Kamis, 23 Desember 2010

Sepuluh Hari Mencari Cinta


Pengalaman live in di rumah sakit merupakan pengalaman yang sangat  baru bagiku. Aku belum pernah menjadi pendamping orang sakit  di rumah sakit secara intens. Dalam bayanganku selama ini, rumah sakit selalu mengerikan. Rumah sakit adalah rumah penderitaan dan pintu gerbang kematian. Terlalu banyak orang mengalami penderitaan dan akhirnya meninggal di rumah sakit. Untuk sekedar datang dan menjenguk si sakit di rumah sakit pun aku merasa tidak krasan. Aroma obat, rintihan pasien serta begitu banyak alat-alat kesehatan yang begitu aneh seakan menyesakkan napas dan nyaliku. Aku termasuk orang yang tidak tahan untuk berlama-lama dengan penderitaan, terlebih jika harus menyaksikan salah seorang saudaraku terbaring lemah tak berdaya karena harus mengalami sakit dan penderitaan yang mengerikan. Aku tidak ingin menyaksikan itu. Kesakitan yang dirasakan oleh sesamaku itu seolah menembus jiwaku lantas nyaliku menjadi sedemikian ciut untuk berhadapan dengan penderitaan. Aku ingin lari dan tak pernah menemui realitas itu. Sungguh, aku bernyali ciut ketika harus berhadapan dengan realitas penderitaan seperti yang dialami oleh para pasien di rumah sakit. Terkadang aku justru melihat rumah sakit sebagai rumah penyiksaan; dan ini membuatku muak untuk mengunjungi rumah sakit.
            Ketika aku berangkat ke RS Panti Nugroho Pakem pada hari pertama live in, aku berlagak tegar dan tenang, meski sebenarnya hatiku merasa sungguh takut. Terlebih ketika Suster Birgitta, CB Suster Koordinator Perawat Instalasi Gawat Darurat mengajakku dan empat temanku berkeliling mengunjungi bangsal perawatan. Ia menunjukkan kepada kami siapa-siapa pasien yang dirawat di bangsal dengan berbagai macam penyakit. Hatiku berdesir ketika suster menunjukkan dimana pasien-pasien yang telah dinyatakan terminal karena menderita stroke. Aku tak berani memandang berlama-lama pasien yang terbaring di bed  dengan berbagai macam selang itu. Aku agak merasa terbebas dari ketakutan ketika suster mengajak kami untuk melanjutkan kunjungan dan kemudian berkumpul sebentar untuk pembagian jadwal. Ketika pembagian jadwal telah selesai, aku benar-benar merasa begitu asing. Kebetulan hari itu aku bertugas di Bangsal Rawat Inap Bagian Barat. Pertama kali yang aku lakukan setelah sampai di Bangsal Barat adalah melihat bayi-bayi yang berada dalam Kamar Bayi. Seorang suster lalu mengajakku untuk memberi minum susu kepada salah seorang bayi di situ. Pengalaman ini bagiku sungguh menggetarkan. Bayi yang kuberi minum susu dari botol itu meminum dengan lahap. Sempat aku berpikir mengapa aku mau melakukan hal ini padahal bayi itu bukan anakku atau saudaraku. Dalam hati aku menggumam bahwa dalam diri bayi itulah aku dapat melihat secercah harapan timbul; sebuah harapan tentang kehidupan yang harus diperjuangkan seperti halnya si bayi yang menyedot botol susu dengan kuat demi hidupnya. Hari pertama live in  kuawali dengan secercah harapan bahwa ternyata di rumah sakit tidak hanya ada penderitaan, namun juga kebahagiaan akan datangnya warga baru dunia di dalam diri bayi-bayi yang baru lahir.
            Setelah selesai memberi minum susu, aku membantu suster dalam membagikan obat bagi para pasien. Aku masih agak canggung karena muncul kembali ketakutan berhadapan dengan penderitaan. Namun aku tetap berusaha melawan ketakutanku. Aku nekat untuk bergabung dengan para pasien dan keluarganya dalam menghadapi realitas sakit itu. Akhirnya hari itu juga aku dapat menunggui  Ibu Narto Wiyana, seorang pasien stroke yang  pada hari itu mulai sadar  setelah koma selama sembilan hari. Pergulatanku pada saat itu adalah perjuangan untuk tegar dalam menunggui ibu Narto dan keluarganya. Aku berusaha melawan rasa takut dan bingung. Satu-satunya sikap yang kupilih adalah mendengarkan dengan serius apa pun yang diceritakan oleh keluarganya berkaitan dengan Ibu Narto Wiyana. Meski tetap muncul rasa bosan, dan ingin segera keluar dari kamar itu, aku tetap mencoba untuk menemani Ibu Narto dan keluarganya dengan tulus. Membiarkan detik demi detik terlewati dalam pergulatan ini. Beberapa hari selanjutnya, aku mulai dapat belajar untuk tegar. Meski tetap saja tak banyak membantu, namun setidaknya aku mulai merasa cukup tegar untuk menjalin persahabatan hati dengan pasien-pasien itu serta keluarganya.
            Hari ke-3 dan ke-4 aku dipindahkan untuk mendampingi pasien di Bangsal Rawat Timur. Hal yang cukup mengesan untukku di Bangsal Rawat Timur adalah memandikan Bapak Sarmidi. Aku tidak mengetahui bapak ini menderita sakit apa. Aku hanya mencoba membersihkan badan bapak Sarmidi dengan sebaik mungkin. Namun aku merasa gagal ketika aku tidak berhasil membersihkan punggungnya. Aku tidak tega untuk memintanya memiringkan badan. Saat itu suhu badannya begitu panas dan dari mulutnya terdengar rintihan sangat lirih. Ketika aku memintanya untuk memiringkan badan, ia mengatakan bahwa tidak bisa. Aku menuruti kata-katanya dan akhirnya aku tidak berhasil membersihkan bagian punggung. Setelah keluar dari kamarnya, aku sungguh merasa bersalah mengapa aku tadi tidak cukup tega untuk membersihkan punggungnya? Bukankah dengan membiarkan bagian belakang tubuhnya tetap kotor itu justru akan membuat Bapak Sarmidi tidak merasa nyaman. Kesalahan akibat rasa tidak tega ini sempat membuatku menyesal mengapa aku tidak cukup bernyali untuk melakukannya? Mengapa aku tidak meminta tolong perawat yang lain? Bukankah tindakanku ini justru merepotkan perawat yang lain? Aku mencoba menghibur diri dengan menemani Pak Sarmidi dan keluarganya dalam menghadapi sakitnya.
            Di Bangsal Rawat Timur sempat kudengar beberapa perawat membicarakan tentang situasi seorang ibu yang baru saja mengalami operasi tumor usus. Nama ibu itu: Ibu Dasiyah. Ibu Dasiyah mengalami pendarahan di luka bekas operasi setiap kali ia terbatuk. Pada hari pertama aku bertugas di Rawat Inap Timur, aku memberanikan diri mengunjungi ibu  Dasiyah. Di dalam kamar itu, ia ditemani oleh seorang saudaranya dan seorang puterinya yang adalah seorang perawat di Jogjakarta International Hospital. Sejenak ada penolakan dari diriku untuk tidak berlama-lama di kamar itu karena apa yang dibicarakan oleh suster-suster perawat itu kini benar-benar kutemui. Meski ibu Dasiyah masih sadar, namun selang-selang telah terpasang begitu banyak di tubuhnya. Napasnya pendek-pendek dan mengeluarkan bau yang sempat membuat perutku mual. Terlebih ketika aku melihat darah yang ditampung melalui selang di bawah bednya, aku agak merinding ngeri. Aku mencoba mengajaknya berkomunikasi dan ibu itu hanya mampu menjawab dengan anggukan lehernya. Perasaanku mengatakan bahwa ibu Dasiyah sedang menahan rasa sakit yang amat sangat. Aku berusaha menguatkan kakiku untuk tetap bertahan di kamar itu, bahkan berusaha mendekat lagi ke Ibu Dasiyah. Meski aku berhasil menemaninya, namun aku tetap merasa takut untuk menyentuh tangannya. Aku hanya memegangi bednya sambil berdoa dalam diam. Bahasa hatiku dalam diam ingin mengatakan bahwa aku datang untuk menjadi sahabat dalam menjalani sakitnya, menjadi sahabat juga bagi keluarganya. Aku mendadak tegar untuk selalu menemaninya karena aku melihat dalam diri keluarga itu tumbuh suatu cinta kasih yang tak terkatakan. Ini terlihat dari  puteri ibu itu yang selalu menunggui serta mengkonsultasikan kondisi ibunya dengan dokter dan suster perawat. Ia berusaha memberikan yang terbaik bagi ibunya.
            Hari ke-2  di Bangsal Rawat Inap Timur, aku mendapati kondisi ibu Dasiyah mulai membaik. Ia dipindahkan ke kamar kelas I. Ia juga mulai dapat berkata-kata. Ketika aku menanyai keadaannya, ia menjawab dengan kata-kata yang jelas. Situasi ini membuat hatiku sungguh gembira meski ibu Dasiyah masih harus melakukan transfusi darah. Aku sempat menuliskan alamat serta nomor telepon Seminari Tinggi pada suaminya apabila sewaktu-waktu membutuhkan donor darah golongan B. Hanya itu yang bisa kulakukan.  Setelah itu, hatiku mulai agak tenang untuk mulai meninggalkan kamarnya serta mengunjungi pasien lainnya.  Tumbuh dalam diriku suatu harapan bahwa ibu Dasiyah akan segera sembuh. Namun aku merasa sangat sedih dan shock ketika hari berikutnya kudengar kabar dari temanku yang bertugas di Bangsal Rawat Inap Timur (kebetulan aku pindah ke bagian IGD) bahwa ibu Dasiyah meninggal dunia. Untuk meredakan gejolak kesedihan dan rasa pupusku, aku sejenak duduk diam di depan Poli Kebidanan sambil mengambil napas dalam. Setelah aku merasa cukup tegar, aku berdiri dan beranjak menuju tempat parkir untuk kemudian pulang.  Saat itu pula aku berpapasan dengan iringan jenazah ibu Dasiyah yang diantar oleh dua orang suster perawat ke mobil jenazah. Kulihat pula suami serta putri dan beberapa saudara Ibu Dasiyah menyertai iringan itu. Sesampai di tempat parkir, segera aku memutuskan berlari menghampiri iringan itu tepat sebelum putri ibu Dasiyah masuk ke mobil jenazah dan pintu belakang mobil ditutup. Aku mengucapkan turut berduka cita pada putri dan suami ibu Dasiyah. Perasaanku menjadi tidak karuan ketika menyaksikan raut muka kedua orang itu. Alangkah tegarnya mereka berdua. Aku yakin bahwa mereka mencintai ibu Dasiyah sedemikian rupa sehingga tetap berjuang bagi kesembuhan ibu Dasiyah. Meski akhirnya yang terjadi justru kematian, namun cinta itu telah membuat hati mereka tegar bahwa apa yang telah diusahakannya selama ini bukanlah suatu kesia-siaan. Cinta telah membuat mereka berani memperjuangkan hidup hingga melampaui batas-batas kemanusiaan mereka, meski akhirnya yang terjadi adalah kematian. Karena cinta, kematian bukanlah akhir dari segalanya.
            Kekuatan cinta ini pula yang aku temukan ketika aku mendapati kondisi Bpk Sarmidi semakin menurun. Ia dinyatakan menderita tumor otak. Istrinya yang begitu setia mendampingi sungguh membuatku bersemangat untuk turut berjuang bagi bapak Sarmidi. Semenjak pertama aku datang di bangsal itu hingga hari terakhir live in, ibu Sarmidi tekun dan setia mendampingi suaminya. Ia bercerita tentang doanya yang tak henti bagi kesembuhan suaminya. Ia terus berdoa dan berusaha tegar meski kutangkap ekspresi cemas dari wajahnya setelah mengetahui kondisi yang sebenarnya dari suaminya. Ketika hari terakhir aku menemani Pak Sarmidi, ibu memintaku untuk mendoakan bapak. Segera kupanjatkan doa bagi  Pak Sarmidi. Saat itu aku merasa sungguh dekat dengan keluarga itu. Meski tak banyak yang bisa kulakukan namun aku sungguh merasa  begitu dekat. Aku berdoa agar Tuhan tidak meninggalkan Pak Sarmidi sebagaimana istrinya dengan setia menemaninya dalam menghadapi sakit. Aku juga memohon pada Bunda Maria yang karena cintanya pada Sang Putra setia mendampingi hingga wafat-Nya. Hatiku semakin bernyala-nyala untuk mendoakan Pak Sarmidi dengan tulus ketika kutahu bahwa Bpk Sarmidi itu bukan seorang Katolik, meski istrinya adalah seorang Katolik.
            Apa yang membuatku berani dan tegar untuk terus melanjutkan persahabatan dengan para pasien ini adalah adanya panggilan untuk belajar mencintai mereka semua dengan tulus. Cinta ini telah tergambar dalam perjuangan para pasien dalam ketegarannya menghadapi penyakit serta kegigihan keluarganya dalam mengusahakan pengobatan bagi saudaranya yang sakit. Cinta itu yang membuat hidup ini menjadi begitu berharga hingga orang berani melampaui batas-batas kemanusiaannya. Dan di dalam cinta itulah terkandung misteri luar biasa  tentang keberanian menghadapi penderitaan dan kematian yang tak terelakkan. Dalam cinta itulah aku melihat adanya harapan luar biasa tentang indahnya hidup.
            Pengalaman bersahabat dengan orang sakit dan keluarganya di rumah sakit  benar-benar mengoyak jiwaku, membuka mata pengharapanku bahwa pengabdian para penyembuh itu sungguh luhur. Berhadapan dengan orang sakit justru membuat nyaliku menjadi amat kecil. Aku merasa menjadi begitu kecil dibandingkan dengan para perawat yang dengan sigap menolong para pasien menghadapi situasi sakitnya. Mereka bernyali lebih besar daripada diriku ini. Mereka mampu untuk keluar dari situasi nyaman mereka untuk sekedar meringankan beban penderitaan sesamanya. Tak ada perbuatan yang lebih heroik dibandingkan dengan tindakan apapun, pengabdian melayani orang sakit. Bahkan tindakan heroik seorang tentara pun masih kalah heroik dibandingkan dengan para pejuang kemanusiaan itu.
            Ternyata apa yang dilakukan oleh Santo Ignatius Loyola dalam mengawali peziarahan spiritualnya dengan membantu orang sakit merupakan sebuah pilihan yang tepat. Ternyata apa yang dilakukan oleh Bunda Teresa dengan karya kemanusiaannya sungguh luar biasa. Mereka berjuang mencari, menemukan, memeluk dan kemudian membagikan cinta. Sempat aku merasa bahwa selama ini, pengabdian terberatku selama menjadi frater adalah mengalami pengalaman ini. Meski pengalaman melayani orang sakit ini hanya kujalani selama sepuluh hari, namun pengalaman ini sungguh memberikan makna baru bagi panggilanku. Aku menemukan makna tentang indahnya sebuah perjuangan yang tulus dalam mewujudkan cinta. Di dalam perjuangan itu, aku berjumpa dengan sebentuk pengharapan yang konkret bahwa hidup dengan segala penderitaan dan yang berakhir dengan kematian itu bukanlah sebuah kesia-siaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar