu, serta memberkati persatuan itu. Perkawinan Kristiani merupakan relasi persatuan iman mereka. Perkawinan adalah saat dimana Gereja terbentuk, Pengorbanan diteguhkan, dimana berkat dimeteraikan, yang disaksikan oleh para malaikat dan Allah Bapa mencurahkan kasih-Nya. Tertullian percaya bahwa suami istri yang dipersatukan dalam perkawinan bermeterai hanya dapat dipisahkan oleh Allah sendiri, yakni bukan oleh perceraian tetapi oleh kematian natural. Oleh karena hanya kematianlah yang dapat menghentikan suatu perkawinan, maka persatuan suami istri setelah perceraian bukanlah merupakan suatu perkawinan yang sah. Tertullian menekankan pandangan mengenai perkawinan ini berdasarkan pada Perjanjian Baru bahwa  Yesus secara eksplisit  menolak perceraian dan memperteguh apa yang sudah dinyatakan sejak awal mula berkaitan dengan perkawinan: persatuan yang takterpisahkan dari dua orang (laki-laki dan perempuan) ke dalam satu daging.
Beberapa tokoh teolog yang juga memperteguh pandangan tentang unitas dan indissolubilitas perkawinan di Gereja Afrika Utara adalah St. Ciprianus (+258), Lucius Caelius Firmianus Lactantius           (260-340). Pandangan mereka tetap mendasarkan diri pada Perjanjian Baru mengenai persatuan khas antara suami istri yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri dan dengan demikian tidak dapat dipisahkan oleh perceraian.
Keempat tradisi teologi pusat-pusat Gereja awal ini memiliki penekanan khusus tentang sifat unitas dan indissolubilitas. Ajaran-ajaran para bapa Gereja Awal yang mendasarkan pada teologi biblis mengenai perkawinan Kristiani ini muncul dalam rangka menjawab persoalan perceraian yang seringkali muncul dalam konteks masyarakat saat itu. Pada saat-saat inilah Gereja mulai meletakkan prinsip dasar perkawinan Kristiani: unitas dan indissolubilitas, sebab perkawinan merupakan suatu institusi ilahi yang ditetapkan oleh Allah sejak awal penciptaan.

4.3.    Teologi Unitas Perkawinan menurut Bapa-bapa Gereja Yunani dan Latin
Di kalangan Bapa-bapa Gereja Yunani dan Latin pun dasar biblis mengenai perkawinan sebagai suatu ikatan yang bersifat unitas dan indissolubilitas tetap dipegang teguh. Meski ajaran mengenai prinsip unitas dan indissolubilitas perkawinan belum terumuskan secara eksplisit, namun para Bapa Gereja Yunani dan Latin pun meneruskan ajaran Yesus dan Paulus tentang ciri-ciri perkawinan Kristiani yang ‘ekslusif’ dan ‘takterceraikan’.[30] Mereka memahami sifat unitas sebagai suatu persatuan antara seorang suami dan seorang istri (monogam), sedangkan indissolubilitas sebagai sifat permanen dari relasi persatuan antara suami dan istri yang takterceraikan. Salah satu tokoh Bapa Gereja Yunani yang menekankan tentang pentingnya ‘homonoia’ (keselarasan dan kesatuan hidup suami istri), sebagai manfaat tertinggi dari perkawinan adalah St. Yohanes Chrisostomus (347-407).[31]
Bapa-bapa Gereja dengan tegas melarang orang Kristen melakukan poligami karena persatuan seorang suami dan seorang istri ke dalam suatu ikatan perkawinan adalah lambang dari persatuan ekslusif antara Allah dan umat-Nya. Perkawinan Kristen melambangkan dan menghadirkan hubungan antara cinta Kristus dan umat-Nya yang penuh kesetiaan dan ekslusif.[32] Mengenai hal ini, ditegaskan oleh St. Agustinus (lahir 13 November 354–meninggal 28 Agustus 430) dalam bukunya De Bono Coniugali  yang menyatakan bahwa perkawinan Kristiani memiliki tiga makna luhur yakni bonum prolis (makna prokreasi), bonum fides (makna kesetiaan), dan bonum sacramenti (menjadi lambang persatuan antara Kristus dan Gereja).[33] Agustinus mengungkapkan bahwa bonum prolis menjadi salah satu hal yang membuat perkawinan itu memiliki makna luhur. Menurut St. Agustinus, perkawinan memiliki nilai yang luhur sejauh ada intensi prokreasi. Intensi prokreasi memungkinkan aktivitas seksual antara suami istri diperbolehkan dan merupakan ekspresi dari  kasih sayang satu sama lain.[34]  Sementara itu, bonum fides adalah tentang kesetiaan antara suami istri dalam menjalani ikatan perkawinannya. Dengan adanya bonum fides ini, suami istri dipanggil untuk saling memberikan diri di dalam kesetiaan masing-masing pada komitmen perkawinan. Sebab tanpa suatu kesetiaan terhadap komitmen persatuan suami istri ini, perkawinan akan lebih terlihat seperti perzinahan, dan oleh Agustinus, perkawinan yang tanpa disertai dengan kesetiaan pada komitmen masing-masing untuk saling memberikan diri ini adalah suatu tindakan dosa.[35] Dan makna luhur perkawinan yang ketiga adalah bonum sacramenti, perkawinan sebagai suatu sacramentum (sakramen). Persatuan antara suami dan istri dalam perkawinan adalah suatu komitmen yang tak dapat dirusak. Komitmen ini menyangkut tentang persatuan cinta dan tidak dapat dirusak karena menjadi tanda dari cinta Kristus bagi Gereja-Nya.[36]
Ajaran St. Agustinus tentang ketiga makna perkawinan Kristiani ini mengungkapkan sifat luhur martabat perkawinan Kristiani serta sifat hakiki unitas dan indissolubilitas-nya. Salah satu unsur penting yang diperlukan dalam membangun sebuah perkawinan Kristiani tersebut adalah kesatuan cinta antara seorang suami dan seorang istri. Ajaran ini diteruskan pula oleh Bapa-bapa Gereja Abad Pertengahan seperti  Thomas Aquinas (1225–1274). Sebagaimana St. Agustinus, St. Thomas Aquinas juga mengungkapkan bahwa perkawinan tidak hanya bertujuan demi kenikmatan seksual namun terlebih demi melaksanakan rencana Allah dalam penciptaan dan juga sebagai tanda kasih Kristus kepada umat-Nya. Orang yang menikah mencintai satu sama lain sebagaimana Kristus mencintai Gereja-Nya. Dan cinta yang mempersatukan suami istri inilah yang akan mendasari seluruh aktivitas dalam hidup perkawinannya, termasuk terekspresikan dalam persetubuhan, sebagai puncak ekspresi cinta mereka. Cinta suami istri berbeda dengan cinta dalam relasi-relasi lainnya karena memiliki dimensi seksual. Hal inilah yang membuat cinta suami istri itu unik, yang berhubungan dengan konsekuensi prokreasi. Dimensi ini secara dasariah  bersifat ekslusif dan permanen. Hal ini merupakan komitmen total dari seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk saling memberikan diri .[37]
Persatuan cinta antara suami istri sebagai dasar dari perkawinan ini menjadi salah satu wujud dari sifat unitas perkawinan. Mengenai hal ini, St. Hugo Victor (1078 – 1141) mengungkapkan bahwa persatuan cinta antara suami dan istri di dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang penting. Fakta ini tampak dalam perkawinan antara Yosep dan Maria yang tanpa disertai dengan relasi seksual. Di samping menyatukan relasi seksual antara seorang laki-laki dan perempuan, perkawinan juga merupakan persatuan pemahaman (pemikiran), dan hati. St. Hugo Victor mengatakan bahwa persetubuhan dan prokreasi adalah sesuatu yang mengalir dari persatuan total  (budi dan hati) antara pribadi suami dan istri. Lebih lanjut, St. Hugo Victor melihat dua dimensi perkawinan. Persatuan antara budi dan hati seorang suami dan istri di dalam komitmen dasar perkawinan melambangkan persatuan Allah dengan jiwa, sementara itu persetubuhan melambangkan persatuan antara  Kristus dan Gereja-Nya.[38]

4.4.   Teologi tentang Unitas Perkawinan dalam Konteks  Gereja  Abad Pertengahan
Refleksi teologis tentang unitas perkawinan Kristiani dalam konteks Gereja Abad Pertengahan masih melekat erat dengan refleksi teologis tentang sifat indissolubilitas perkawinan. Refleksi ini muncul sebagai tanggapan terhadap kasus-kasus perkawinan yang terjadi saat itu. Beberapa tokoh Bapa Gereja yang menulis dan mengungkapkan refleksi  tentang perkawinan ini antara lain: Paus Alexander III (1159-1181), Paus Innocentius III (1160-1216). Selain itu, terdapat satu dekrit yang membahas tentang perkawinan: Dekrit bagi Orang Armenia pada Konsili Florence (1439).[39]
Pokok persoalan yang muncul pada era Paus Alexander III adalah tentang persetujuan secara bebas dari pihak laki-laki dan perempuan menjadi dasar dari suatu perkawinan. Oleh Paus Alexander III dinyatakan bahwa ikatan perkawinan yang didasari oleh kesepakatan komitmen dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan ini disempurnakan dengan persetubuhan. Persetubuhan menjadikan persatuan itu secara absolut tidak dapat diceraikan. Persatuan antar komitmen dan disempurnakan oleh persatuan fisik (seksual) dalam persetubuhan ini menjadi bagian dari realitas sifat unitas dari suatu perkawinan Kristiani. Hal yang sama diungkap kemudian pada era Paus Innocentius III dalam rangka menanggapi pandangan kaum Waldensian dan Albigensian yang memandang rendah arti perkawinan sebagaimana dimunculkan oleh kaum Manikeis. Paus Innocentius III menekankan tentang keluhuran martabat perkawinan sebagai bagian dari pengudusan nilai hidup manusia. Dan ia tetap berpegang pada teks 1 Kor 7 tentang kesetiaan suami istri sebagai satu persatuan hidup yang permanen/tak terceraikan.[40]
Akhirnya, perkawinan Kristiani ditetapkan sebagai salah satu sakramen (dari tujuh sakramen) pada Konsili Florence (1439). Pada konsili ini, ditetapkan bahwa perkawinan adalah sakramen karena merupakan tanda persatuan mesra antara Kristus dan Gereja-Nya, berdasarkan pada teks Efesus 5:32. Dalam konsili ini disebutkan tiga nilai kebaikan yang terdapat di dalam suatu perkawinan: (1) Memperoleh keturunan dan mendidik anak sesuai dengan kehendak Tuhan; (2) Kesetiaan suami istri untuk saling memberikan diri secara utuh satu sama lain; (3) Ketidakterceraian perkawinan karena melambangkan relasi antara Kristus dan Gereja-Nya.[41] Dari beberapa tulisan dan dekrit tentang perkawinan tersebut, refleksi teologis tentang unitas perkawinan Kristiani mulai terungkap dengan jelas. Kesatuan unik antara suami istri yang menjadikan mereka sebagai satu daging ini menjadi bagian dari rencana Allah sendiri bagi manusia secara penuh, yang akhirnya dianugerahi untuk menurunkan keturunan dan juga mendidik anak sesuai dengan kehendak-Nya. Kesatuan ini amat unik dan memiliki anugerah takterceraikan karena melambangkan persatuan unik antara Kristus dan Gereja-Nya yang tak pernah terceraikan juga.

4.5.   Teologi  tentang Unitas Perkawinan dalam Konsili Trente (1563)
Konsili Trente adalah konsili yang dilatarbelakangi oleh munculnya Kaum Reformasi Gereja yang mulai memisahkan diri dari Gereja, baik secara institusional maupun secara teologis. Kaum Reformer menolak campur tangan fungsi yuridis Gereja atas perkawinan dan sakramentalitas perkawinan. Dengan demikian, sifat indissolubilitas direlatifkan sejauh perkawinan itu dicemarkan oleh perzinahan. Atas pandangan Kaum Reformer ini, para Bapa Konsili menetapkan bahwa perkawinan Kristiani adalah sebuah sakramen dan ikatannya bersifat unitas serta indissolubilitas. Kanon-kanon ketetapan konsili  Trente tentang unitas dan indissolubilitas mendasarkan pada teks-teks biblis tentang perkawinan seperti: (1) “ Oleh karena itu seorang laki-laki akan meninggalkan bapak dan ibunya dan bersatu dengan istrinya , dan mereka akan menjadi satu daging” (Kej 2:23); (2) “Mereka tidak lagi dua melainkan satu daging” (Mat 19:6); (3) “Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan, janganlah diputuskan oleh manusia” (Mat 19:6; Mrk 10: 9); (4)”Hai suami, cintailah istrimu  sebagaimana Kristus mencintai Gereja-Nya dan memberikan dirinya bagi Gereja-Nya” (Ef 5: 25).[42]
Dengan mendasarkan sifat unitas dan indissolubilitas pada teks-teks biblis, ditetapkan bahwa perkawinan Kristiani adalah suatu sakramen. Dan secara tegas Konsili mengatakan bahwa persatuan khas, unik, dan total antara suami istri dalam perkawinan ini melambangkan persatuan antara Kristus dan Gereja-Nya sebagaimana ditulis oleh St. Paulus: “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya” (Ef 5: 32-33).

4.6.   Teologi tentang Unitas Perkawinan dalam Konteks Abad Modern[43]
Sifat hakiki unitas dan indissolubilitas perkawinan Kristiani pada  Gereja  Abad Modern masih melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh Gereja pada abad-abad sebelumnya. Apa yang ditekankan di dalam Ensiklik Arcanum Divinae Sapientiae oleh Paus Leo XIII (1880) menegaskan beberapa hal berikut: (1) Perkawinan Kristiani adalah sebuah sakramen; (2) Gereja memiliki otoritas dalam menetapkan dan meneguhkan perkawinan Kristiani; (3) Perjanjian dan sakramentalitas perkawinan tidak dapat diputuskan; (4) Unsur internal dari perjanjian itu sendiri merupakan sakramen karena menjadi lambang perjanjian antara Kristus dan Gereja.
Lima puluh tahun kemudian, penegasan tentang keluhuran martabat perkawinan Kristiani yang memiliki sifat unitas dan indissolubiltas ini muncul kembali dalam Ensiklik Casti Conubii Paus Pius XI (1930). Dalam Ensiklik ini, paus menegaskan kembali martabat keluhuran perkawinan, dengan menegaskan beberapa hal berikut: (1) perkawinan adalah sebuah sakramen; (2) Perkawinan itu merupakan kehendak Allah dan kebebasan manusia; (3) Hal yang baik  dalam perkawinan: memperoleh keturunan; (4)Hal yang baik dalam perkawinan: kesetiaan suami istri; (5) Hal yang baik dalam perkawinan: sebagai sebuah sakramen; (6) Perkawinan memiliki dimensi misteri supernatural; (7) Sakramen Perkawinan memberikan banyak rahmat; (8) Perkawinan sebagai sakramen bermeterai kekal.
Refleksi tentang keluhuran martabat perkawinan Kristiani yang bersifat unitas dan indissolubilitas ini berlanjut pada Konsili Vatikan II. Di dalam beberapa dokumen hasil konsili, beberapa dimensi perkawinan mulai diperdalam dan diperluas. Di dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, Perkawinan Kristiani dipandang memiliki karakter Gerejani. Perkawinan yang terjadi antara umat beriman adalah sebuah awal terbentuknya Gereja kecil diantara orang tua dan anak-anaknya. Oleh karena itu, di dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes juga diungkapkan mengenai kesucian perkawinan dan keluarga. Kesucian ini didasarkan pada persatuan mesra suami istri yang takterceraikan, yang puncak ekspresinya diungkapkan dalam tindakan persetubuhan dan kebersamaan yang dibangun antara suami istri secara sejajar/sederajat. Dan dengan demikian, perkawinan Kristiani memiliki buah-buah yang merupakan kehendak Tuhan sendiri bagi kelangsungan kehidupan sejak penciptaan (Kej 1: 28; 2:18’ Mat 19:4).
Hal yang sama juga terungkap dalam Ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI (1968). Ensiklik ini menempatkan perkawinan dan pembentukan sebuah keluarga sebagai bagian dari  kepenuhan visi manusia dalam menanggapi panggilannya. Kasih suami istri bersumber dari Allah sendiri yang adalah Kasih. Kasih ini sungguh merupakan kasih kemanusiaan yang penuh, setia dan ekslusif, serta menghasilkan buah bagi kehidupan kemanusiaan yang baru. Oleh karena martabat perkawinan yang merupakan kehendak Allah sendiri dalam melanjutkan karya penciptaan-Nya, maka Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio pun menegaskan kembali tentang sakramentalitas perkawinan dan sifat indissolubilitas perkawinan.

4.7.    Refleksi tentang Unitas Perkawinan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983
Refleksi Gereja mengenai perkawinan Kristiani dengan segala aspeknya ini kemudian terungkap secara yuridis konkret dalam Kitab Hukum Kanonik (Kitab Hukum Gereja). Hukum Gereja yang mengatur tentang perkawinan Kristiani pada zaman modern ini diawali dengan munculnya Kitab Hukum Kanonik tahun 1917 dan diperbarui dengan Kitab Hukum Kanonik 1983. Pada Kitab Hukum Kanonik 1917, martabat perkawinan lebih terarah pada persoalan penerusan keturunan (bonum prolis), meski tidak meniadakan unsur-unsur  lainnya (bonum fides dan sacramentum). Namun dalam deskripsi tentang perkawinan, Kitab Hukum Kanonik 1983 memiliki deskripsi yang lebih lengkap. Di dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 diungkap tentang unsur esensial perkawinan dan sifat hakiki perkawinan. Unsur hakiki dari perkawinan adalah perjanjian antara seorang suami dan istri demi kesejahteraan bersama (bonum coniugum), demi mendapatkan keturunan dan menjalankan pendidikan bagi anak-anaknya. [44]
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kanon-kanon dasar mengenai  perkawinan terdapat pada Kanon 1055-1062. Dalam Kanon 1055 § 1 : Perjanjian (feodus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.[45] Dari kanon ini, terungkap bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian dan kontrak. Kontrak yang disebut disini merupakan wujud persekutuan antara suami dan istri sebagaimana telah terungkap pula dalam hukum Roma tentang perkawinan serta merupakan lambang perjanjian antara Allah dan manusia. Selain sebagai perjanjian dan kontrak, Kanon tersebut juga mengungkapkan bahwa perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup (consortium). Persatuan ini tidak hanya menyangkut persatuan secara fisik seksual, namun menyangkut persekutuan seluruh hidup antara suami dan istri.[46] Hal ini merupakan unsur esensial dalam perkawinan dimana cinta kasih suami istri mempersatukan mereka di dalam perkawinan sebagai sebuah persatuan yang memurnikan dan membawa kepada kepenuhan kebaikan manusiawi bagi setiap pribadi.[47] Dengan demikian, dimensi unitas dalam perkawinan Kristiani sungguh ditekankan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 sebagai bagian dari refleksi teologis persatuan suami istri yang amat khas dan berdimensi ilahi karena merupakan panggilan Allah sendiri untuk menanggapi kasih-Nya bagi penyempurnaan kasih manusiawi. Dengan adanya dimensi ilahi dalam persekutuan seluruh hidup itu, dan juga karena melambangkan cinta kasih Kristus dengan jemaat, maka perkawinan antara orang-orang yang dibaptis pun diangkat oleh Kristus sendiri sebagai sakramen.[48]
Secara khusus, Kitab Hukum Kanonik 1983 menegaskan tentang sifat hakiki unitas dan indissolubilitas perkawinan dalam Kanon 1056: Ciri-ciri hakiki (properietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.[49] Unitas dan indissolubilitas perkawinan ini dipandang oleh Gereja sebagai sifat dari keluhuran perkawinan sesuai dengan hukum kodratnya, dan dengan demikian hal ini juga berlaku bagi semua perkawinan, termasuk juga perkawinan non Kristiani. Ciri hakiki unitas berarti bahwa perkawinan adalah relasi ekslusif antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di dalam perkawinan, seorang laki-laki dan seorang perempuan saling memberi dan menerima satu sama lain. Maka, melibatkan seseorang untuk bergabung dalam relasi ekslusif dalam ikatan perkawinan ini berarti merusak ciri hakiki unitas perkawinan.[50] Unitas perkawinan ini juga dapat dipahami sebagai sebuah monogamitas (persatuan antara seorang laki-laki dan perempuan yang mengecualikan orang lain). Unitas ini berlawanan dengan poligami, baik secara bersama-sama maupun suksesif. Dengan demikian, ciri unitas ini memiliki tiga konsekuensi sebagai berikut:[51]
(1)    Di dalam ikatan perkawinan tersebut, tidak dapat diadakan perjanjian perkawinan baru dengan memasukkan orang ketiga.
(2)    Perkawinan dengan orang ketiga tidak hanya sebagai sebuah tindakan yang tidak pantas, tetapi juga merupakan perkawinan yang tidak sah, dan dengan demikian tidak pernah ada perkawinan.
(3)    Ketidakpantasan maupun ketidakabsahan perkawinan dengan orang ketiga mengalir dari hukum kodrat tetapi juga hukum positif dari Kristus sendiri.
Selain itu, alasan teologis bagi monogamitas perkawinan ini berdasar pada fakta bahwa perkawinan adalah simbol hidup dari persekutuan antara Kristus dan Gereja. Hal ini menjadi ajaran permanen dari Gereja bahwa perkawinan hanya dapat dihentikan oleh kematian natural (bukan karena dibunuh/ crimen). Ini menunjukkan bahwa persekutuan itu ditetapkan sendiri oleh Allah dan hanya Allah yang berhak memutus persekutuan itu dengan kematian secara natural.
Konsekuensi dari ciri hakiki unitas perkawinan ini adalah kesetiaan suami istri (marital fidelity) dan indissolubilitas (ketidakterceraian) perkawinan. Kesetiaan suami istri ini dibangun melalui beberapa hal antara lain: (1) persetubuhan (conjugal act): sebagai ekspresi puncak atas kasih suami istri; (2) totalitas: berbagi seluruh hidup antara suami dan istri; (3) ekslusivitas: tanpa perzinahan; (4) komunikasi: sebuah relasi yang intim dan mendalam; (5) persembahan diri: saling memberikan diri demi kebahagiaan satu sama lain. Dan akhirnya, sifat unitas perkawinan ini membawa pada keluhuran martabat perkawinan yang merupakan persatuan ekslusif dan permanen antara seorang suami dan seorang istri di dalam keseluruhan aspek hidupnya.[52]

5.       Penutup
Prinsip dasar tentang unitas perkawinan berpijak dari sabda Allah sendiri yang menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan sejak awal penciptaan dunia. Teologi Biblis menjadikan dasar tersebut sebagai prinsip utama dalam hal ‘kesatuan’ suami istri dalam ikatan perkawinan. Dengan prinsip unitas ini, perkawinan tidak hanya melulu institusi manusiawi ataupun sosial saja, namun memiliki dimensi ilahi yang ditetapkan Allah sesuai kodrat dan perutusan hidup manusia. Konsekuensi lebih lanjut dari sifat hakiki unitas perkawinan ini adalah indissolubilitas. Persatuan itu bersifat total, ekslusif, abadi, dan takterceraikan.



Daftar Pustaka

1.       Bacchiocchi,  Samuele, Ph.D, The Marriage Covenant: A Biblical Study on Marriage, Divorce, and Remarriage, http://www.biblicalperspectives.com/books/marriage/5.html, diunduh pada tanggal 3 Oktober 2009, 8:22 PM
2.       Beal , John P., dkk (ed), New Commentary on The Code of Canon Law, New York: Paulist Press, 2000
3.       Connery,  John R., SJ, “ The Role of Love in Christian Marriage”, dalam Marriage Studies: Reflections In Canon Law and Theology, Vol. 3,  Washington: Canon Law Society of Amerika, 1985
4.       Dokumen Konsili Vatikan II
5.       Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Perkawinan Dalam Tradisi Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1988
6.       Fountain,  Ossie, “A Biblical Theology of Marriage” dalam Point, 1987
7.       Groenen, C, OFM, Perkawinan Sakramental: Anthropologis dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius, 1993
8.       Kamas,  Juraj, The Separation of The Spouses With The Bond Remaining, Roma: Editre Pontificia Universita Gregoriana, 1997
9.       Kasper,  Walter, Theology of Christian Marriage, London: Burns and Oated Ltd, 1980
10.   Kitab Hukum Kanonik Edisi Resmi Bahasa Indonesia, Konferensi Wali Gereja, 2006
11.   Matthews, Kevin. Rev, “Essential Elements and Essential Properties of Marriage” dalam  Catholic Tribunals: Marriage Annulment and Dissolution, Newton: E. J. Dwyer Pty Ltd, 1990
12.   Neuner, J. SJ dan Dupuis, J. SJ, The Christian Faith: In The Doctrinal Documents of The Catholic Church, Bangalore: Theological Publications In India, 1996
13.   R. Rubiyatmoko, Pr, Hukum Perkawinan Kanonik, Yogyakarta: Fakultas Teologi Wedabhakti, 2001


[1] The Biblical vision of marriage as a sacred, lifelong covenant is rooted in the creation account of the institution of marriage (Gen 2: 18-24). Here, marriage is seen as an institution established by God to enable a man and a woman to became ‘one flesh’ (Gen 2:24)  lih. Samuele Bacchiocchi, Ph.D, The Marriage Covenant: A Biblical Study on Marriage, Divorce, and Remarriage, http://www.biblicalperspectives.com/books/marriage/5.html, diunduh pada tanggal 3 Oktober 2009, 8:22 PM

[2] R. Rubiyatmoko, Pr, Hukum Perkawinan Kanonik, Yogyakarta: Fakultas Teologi Wedabhakti, 2001, hal. 5
[3] R. Rubiyatmoko, Pr, hal. 5
[4]Juraj Kamas, The Separation of The Spouses With The Bond Remaining, Roma: Editre Pontificia Universita Gregoriana, 1997, hal.10
[5] Juraj Kamas, hal.11
[6] Juraj Kamas, hal.10
[7] Juraj Kamas, hal.11
[8]Dalam teks Kej 4: 19-24, Lamekh (keturunan Kain) memperistri dua orang perempuan, yang satu namanya Ada, yang lain Zila. Yakub memiliki empat istri: Lea, Rahel, Bilha dan Zilpa (Kej 30).
[9] Juraj Kamas, hal.14
[10] Juraj Kamas, hal.15
[11]Jadi bekerjalah Yakub tujuh tahun lamanya untuk mendapat Rahel itu, tetapi yang tujuh tahun itu dianggapnya seperti beberapa hari saja, karena cintanya kepada Rahel (Kej 29:20)
[12] Juraj Kamas, The Separation of The Spouses With The Bond Remaining, Roma: Editre Pontificia Universita Gregoriana, 1997, hal. 11
[13] Lalu Salomo menjadi menantu Firaun, raja Mesir; ia mengambil anak Firaun, dan membawanya ke kota Daud, sampai ia selesai mendirikan istananya dan rumah TUHAN dan tembok sekeliling Yerusalem. (I Raja-raja 3:1)
[14] Hosea 2: 4-22
[15] Juraj Kamas, hal.17 dan Ossie Fountain, “A Biblical Theology of Marriage” dalam Point, 1987, hal.27-28
[16] Juraj Kamas, hal.18
[17] Juraj Kamas, hal.19


[18] Walter Kasper, Theology of Christian Marriage, London: Burns and Oated Ltd, 1980, hal. 45-46
[19] Juraj Kamas, hal.21
[20] Dr. C. Groenen, OFM, Perkawinan Sakramental: Anthropologis dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal.93-105
[21] Dr. C. Groenen, OFM, hal. 94-95
[22] Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.  Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat (Efesus 5: 31-32).
[23] Juraj Kamas, hal.31
[24] Juraj Kamas, hal. 33
[25] Juraj Kamas, hal. 34-35
[26] Juraj Kamas, hal. 35
[27] Juraj Kamas, hal. 36-44
[28] Juraj Kamas, hal. 36
[29] Juraj Kamas, hal. 37
[30] Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Perkawinan Dalam Tradisi Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal. 31
[31] Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF,  hal. 31
[32] Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF,  hal. 32
[33] Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF,  hal. 33
[34]  John R. Connery, SJ, “ The Role of Love in Christian Marriage”, dalam Marriage Studies: Reflections In Canon Law and Theology, Vol. 3,  Washington: Canon Law Society of Amerika, 1985, hal. 190
[35] John R. Connery, SJ, hal.190
[36] John R. Connery, SJ, hal. 191
[37] John R. Connery, SJ, hal. 193-194
[38] John R. Connery, SJ, hal. 194-195
[39] J. Neuner, SJ dan J. Dupuis, SJ, The Christian Faith: In The Doctrinal Documents of The Catholic Church, Bangalore: Theological Publications In India, 1996, hal. 714-715
[40] J. Neuner, SJ dan J. Dupuis, SJ, hal. 714
[41] J. Neuner, SJ dan J. Dupuis, SJ, hal. 715
[42] J. Neuner, SJ dan J. Dupuis, SJ, hal. 716
[43] J. Neuner, SJ dan J. Dupuis, SJ, hal. 719-730
[44] Rev Kevin Matthews, “Essential Elements and Essential Properties of Marriage” dalam  Catholic Tribunals: Marriage Annulment and Dissolution, Newton: E. J. Dwyer Pty Ltd, 1990, hal.116-118
[45]  Kitab Hukum Kanonik Edisi Resmi Bahasa Indonesia, Konferensi Wali Gereja, 2006
[46] John P. Beal, dkk (ed), New Commentary on The Code of Canon Law, New York: Paulist Press, 2000, hal.1240-1245
[47] Gaudium et Spes, art. 49
[48] John P. Beal, dkk (ed), New Commentary on The Code of Canon Law, New York: Paulist Press, 2000, hal.1246
[49] Kitab Hukum Kanonik Edisi Resmi Bahasa Indonesia, Konferensi Wali Gereja, 2006
[50] John P. Beal, dkk (ed), New Commentary on The Code of Canon Law, New York: Paulist Press, 2000, hal.1249
[51]  Rev Kevin Matthews, “Essential Elements and Essential Properties of Marriage” dalam  Catholic Tribunals: Marriage Annulment and Dissolution, Newton: E. J. Dwyer Pty Ltd, 1990, hal.130

[52] Rev Kevin Matthews, hal. 131-132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar