Kamis, 23 Desember 2010

Nasionalisme sebagai Realitas Budaya Modern [1]

Memahami secara singkat tulisan Benedict Anderson tidak cukup mudah bagi saya. Begitu banyak kata-kata simbolis yang tertuang dalam tulisannya sebagai wujud dari manifestasi pembongkaran terhadap konstelasi sosial suatu masyarakat tertentu. Meski demikian, tulisan tersebut cukup kritis dalam usahanya merunut secara jeli akar-akar kebudayaan yang telah berevolusi sedemikian rupa hingga membentuk apa yang disebutnya sebagai imagined communities (komunitas-komunitas terbayang) dalam sejarah masyarakat dunia. Pembahasannya dengan menampilkan literatur-literatur dari kebudayaan tertentu dalam periode sejarah tertentu amat membantu pembaca dalam memahami bagaimana akar-akar budaya itu telah sedemikian rupa ‘mengikat’ suatu kumpulan manusia dibawah kuasa kata-kata (bahasa). Bahasa lantas memiliki fungsi multidimensi: simbol manifestasi kebudayaan, ekspresi sakralitas transendental tentang pemahaman akan Yang Ilahi serta jembatan komunikasi. Multidimensi  fungsi  dari bahasa ini memungkinkan adanya ikatan yang menjadikan manusia satu sama lain merasa sebagai satu komunitas. Menurut Ben Anderson, kekuatan bahasa sebagai suatu ‘pengikat’ manusia sebagai komunitas-komunitas terbayang ini diawali dengan munculnya komunitas religius, ranah dinastik, dan pemahaman tentang waktu yang menjadi hermeneutika makna era pra-Pencerahan. Saat itu, kekuatan bahasa digunakan sebagai pemersatu (secara tidak kentara) manusia ke dalam komunitas religius tertentu, warga dari dinasti monarki tertentu, dan pemahaman tentang waktu tertentu.
Ketiga konsepsi kebudayaan inilah yang memungkinkan munculnya ‘komunitas terbayang’. Di sebut sebagai ‘komunitas terbayang’ karena  manusia disatukan ke dalam sistem kebudayaan itu meski manusia satu sama lain tidak saling mengenal secara personal. Dengan kata lain, orang akan terceraikan dari komunitasnya apabila ia tidak menggunakan bahasa yang mengabdi pada tiga konsepsi  kebudayaan itu. Dan kenyataan ini akan selalu menjadi kenyataan yang mustahil karena secara langsung dan pasti setiap pribadi yang terlahir di dunia ini telah tergabung dalam konstelasi tiga konsepsi itu. Ada semacam faktisitas yang menjadikan manusia sebagai warga dari komunitas-komunitas tersebut tanpa pernah mampu berpaling atau melepaskan diri darinya. Hal yang sama terjadi ketika akhirnya ketika konsepsi kebudayaan tersebut mulai kehilangan ‘kekuasaan mengikat’-nya. Di sini, Ben Anderson mengungkapkan munculnya ‘hermeneutika makna’ (bahasa) baru setelah ketiga konsepsi kebudayaan itu tak lagi mampu mengikat manusia-manusia itu sebagai ‘komunitas terbayang’. Memang ia tidak serta merta menyebut bahwa ‘bahasa baru’ itu adalah nasionalisme tetapi ia mengindikasikan bahwa lahirnya nasionalisme dapat ditelusuri dengan adanya kenyataan historis akan luntur/runtuhnya ketiga konsepsi kebudayaan karena evolusi masyarakat ke arah modernitas[1]. 
Mengatakan bahwa nasionalisme sebagai realitas budaya modern mungkin merupakan sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa nan ceroboh. Rentetan sejarah bahasa serta kaitannya dengan kekuasaan dalam mengikat suatu masyarakat menjadi komunitas-komunitas terbayang menunjukkan adanya transformasi yang cukup besar sejak ditemukannya mesin cetak tulisan. Kapitalisme percetakan dan bahasa ibu mulai menampakkan diri sebagai ‘lawan’ dari konsepsi-konsepsi kebudayaan tingkat elitis yang diwakili oleh Bahasa Latin dan Arab (komunitas religius), bahasa kaum dinastik, dan pemahaman tentang waktu. Perlawanan ini setidaknya juga merupakan sebuah ‘embrio’ bagi lahirnya komunitas-komunitas terbayang yang baru.
Mengatakan bahwa nasionalisme sebagai realitas budaya modern mungkin justru akan menimbulkan keruwetan pemahaman akan makna bangsa (nation) itu sendiri. Hal ini disebabkan karena begitu kompleks dan luasnya arti modernitas dalam periode sejarah kita. Akan tetapi, salah satu ciri dasar dari dunia modern yang mulai menjadi semacam ideologi adalah kesadaran dan keyakinan akan otonomi pribadi manusia. Martabat kesejajaran antar pribadi ini menjadi bahasa baru yang memungkinkan manusia memiliki pola relasi secara baru. Hal ini pulalah yang menjadi dasar dari para pendiri negara Indonesia dalam merumuskan visi misi negara dalam Pembukaan UUD 1945. Kesadaran akan otonomi manusia ini dimunculkan oleh kaum terpelajar (angkatan Soekarno-Hatta) yang beruntung dapat menikmati pendidikan modern. Kesadaran untuk mampu berdiri sendiri sebagai suatu ’bangsa’ yang otonom (bebas dari penjajahan) inilah yang mengobarkan semangat segenap ‘orang Indonesia’ untuk bersatu ‘secara terbayang’ sebagai ‘bangsa Indonesia’. Slogan ‘persatuan’ menjadi demikian akrab di benak masing-masing pribadi ketika kerinduan untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajah ini begitu menyesakkan. Meski disadari bahwa masyarakat yang lalu menamakan diri sebagai Indonesia ini terdiri dari berbagai macam latar belakang kultural, keagamaan, dan bahasa ibu.
Gereja Katolik di Indonesia lahir dalam konteks munculnya rasa ‘kebangsaan’ itu pula. Hingga saat ini, warga Gereja Katolik Indonesia masih saja memiliki wajah universalis. Rasa kebangsaan seringkali dipandang sebagai suatu hal yang kebetulan saja terjadi dan dimiliki karena ia terlahir dan hidup di tanah Indonesia. Dengan menjadi warga Gereja, seorang Katolik memiliki dua ikatan yang cenderung tampak kontradiktif. Pada sisi Gereja, orang Katolik memiliki ikatan dengan komunitas terbayang Gereja universal dibawah bahasa iman Kristiani, namun pada sisi kebangsaan, ia terikat dengan komunitas terbayang yang dipersatukan atas nama ‘nasionalisme’ Indonesia. Ia hidup dalam ketegangan kedua komunitas terbayang ini. Lalu apa artinya menjadi seorang Katolik yang nasionalis? Apakah menjadi warga Gereja Katolik berarti mengingkari rasa ‘nasionalisme’ itu ketika dimensi universalisme/internasionalisme itu menjadi warna dasar dari ‘komunitas terbayang’ yang disebut Gereja Katolik? Untuk itu, kiranya perlu memahami dengan hati-hati dan bijaksana apa makna nasionalisme dan Gereja Katolik. Tulisan ini setidaknya ingin mencoba membuka peluang terhadap pemahaman dan diskusi lebih lanjut mengenai kedua posisi tersebut. Sejauh mana kontradiktif dan sejauh mana saling mendukung? Harapannya, dengan memahami posisi yang jelas dalam ketegangan di antara dua ‘komunitas terbayang’ itu, seseorang dapat mengaktualisasikan perannya dengan optimal demi mencapai apa yang disebut sebagai seorang pribadi Kristiani yang nasionalis. Ini menjadi langkah untuk semakin membuka diri terhadap realitas dunia modern; sebuah dunia yang menawarkan begitu banyak peluang sekaligus tantangan.


[1] Keruntuhan ketiga kepastian yang saling bertautan ini secara perlahan dan tidak merata, pertama-tama di Eropa Barat dan belakangan di tempat-tempat lain, di bawah pengaruh perubahan ekonomi, ‘penemuan-penemuan’ (ilmiah maupun sosial), dan perkembangan wahana komunikasi yang kian cepat, menyebabkan kosmologi terceraikan dari sejarah. Maka tidak heran bila kemudian dilakukan pencarian terhadap, katakan saja, cara baru untuk mengaitkan persaudaraan, kekuasaan, dan waktu secara bermakna. (Benedict Anderson, Imagined Communities, Yogyakarta: Insist, 2001, hal. 54.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar