Kamis, 23 Desember 2010

Pertobatan Personal sebagai Dasar Pertobatan Sosial: Konteks Indonesia

Pengantar
                Dunia dan sejarah manusia senantiasa berubah. Titik-titik pencapaian usaha rasional manusia telah mempermak wajah dunia sedemikian rupa dengan berbagai kemungkinan kontinuitasnya. Situasi ini selalu dilematis, disatu sisi perubahan itu menyatakan suatu kemajuan kemanusiaan namun di sisi lain, bersamaan dengan itu, muncul kelompok korban yang tak mampu berjalan di rel yang disebut sebagai kemajuan. Anehnya, golongan ini justru mewakili sebagian besar wajah dunia yang sesungguhnya. Mereka, para korban itu terjepit dalam hingar bingar kejayaan manusia dengan kemajuan bidang-bidang kehidupan seperti ekonomi kapitalistik, politik utilitarian, sosialisme totaliter dan implosi kebudayaan global era teknologi informasi. Dengan kata lain, kemajuan-kemajuan itu hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil warga dunia. Selebihnya, para korban berjuang untuk survive di tanah sendiri yang telah menjadi ‘asing’. Culture of death menjadi ancaman langsung bagi pemaknaan atas hidup. Cita-cita keselamatan pun menjadi semacam utopia ketika dekadensi moral, kekerasan, hedonisme individualistik  dan kemiskinan struktural seolah laten mengakar pada setiap realitas hidup manusia. Penderitaan menjadi keniscayaan dalam hidup. Dalam situasi inilah, iman terhadap Allah Sang Sumber Hidup dan Keselamatan sejati ditantang dan dipertanyakan.  Apa arti beriman di tengah dunia  yang mulai ‘meminggirkan’ Allah dan menggantinya dengan ideologi, sistem, serta kebudayaan yang menempatkan konsumerisme, dominasi kapital, hedonisme dan kekuasaan monopolistik represif sebagai nilai tertinggi? Apakah yang dapat dijawab oleh iman ketika culture of death menjadi semacam narasi besar dalam perjalanan sejarah hidup manusia dewasa ini?
            Pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa direfleksikan oleh Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II. Refleksi  teologis tentang wahyu dan iman tak akan pernah dilepaskan dari pemaknaan atas realitas dunia yang tengah bergulir[1]. Secara khusus, pergulatan teologis era ini lebih berfokus pada pergulatan untuk menemukan kehendak Tuhan di  jaman ini yang ditandai dengan begitu banyak persoalan. Gereja  mulai terbuka pada partikularitas persoalan dunia. Gereja mulai  merefleksikan kembali orientasi dasarnya sebagai sakramen keselamatan Kristus bagi dunia real di sepanjang waktu dan seluas dunia. Refleksi ini hanya bisa dilakukan dengan membuka diri untuk mengalami perjumpaan, perjuangan bersama ‘Yang lain/yang berbeda’ demi mencapai keselamatan universal saat ini dan di sini. Untuk itu, refleksi atas dunia dan realitasnya menjadi nafas hidup Gereja dalam mempertanggungjawabkan imannya akan Kristus dan Kabar Gembira-Nya yang adalah Kebenaran Sejati.
Konsekuensinya, Gereja harus mulai melibatkan diri dalam perjuangan untuk menjawab permasalahan-permasalahan dunia bukan hanya dengan praktek-praktek religius ritual formal tetapi terlibat sungguh dalam praksis hidup sosial sehari-hari. Keterlibatan real ini sebagai bentuk perwujudan iman yang hidup akan janji Allah pada umat-Nya tentang keselamatan eskatologis yang telah dimulai sejak sekarang hingga akhir jaman seperti yang telah disabdakan oleh Kristus sendiri. At all events (scripture) it has no desire to be independent, but can only subsist within the spiritual reality of Jesus Christ, who remains with his own ‘always, to the close of the age’ (Mat 28:20) [2]. Dengan demikian, iman yang selalu hidup dalam keterlibatan untuk mengusahakan  keadilan dan kesejahteraan sosial, serta nilai cinta kasih ini menjadi semacam wujud pertobatan sejati yang membebaskan masyarakat manusia dari dosa-dosa struktural yang menyebabkan berkubangnya masyarakat ke dalam culture of death. Oleh karena dosa-dosa inilah, manusia tenggelam dalam kematian.

1.     Gereja dalam Konteks Sosial Masyarakat Indonesia awal abad XXI
            Konsili Vatikan II merupakan sebuah babak baru bagi Gereja dalam membuka diri terhadap dunia dengan segala macam realitasnya. Gereja mulai menyadari bahwa dirinya menjadi bagian dari dunia yang memiliki berbagai macam keprihatinan sosial sekaligus harapan  dalam hadirnya Kerajaan Allah yang nyata. Oleh karena itu, pewartaan Kerajaan Allah bukanlah sesuatu yang abstrak dan terpisah dari dunia, tetapi benar-benar real hidup di tengah-tengah dunia, menjadi bagian dari dunia. Hanya dengan hidup di tengah-tengah realitas dunia dengan segala kecemasan dan harapannya inilah Gereja dapat melaksanakan tugas perutusannya yakni menghadirkan  nilai-nilai Kerajaan Allah dalam hidup dunia sebagaimana diwartakan oleh Kristus sendiri. Hal ini tersirat dalam hampir seluruh dokumen yang muncul sebagai refleksi Konsili, khususnya Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium dan Gaudium et Spes.
            Gereja Indonesia abad XXI merupakan bagian dari Gereja Universal pasca Konsili Vatikan II yang juga terbuka terhadap realitas dunia. Konteks hidup sosial masyarakatnya menjadi medan bagi hidup dan perjuangan Gereja dalam mewartakan Kerajaan Allah yang menyelamatkan. Dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, Gereja dipanggil untuk turut serta melibatkan diri terus menerus bagi terwujudnya transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Hal ini menjadi tanda dari iman yang hidup di tengah-tengah realitas keprihatinan dan perjuangan masyarakat Indonesia ke arah tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial secara manusiawi dan rohani.
            Saat ini, Indonesia menjadi bagian dari negara-negara dunia ketiga yang tengah merangkak sebagai negara maju. Dalam perjalanannya, masyarakat Indonesia berhadapan dengan tantangan-tantangan dan berbagai macam krisis yang ada di dalamnya. Berbagai macam tantangan dan krisis ini tentu tidak terlepas dari sejarah yang telah bergulir sejak Indonesia berdiri sebagai negara merdeka. Hingga saat ini, bangsa Indonesia masih menghadapi begitu banyak keprihatinan sosial yang mengakibatkan munculnya penindasan-penindasan gaya baru (neo-imperialisme) yang bertentangan dengan prinsip Kerajaan Allah. Penindasan-penindasan ini muncul dari adanya dosa struktural yang telah terjadi semenjak negara ini menyatakan diri sebagai negara merdeka. Bahkan mungkin, dosa struktural ini merupakan warisan kolonial yang telah menyerang mentalitas sebagian besar dari masyarakat Indonesia. Untuk itulah, pertobatan sosial yang mengarah pada transformasi sosial menjadi sebuah tanggung jawab bersama sebagai bangsa dengan segala realitas pluriformitas warganya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam mewartakan Kerajaan Allah yang membawa pada pertobatan sosial dan transformasi sosial, segenap warga masyarakat yang plural ini hendaknya mengalami pertobatan personal dalam kerangka dialog yang membebaskan. Di samping itu, diperlukan juga kesadaran reflektif kritis terhadap realitas zaman dengan segala macam tantangan, keprihatian dan harapan yang ada di dalamnya. Ini semua menjadi salah satu langkah awal terjadinya pertobatan sosial ke arah transformasi sosial.
           
1.1.  Tantangan Globalisasi dan Teknologi Informasi
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia abad XXI ini adalah arus globalisasi dan berkembang pesatnya teknologi informasi. Globalisasi dan teknologi informasi menjadi karakter khas yang takterelakkan bagi masyarakat dunia dewasa ini. Arus globalisasi dan berkembang pesatnya teknologi informasi ini seperti pedang bermata dua. Satu sisi, globalisasi dan teknologi informasi mengandung harapan akan pencerahan ke arah kemanusiaan, sedangkan sisi lainnya, arus globalisasi dan teknologi informasi memunculkan keprihatinan khusus yang menyangkut masalah-masalah kemanusiaan.  Hal ini tampak dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Dengan adanya globalisasi dan teknologi informasi dalam bidang ekonomi, muncullah kecenderungan global yang menyebarkan sistem ekonomi pasar bebas ke segenap penjuru bumi. Sistem ekonomi yang mengutamakan kebebasan swasta untuk berdagang dan bersaing dipuji dan didukung di semakin banyak tempat[3]. Sistem ini melahirkan suatu kapitalisme global yang tujuan utamanya adalah pemupukan modal. Arus kapitalisme global ini membawa pada arus besar materialistis dan ekonomisme.  Akibat negatifnya, martabat pribadi manusia disubordinasikan di bawah kepentingan ekonomi dan hal-hal material (LE 7)[4]. Hal ini tentu akan semakin memperlebar jarak kesenjangan antara kelompok kaya (pemilik modal) dan miskin (kaum tak bermodal). Selain itu, bahaya yang mungkin terjadi dengan semakin gencarnya arus ekonomisme dan materialistis ini adalah eksploitasi manusia dan alam sebagai bagian dari produksi. Perbudakan terhadap manusia dan alam menjadi efek yang langsung terjadi karena arus ini. Di Indonesia, arus ini begitu kuat terjadi terlebih dalam permasalahan sekitar munculnya transnasional corporation yang mulai menanamkan modal di Indonesia dengan tujuan dapat mendapatkan tenaga kerja dan sumber daya alam sebagai bahan baku yang murah. Meski di satu sisi hal itu menjadi kebijakan sebuah pembangunan bangsa, namun dalam situasi ini, kesejahteraan dan keuntungan tidak dapat dirasakan oleh segenap warga bangsa. Hanya segelintir orang saja yang dapat menikmati keuntungan itu, yakni para pemilik modal dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Dalam situasi ini, teknologi informasi yang berkembang pesat pun mengabdi pada kepentingan kapitalisme global dan penciptaan citra bagi semakin mengakarnya ekonomisme dan materialistis.
Dalam bidang politik, muncullah kecenderungan global yang menyebarkan sistem pemerintahan gaya Barat (Eropa) yang cenderung mewarisi sistem kolonial. Sistem politik semacam ini belum tentu sesuai dengan karakter khas masyarakat dimana realitasnya sungguh berbeda dengan masyarakat Barat. Dalam konteks Indonesia, sistem politik seperti ini tentu menimbulkan berbagai macam keprihatinan berkaitan dengan persoalan etika politik. Munculnya kediktatoran dalam beberapa rezim yang berkuasa di Indonesia hingga saat ini pun merupakan bentuk keprihatinan terhadap sistem pemerintahan politik gaya Barat. Demokrasi yang terjadi terkesan dipaksakan karena situasi masyarakat yang plural. Muncullah penindasan gaya baru (neo-imperialisme) oleh pemerintahan sendiri maupun oleh golongan mayoritas terhadap rakyat serta golongan minoritas. Seperti yang terjadi saat ini, ketika era reformasi digulirkan dan kran terhadap keberagaman mulai dibuka, yang terjadi justru semakin banyaknya konflik horisontal bernada primordial dari golongan masyarakat tertentu yang menginginkan kekuasaan. Dalam situasi ini, keadilan mulai diusik dengan maraknya diskriminasi terhadap golongan minoritas. Praktek politik pun diwarnai dengan trik-trik yang jauh dari nilai etis. Politik tidak lagi dimaknai sebagai usaha duduk bersama demi mengusahakan kesejahteraan sosial Indonesia yang plural, namun lebih merupakan kepentingan individu maupun kelompok tertentu untuk memperoleh kekuasaan. Mentalitas individualis dan sektarian dalam berpolitik ini tentu membawa dampak akan terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme[5]. Dalam situasi ini, teknologi informasi lebih merupakan sarana untuk melanggengkan kekuasaan/menjaga status quo dengan menciptakan citra-citra bernada propagandis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam memperoleh serta mempertahankan kekuasaannya.

1.2.   Masyarakat Konsumeris Hedonis
Dalam tataran kehidupan sosial budaya masyarakatnya, bangsa Indonesia tengah menghadapi tantangan konsumerisme dan hedonisme. Dengan munculnya kapitalisme global dan arus ekonomisme materialistis, masyarakat Indonesia mulai berhadapan dengan realitas konsumerisme dan hedonisme. Struktur pemaknaan zaman saat ini tidak lagi pada spiritualitas dan humanisme religius, tetapi materialisme dan konsumerisme. Humanisme direduksi sebagai pemuasan hasrat tanpa batas bagi manusia. Sementara religiusitas direduksi sebagai hasrat akan pemenuhan diri secara psikologis matematis. Antroposentrisme semacam ini mengakibatkan lemahnya asketisme publik yang akut. Lantas muncullah berhala-berhala baru berupa barang-barang industri. Mereka pun mendirikan tempat ibadah baru berupa katedral-katedral yang berwujud mal-mal serta menciptakan wujud ibadah baru yakni berbelanja. Terbukti sikap seperti ini telah menimbulkan beberapa keprihatinan dengan munculnya persoalan ekologis berkaitan dengan masalah sampah, eksploitasi sumber daya alam (illegal logging, pencemaran lingkungan karena limbah, penambangan yang tak ramah lingkungan, dan global warming). Selain itu, muncul masyarakat kesepian yang lantas mencari pelarian ke arah pemenuhan lewat intertainment yang dangkal semacam prostitusi, perjudian, tontonan kekerasan, alkohol dan narkoba, dan hasrat berbelanja. Masyarakat dewasa ini begitu diwarnai dengan masyarakat yang mengagung-agungkan pemenuhan hasrat sebagai agama baru. Dalam masyarakat seperti ini, kejahatan pun mulai tumbuh subur sebagai bentuk survival for the fittest.

1.3.   Diskriminasi Suku Agama, Ras dan Antar-golongan
Di Indonesia saat ini, diskriminasi Suku Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA) masih menjadi hal yang sensitif bagi sebagian besar masyarakatnya. Berbagai macam konflik sosial yang berlatar belakang Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan masih sering terjadi. Kasus konflik horisontal berbau SARA seperti yang terjadi pada awal reformasi dengan korban warga etnis Tionghoa, kerusuhan Dayak-Madura, konflik  Islam-Kristen di Poso, Ambon serta maraknya perusakan tempat ibadah berupa gereja-gereja serta diskriminasi terhadap aliran kepercayaan merupakan bukti betapa isu SARA masih begitu sensitif bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Meski motif dasar dari konflik itu bukanlah persoalan SARA, namun sikap primordialisme Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan menjadi sarana yang memungkinkan pihak-pihak tertentu dalam memicu kerusuhan dan konflik horisontal. Sikap primordial ini menjadi latarbelakang dari segala bentuk diskriminasi yang terjadi di negeri ini berdasarkan isu SARA. Diskriminasi ini tentu melukai prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Akibatnya, banyak masyarakat yang tidak berdosa menjadi korban, terutama mereka yang miskin dan minoritas.
 Hal yang sama terjadi juga dalam proses stigmatisasi yang diterima oleh para eks tahanan politik era 1965. Oleh pemerintahan era Soeharto, mereka dan keturunannya dianggap sebagai pengkhianat negara dan harus diletakkan dalam kerangka stigmatisasi itu. Demikian kuatnya proses stigmatisasi itu hingga akhirnya masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis dalam memandang keadilan. Situasi semacam ini masih hidup dalam realitas masyarakat Indonesia hingga kini. Dengan mengatakan bahwa pihak ‘liyan’ atau ‘yang distigmatisasi sebagai pengkhianat’ adalah musuh, maka menaklukan dan berbuat tidak adil bagi mereka adalah tindakan yang dapat dibenarkan. Dalam tahap ini, nilai-nilai moral pun dikhianati hanya demi kejayaan kelompoknya atau kepentingannya sendiri.

1.4.   Eksploitasi Alam dan Lingkungan Hidup
Oleh karena arus globalisasi yang mengagungkan kapitalisme, materialisme, dan hedonisme, penghargaan terhadap alam dan lingkungan hidup pun tidak lagi diutamakan. Dalam konteks Indonesia, ada begitu banyak bentuk eksploitasi alam dan lingkungan hidup ini demi memuaskan hasrat manusia. Dengan dalih  pembangunan, eksploitasi alam dan lingkungan hidup menjadi sesuatu hal yang absah dilakukan. Hal ini tentu berakibat hilangnya keseimbangan ekologis. Berbagai macam bencana yang terjadi di Indonesia akibat adanya ketidakseimbangan ekologis ini merupakan akibat dari eksploitasi terhadap alam dan lingkungan hidup. Sebagai contoh misalnya: pencemaran di Teluk Buyat beberapa waktu lalu yang mengakibatkan beberapa korban dari penduduk sekitar, illegal logging  dan industrialisasi yang mengakibatkan naiknya suhu global, penggunaan yang terlalu berlebihan terhadap bahan bakar minyak menyebabkan krisis energi bahan bakar fosil, penumpukan sampah dan tiadanya tanah resapan di Jakarta yang menyebabkan banjir tahunan,  dan munculnya masalah-masalah kesehatan, dsb.
Tentu pembangunan yang menuju kesejahteraan manusia tetap menjadi bagian penting dari kehidupan sosial masyarakat, namun Indonesia belum benar-benar menerapkan pembangunan yang ramah lingkungan, pembangunan yang memperhatikan keseimbangan ekologis. Hal ini juga dipicu oleh perkawinan  antara kapitalisme  dan kekuasaan politik yang mengabaikan nilai-nilai etis dan penghormatan terhadap alam serta lingkungan hidup. Eksploitasi alam dan lingkungan hidup ini dilakukan oleh segelintir orang yang memegang kekuasaan dan modal. Dengan mengeksploitasi alam dan lingkungan hidup ini, kapitalisme dan kekuasaan yang menekankan hasrat hanya akan menimbulkan kesengsaraan bagi orang-orang yang miskin, lemah, dan tradisional.

1.5.   Kemiskinan Struktural
Menurut Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta orang (16,58 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2006 yang berjumlah 39,30 juta (17,75 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,13 juta. Meskipun demikian, persentase penduduk miskin pada Maret 2007 masih lebih tinggi dibandingkan keadaan Februari 2005, dimana persentase penduduk miskin sebesar 15,97 persen. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam dari pada daerah perkotaan. Selama periode Maret 2006-Maret 2007, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,20 juta, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,93 juta orang. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,13 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2007 persentase ini hampir sama yaitu 63,52 persen[6].
Melihat dari data tersebut,  kemiskinan tetap menjadi salah satu perhatian pemerintah dan masyarakat sebagai bangsa di Indonesia. Meski setiap tahun data mengenai jumlah orang miskin selalu fluktuatif, namun realitas kemiskinan akan tetap ada di Indonesia. Hal ini merupakan bagian dari realitas Indonesia sebagai negara dunia ketiga dimana kemiskinan warganya masih menjadi salah satu keprihatinan utama. Kenyataan yang sama dihadapi pula oleh negara-negara dunia ketiga yang lain di sekitar Asia dan Amerika Latin. Meski begitu, kita patut bertanya tentang penyebab mengapa kemiskinan di negara dunia ketiga seolah menjadi sebuah penyakit yang tak tersembuhkan? Mengapa kemiskinan itu selalu ada di negara-negara dunia ketiga yang sebagian besar justru kaya akan sumber daya alam dan tenaga kerja?
1.6.   Terorisme dan Budaya Kekerasan
Di Indonesia, terorisme dan budaya kekerasan menjadi tantangan tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terorisme dan budaya kekerasan ini terjadi erat kaitannya dengan persoalan praktek politik yang seringkali mengabaikan nilai-nilai etis. Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer seolah menjadi suatu hal yang umum demi menjaga stabilitas negara. Peristiwa-peristiwa seperti pembantaian  massal  para anggota PKI tahun 1965-1966[7], Operasi Militer di daerah-daerah yang dianggap separatis seperti Timor Leste, Papua, dan Aceh, serta kerusuhan-kerusuhan berbau politis (kerusuhan Mei 1998[8], salah satu contohnya) hingga pembunuhan  serta penculikan aktivis hak asasi manusia menjadi bukti bahwa Indonesia masih begitu akrab dengan terorisme dan kekerasan. Hal ini didukung oleh munculnya media-media yang kerap menyajikan tayangan tentang terorisme dan kekerasan.
Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi akhir-akhir ini pun seakan menambah daftar panjang teror kekerasan di  Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut telah menyebabkan teror yang semakin memperkuat kecurigaan di antara masyarakat sendiri. Akibatnya, konsolidasi dan persatuan sebagai bangsa pun dirongrong oleh peristiwa-peristiwa ini. Tujuan dari terorisme dan kekerasaan adalah demi memperlemah demokrasi yang menjunjung tinggi nilai komunitas. Masyarakat yang terbentuk pun seolah dipaksakan untuk tunduk pada satu kekuasaan yang telah dimiliki oleh suatu rezim. Praktek demikian ini masih begitu lazim terjadi di Indonesia dan luka-luka sejarah itu tidak begitu saja terhapus namun masih saja menampakkan diri dengan wujud yang baru.


1.7.   Masyarakat yang Hidup di Tengah Culture of Death
Konteks sosial masyarakat Indonesia yang diwarnai dengan berbagai macam keprihatinan dan tantangan tersebut menjadi indikasi bahwa saat ini masyarakat (dimana Gereja juga menjadi bagian di dalamnya) tengah hidup dalam realitas culture of death.  Meski demikian, keadaan yang memprihatinkan ini, - dalam iman, harapan dan kasih- perlu dipandang sebagai tantangan untuk terus berjuang penuh harapan, bekerjasama, dan solider membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi semua[9]. Berbagai macam keprihatinan yang mengarah kepada budaya kematian (culture of death) itu merupakan salah satu akibat dari dosa sosial yang membelenggu masyarakat Indonesia hingga kini. Untuk itulah, sebuah rekonsiliasi sosial yang berakar dari pertobatan sosial amat diperlukan demi mendukung terjadinya transformasi sosial yang cukup signifikan dan relevan.
2. Gereja sebagai Garam dan Terang Dunia: Pertobatan Sebagai Pintu Gerbang
2.1.     Pertobatan  Sosial Menjadi Dasar bagi Pewartaan Kerajaan Allah
 Bagaimanakah  Gereja mewartakan Kerajaan Allah sebagai garam dan terang (Mat 5:13-16) dunia dalam konteks Indonesia yang menghadapi realitas budaya kematian (culture of death ) tersebut? Lalu apakah artinya mewartakan Kerajaan Allah dalam dunia yang penuh dengan keprihatinan dan tantangan tersebut? Dalam bukunya Jesus and The Other Name, Paul Knitter menyebutkan bahwa Kerajaan Allah itu merupakan realitas duniawi. Kerajaan Allah yang nyata juga hadir di dunia dalam tindakan Yesus yang berjuang demi perbaikan, kesejahteraan, hidup yang lebih penuh bagi orang-orang di sekitar-Nya, terutama bagi mereka yang menderita. Kerajaan Allah ini merupakan realitas dimana hati manusia dan masyarakat berubah ke arah yang lebih baik.  Kerajaan Allah adalah keselamatan bagi manusia baik di surga maupun di bumi. Kerajaan Allah adalah realitas dimana Allah meraja dalam seluruh aspek dan dinamika kehidupan manusia dimana hal itu akan membawa manusia kepada kepenuhan dirinya sebagai manusia[10].
Dalam usaha mewartakan Kerajaan Allah, pertobatan adalah suatu hal yang sungguh mendesak untuk dilakukan[11]. Sebagaimana awal pewartaan Yesus sendiri tentang Kerajaan Allah, sikap pertama yang hendaknya menjadi disposisi awal adalah pertobatan (Mrk 1: 14-15; Mat 4:17). Pertobatan ini merupakan suatu sikap bebas merdeka untuk kembali bersatu dengan Allah dan menerima kasih Allah sebagaimana ditampakkan oleh Kristus sendiri yang telah bersatu hidup dengan Allah. Kristuslah Kerajaan Allah itu sendiri dimana kasih dan kehendak Allah menjadi nyata dalam hidup dan karya-Nya. Dengan kehadiran Kristus inilah Kabar Gembira dinyatakan dan kuasa dosa dikalahkan. Pertobatan berarti hidup sesuai dengan tindakan dan karya Yesus  dalam mewartakan kasih dan keselamatan bagi dunia. Hal ini ditandai oleh tiga hal: (1) Penyesalan akan perbuatan jahat di masa lampau; (2) Kembali ke rencana keselamatan Allah; (3) pertobatan sebagai peristiwa sosial[12].
Dengan demikian, amat perlulah adanya pertobatan sosial sebagai dasar dari pewartaan Kerajaan Allah di Indonesia. Pertobatan sosial ini menuntut kesadaran akan struktur yang tidak adil, struktur yang melahirkan kaum tertindas dan tersisihkan di dalam masyarakat(korban)[13]. Sebab pewartaan Kerajaan Allah yang menyelamatkan tidak hanya dianugerahkan secara individual tetapi dianugerahkan secara komunal (kesatuan komunitas).

2.2.     Pertobatan Personal sebagai Dasar Pertobatan Sosial Menuju Transformasi Sosial
Setiap manusia dipanggil kepada keselamatan yakni bersatu dengan Tuhan. Namun dalam dunia ini, manusia mengingkari kasih Allah ini karena kuasa dosa. Oleh karena dosa ini, manusia terpisah dari Allah, Sang Sumber dan Tujuan hidupnya. Saat itu, manusia tidak hidup dalam Kerajaan-Nya. Hal ini tampak dalam berbagai macam penderitaan yang dialami oleh manusia dan masyarakatnya (culture of death). Pewartaan Kerajaan Allah pertama-tama selalu didasari dengan pertobatan. Para nabi dan bahkan Yesus sendiri telah menyatakan hal itu. Ketika kehidupan dikuasai oleh dosa yang menyebabkan penderitaan dan kematian, pertobatan diperlukan agar manusia berbalik kepada Tuhan yang penuh kasih dan rahim. Di samping berdimensi sosial, dosa juga berdimensi personal. Dimensi personal dari dosa ini sebagai konsekuensi dari kebebasan manusia. Setiap manusia bebas untuk menerima atau menolak kasih Allah itu. Dan ketika seseorang menolak kasih Allah, ia jatuh dalam dosa yang adalah bertindak melawan moral atau berbuat jahat. Perbuatan melawan moral atau kejahatan adalah bentuk perlawanan terhadap Allah dan panggilan ke arah kesejatian manusia[14]. Dengan perbuatan dosa manusia melanggar tujuan sejati, dan kegagalan ini membuat ia terdampar pada disharmoni dan frustasi (GS 13). Selain melukai diri sendiri, dosa personal ini juga melukai kehidupan bersama. Setiap dosa (bahkan dengan ciri paling personal sekalipun) menjadi rintangan bagi perwujudan tujuan akhir bersama[15].
Oleh karena itu, pertobatan sosial dapat dimulai melalui pertobatan personal. Pertobatan ini merupakan wujud rekonsiliasi dengan Allah, sesama (Gereja dan masyarakat) serta lingkungan hidupnya.  Menurut Benhard Haering, pertobatan ini pertama-tama merupakan inisiatif dari Allah sendiri untuk menyelamatkan umat-Nya.  Walau inisiatif  untuk mengawali proses rekonsiliasi berasal dari Allah, manusia tetap punya peranan dalam proses tersebut. Setiap manusia dipanggil untuk bekerja sama dengan inisiatif Allah itu. Ia diharapkan untuk menanggapi tawaran pengampunan dan belaskasihan-Nya yang tak terbatas[16]. Dengan demikian, unsur kebebasan pribadi turut menentukan terjadinya metanoia personal yang membawa pada rekonsiliasi/pertobatan sosial. Hal yang sama dikatakan juga oleh  J.B. Libanio dalam tulisannya yang berjudul Submitting to a Process of Purification tentang pertobatan sosial didasari oleh pertobatan personal. Menurut dia, pertobatan sosial dimulai dari individu-individu yang memiliki ‘hati baru’ untuk menjadi anak-anak Allah, saudara-saudara Kristus, dan hidup dalam kuasa Roh Kudus. Hidup dengan ‘hati baru’, kesadaran sebagai anak-anak Allah, saudara-saudari Kristus dan hidup dalam kuasa Roh Kudus ini merupakan wujud dari pertobatan personal. Pertobatan ini akan mereformasi mentalitas umat beriman dan membawa kehidupan mereka selaras dengan Kristus, membawa mereka untuk bertanggung jawab secara penuh dalam mengubah dunia sesuai dengan visi Kristus, dari dunia yang dikuasai dosa dan penderitaan ke dalam Kerajaan Allah yang memerdekakan[17].

2.3.    Pertobatan Personal sebagai Transendensi Diri ke Arah Transformasi Hidup
            Interpretasi otentik dari pertobatan Kristiani tidak dipahami sebagai sebuah pengorbanan diri (self-sacrifice) atau pemenuhan diri (self fulfillment) tetapi dipahami sebagai sebuah realitas dinamis atas transendensi diri sebagai suatu hal normatif bagi kehidupan spiritual. Transendensi diri merupakan sebuah gerakan dinamik untuk melampaui diri sendiri demi kebaikan orang lain[18].  Hal yang sama disampaikan juga oleh Bernard Lonergan bahwa transendensi diri itu terjadi ketika pribadi manusia menanggapi secara radikal atas pencarian makna hidup, kebenaran, nilai dan cinta. Tanggapan secara radikal ini tidak hanya akan berhenti pada pencarian makna saja tetapi mengarahkan pribadi itu untuk bertindak sesuai dengan tanggung jawab moralnya. Ketika orang mengalami transendensi diri, ia akan memberikan hal terbaik dari dirnya  secara total dan merdeka demi tanggung jawab moral sesuai konteks kebutuhan yang dihadapinya. Apabila orang mengalami transendensi diri ini, ia akan mengalami reorientasi hidup yang akan semakin mengarahkannya pada pencarian makna hidup, kebenaran, nilai moral dan komitmen terhadap cinta[19]. Reorientasi hidup atas dasar transendensi diri seperti itulah yang disebut sebagai pertobatan.
Kemampuan manusia untuk ber-transendensi diri ini selalu bersifat personal sekaligus sosial. Oleh karena itu, taraf masing-masing pribadi dalam ber-transendensi diri akan selalu berbeda satu sama lain. Reorientasi hidup personal atas dasar transendensi diri ini menjadi wujud dari suatu pertobatan personal. Salah satu contoh dari pertobatan personal sebagai realitas transendensi diri ini adalah pertobatan Rasul Paulus. Perubahan orientasi hidup Santo Paulus dari pribadi yang menjalankan Hukum Taurat secara ketat dengan mengejar serta membunuh orang-orang Kristen awal ke arah komitmen cinta terhadap kebenaran Kristus menjadi wujud transendensi dirinya. Pertobatan semacam ini selalu ditandai dengan perubahan radikal atas paradigma lama dalam dirinya demi suatu sikap baru untuk melampaui diri demi suatu transendensi diri (pencapaian makna hidup, kesejatian manusia, dan komitmen terhadap cinta). Pertobatan semacam ini selalu memiliki dimensi perjalanan spiritual manusia ke arah kesejatiannya.
Secara umum, setiap manusia memiliki kemampuan untuk ber-transendensi diri dan mencapai kesejatian hidupnya sebagaimana diungkapkan oleh St. Agustinus ketika bertobat.  Kesejatian manusia hanya dapat ditemukan dalam relasi intimnya dengan Allah. Kata-kata St. Agustinus: “Hanya kepada-Mu Tuhan jiwaku menemukan istirahat kekal” kiranya menjadi gambaran bagaimana setiap manusia dipanggil ke arah kesejatian hidupnya, yakni bersatu dengan Allah. Dengan demikian, setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengalami pertobatan. Pada dasar dirinya, manusia selalu memiliki kerinduan untuk bisa bersatu dengan Allah, yang adalah sumber, asal serta tujuan hidupnya. Hal yang sama dikatakan juga oleh Karl Rahner bahwa manusia adalah selalu ‘menjadi’ dan manusia selalu pada perjalanan ke  arah tujuannya. Dengan demikian, pertobatan selalu berdimensi eskatologis, yakni antisipasi terhadap hidup manusia di masa depan. Pertobatan selalu menjadi wujud tanggapan iman atas wahyu Allah yang mewujud dalam gerak transendental manusia menuju kepenuhannya, yakni keselamatan di dalam Allah.
Lantas bagaimanakah  realitas konkret pertobatan sebagai bentuk transendensi diri manusia? Bentuk pertanggungjawaban iman sebagai bagian pokok dari transendensi diri manusia menuju kepenuhannya itu adalah melalui komitmen terhadap tanggung jawab global dan  tindakan moral. Komitmen pribadi terhadap tanggung jawab global dan tindakan moral kontekstual itu menjadi wujud dari reorientasi hidup berdasar atas transendensi diri. Hal ini memungkinkan terjadinya sebuah transformasi hidup ke arah terjalinnya kembali relasi intim yang membebaskan antara pribadi manusia dengan Allah, dengan  pribadi sesamanya dan juga alam semesta.  
Dengan dasar pemahaman teologis tentang pertobatan seperti inilah, Gereja sebagai sakramen keselamatan Allah yang mewartakan Kerajaan Allah sebagaimana telah diwartakan oleh Kristus mewartakan juga tentang pertobatan. Oleh Gereja, pertobatan selalu dimaknai sebagai anugerah  keselamatan Allah bagi manusia yang telah membebaskan manusia dari segala dosa dan kelemahannya melalui hidup, karya, sengsara, wafat dan kebangkitan  Kristus. Oleh karena penebusan-Nya di atas kayu salib, manusia dimungkinkan untuk selalu kembali kepada Allah. Anugerah itu terus menerus dicurahkan oleh Allah melalui Kristus hingga saat ini dalam sakramen baptis dan sakramen tobat. Dengan memberikan diri dibaptis, setiap orang dibebaskan dari dosa dan diangkat menjadi putra Allah sebagaimana Kristus sendiri telah membukakan pintu keselamatan yang telah tertutup oleh dosa Adam (kejatuhan Adam ke dalam dosa merupakan simbolisasi realitas manusia yang rapuh dan berdosa). Sementara dengan sakramen tobat, anugerah pembaharuan diri terus menerus dicurahkan agar setiap orang yang bertobat semakin serupa dengan Kristus, Sang Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Kepenuhan manusia). Pada saat itulah  manusia dimampukan untuk mengalami pertobatan personal sebagai wujud transendensi diri ke arah transformasi hidup yang berciri membebaskan. Pertobatan personal ini akan selalu menjadi dasar bagi terwujudnya suatu pertobatan sosial demi kesejahteraan bersama sebagai hadirnya Kerajaan Allah secara real saat ini maupun pada saat kepenuhannya nanti.

3.  Mendirikan Kerajaan Allah di Indonesia: Melintasi Jalan Terjal
Dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Indonesia saat ini yang tengah berhadapan dengan tantangan kebudayaan kematian (culture of death) akibat dosa, bagaimanakah pertobatan ke dalam Kerajaan Allah  itu diusahakan? Bagaimanakah mengusahakan terjadinya pertobatan sosial yang mengarah pada transformasi sosial di dalam konteks Indonesia yang memiliki tradisi religius dan budaya yang plural?
Dalam Nota Pastoral Konferensi Wali Gereja Indonesia Tahun 2003 yang berjudul Keadilan Sosial Bagi Semua, segala keprihatinan atas munculnya culture of death yang terjadi di Indonesia ini pertama-tama disebabkan oleh penghayatan iman yang masih berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol, dan upacara keagamaan. Dengan kata lain, iman tidak lagi menjadi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata.  Altar tetap tidak sampai ke pasar. Salah satu akibatnya adalah lemahnya pelaksanaan etika politik. Politik tidak lagi dilihat sebagai upaya mencari makna dan nilai atau jalan bagi pencapaian kesejahteraan bersama. Maka diperlukan pertobatan, yaitu perubahan dan pembaruan hati serta budi, baik secara personal maupun bersama. Bagaimanakah Gereja turut terlibat dalam mengusahakan terjadinya pertobatan ini? Bagaimanakah tradisi pertobatan personal dalam Gereja Katolik yang diletakkan dalam bingkai sakramen tobat dapat membawa umat  sampai pada pertobatan hati dan budi secara mendalam ke arah kebaikan bersama?
Sebagai umat yang beriman kepada Kristus di Indonesia, Gereja turut mewartakan Kerajaan Allah yang khas dengan situasi Indonesia. Pertobatan hati dan budi yang telah dimulai dalam tradisi sakramen tobat hendaknya tidak berhenti dalam perayaan saja. Namun penghayatan tradisi sakramen tobat itu hendaknya diikuti dengan tindakan nyata yang sungguh membawa masyarakat sampai pada pertobatan sosial. Bagaimana itu dilakukan?  Salah satunya adalah dengan menjalin kerjasama serta dialog demi tanggungjawab global dengan umat tradisi religius lain serta budaya lain. Semangat untuk bekerjasama dan dialog ini tentu telah dibangun dalam pertobatan personal masing-masing melalui sakramen tobat dan katekese tentang pertobatan. Ketika umat beriman mau dengan rendah hati untuk mengakui segala kesalahannya di bilik pengakuan, ia diajak untuk mau hidup jujur rendah hati dan memiliki semangat belajar untuk selalu mengandalkan Allah dalam hidupnya.  Sakramen tobat dalam Gereja Katolik telah menjadi saluran rahmat pertobatan yang mendalam bagi setiap manusia demi kebaikan masyarakat.
Dalam Gereja Katolik, Sakramen tobat disebut juga sakramen rekonsiliasi. Melalui sakramen ini, manusia dipersatukan kembali (mengadakan rekonsiliasi) dengan Allah, Gereja (sesama) dan juga dengan semua makhluk serta alam lingkungan.[20] Dengan menerima sakramen tobat atau rekonsiliasi, setiap umat beriman dipersatukan kembali dengan Allah, Gereja, dan alam lingkungan serta mengalami pembaharuan hidup. Meski penerimaan sakramen tobat sendiri masih menekankan segi liturgis dan ritual, namun hal ini memerlukan sebuah disposisi batin yang matang dan dewasa. Keberanian untuk mengungkapkan segala kesalahan dan menyesal atasnya kepada Allah melalui perantaraan para imam sungguh merupakan keutamaan pribadi yang berasal dari dinamika transendensi diri. Imanlah yang menggerakkan setiap umat untuk mengalami ‘persatuan kembali dengan Allah’. Gerak pertobatan personal yang dinyatakan melalui sakramen pertobatan merupakan langkah awal terjadinya pertobatan mendalam ke arah transendensi yang konkret demi pertobatan sosial. Apabila pribadi-pribadi dalam masyarakat memiliki iman yang demikian serta disposisi batin yang selalu mengajak untuk kembali kepada Allah, niscaya pertobatan sosial pun tidak lagi tinggal sebagai utopia. Dengan terjadinya pertobatan sosial yang didasari oleh pertobatan personal dari pribadi-pribadi yang termasuk di dalamnya, Kerajaan Allah akan senantiasa hadir bagi hidup umat beriman.
Di tengah hidup masyarakat yang mulai diwarnai dengan culture of death ini, mewartakan Kerajaan Allah dengan dasar pertobatan personal yang mendalam  karena proses transendensi diri ini bak melintasi jalan terjal. Pertobatan untuk mengalami hidup baru di dalam Allah ini sungguh memerlukan keberanian yang besar dalam mengikuti Salib Kristus. Bertobat artinya berani menanggung salib karena dosa manusia demi keselamatan orang banyak. Bertobat artinya memberikan diri bagi kebaikan banyak orang dan selalu memiliki keterbukaan hati untuk selalu ‘kembali’ kepada kehendak-Nya. Bertobat berarti mengawali dari diri sendiri untuk tidak hidup dalam habitus culture of death. Dengan diawali dari diri sendiri, orang yang bertobat membawa masyarakatnya ke culture of life dimana Allah menjadi satu-satunya sumber, tujuan, inspirasi, dan daya bagi perjuangannya untuk semakin mentransendensikan diri sebagai manusia yang penuh sebagaimana  Tuhan Yesus Kristus.











Daftar Pustaka
1.      Al. Purwo Hadiwardoyo, MSF, Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2007
2.      Antonius Sumarwan, SJ, Menyeberangi Sungai Air Mata, Yogyakarta: Kanisius, 2007
3.      Berita Resmi Statistik No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007
4.      DKP  KAS, Nota Pastoral: Menjadikan Keluarga Basis Hidup Beriman, 2007
5.      E. Martasudjita, Pr,  Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, Yogyakarta : Kanisius, 2003
6.      J.B. Libanio, Spiritual Discernment and Politic, New York: Orbis Book, 1982
7.      Karl Heinz Peschke SVD, Etika Kristiani Jilid I: Pendasaran Teologi Moral,  Maumere: Penerbit Ledalero, 2003
8.      Kumpulan  Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999
9.      Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, Yogyakarta: Kanisius, 2005
10.  Rahner, K/Ratzinger, J, Revelation and Tradition, Freiburg, 1966
11.  Ratzinger, Joseph, Theological Highlights of  Vatikan II, Paulist Press Deus Books: New York, 1966
12.  Sidang Konferensi Wali Gereja Indonesia, Nota Pastoral: Keadilan Bagi Semua, 3-13 November 2003
14.  Joann Wolski Conn Walter E. Conn, Conversion as Self-Transcendence Exemplified in the Life of St. Thérèse of Lisieuxdalam   Spirituality Today ,Winter 1982, Vol. 34, No. 4, pp. 303-311. http://www.spiritualitytoday.org/spir2day/823442conn.html,  diunduh tgl.25 Nov 2008


[1] Ratzinger, Joseph, Theological Highlights of  Vatikan II, Paulist Press Deus Books: New York, 1966, hal.1-2.
[2]  Rahner, K/Ratzinger, J, Revelation and Tradition, Freiburg, 1966,  hal. 35-49
[3] DKP KAS, Nota Pastoral: Menjadikan Keluarga Basis Hidup Beriman, 2007
[4] Laborem Exercens, art. 7
[5] DKP KAS, Nota Pastoral: Menjadikan Keluarga Basis Hidup Beriman, 2007
[6] Berita Resmi Statistik No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007
[7]. Robert Cribb menulis bahwa pembantaian beberapa ratus ribu orang di Indonesia pasca upaya kudeta 30 September 1965 merupakan salah satu pembunuhan massal terbesar pada abad keduapuluh.(Antonius Sumarwan, SJ, Menyeberangi Sungai Air Mata, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal.324-364)
[8] Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei - 15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama perusahaan-perusahaan yang dianggap ada hubungannya dengan keluarga Soeharto dan konco-konconya — dirusak secara membabi-buta oleh massa yang mengamuk. Selain itu banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa juga menjadi sasaran amuk massa, terutama di Jakarta dan Surakarta. Sampai saat ini belum begitu jelas siapa yang menunggangi mereka. Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Hal yang memalukan ini mengingatkan seseorang kepada peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi. Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut.(www. wikipedia/kerusuhan Mei 1998)

[9] Sidang Konferensi Wali Gereja Indonesia, Nota Pastoral: Keadilan Bagi Semua, 3-13 November 2003
[10] Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal.176-182
[11] Demi berjuang penuh harapan, bekerjasama, dan solider membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi semua diperlukanlah pertobatan, yaitu perubahan dan pembaruan hati serta budi, seperti diserukan para Nabi dan Yesus sendiri. (Sidang Konferensi Wali Gereja Indonesia, Nota Pastoral: Keadilan Bagi Semua, 3-13 November 2003)
[12] Karl Heinz Peschke SVD, Etika Kristiani Jilid I: Pendasaran Teologi Moral,  Maumere: Penerbit Ledalero, 2003, hal.377-380
[13] Ibid, hal.380
[14] Karl Heinz Peschke SVD, Etika Kristiani Jilid I: Pendasaran Teologi Moral,  Maumere: Penerbit Ledalero, 2003, hal. 333-334.
[15] Ibid, hal. 335
[16] Al. Purwo Hadiwardoyo, MSF, Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 62-63
[17] J.B. Libanio, Spiritual Discernment and Politic, New York: Orbis Book, 1982, 8-9
[18] Joann Wolski Conn Walter E. Conn, Conversion as Self-Transcendence Exemplified in the Life of St. Thérèse of Lisieux . Diunduh dari: http://www.spiritualitytoday.org/spir2day/823442conn.html, tgl.25 Nov 2008
[19] Ibid. Joann Wolski Conn Walter E. Conn, Conversion as Self-Transcendence Exemplified in the Life of St. Thérèse of Lisieux . Diunduh dari: http://www.spiritualitytoday.org/spir2day/823442conn.html, tgl.25 Nov 2008

[20] E. Martasudjita, Pr,  Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 323-327

Tidak ada komentar:

Posting Komentar