Kamis, 23 Desember 2010

GEREJA MENGEMBANGKAN KEBEBASAN DAN TANGGUNGJAWAB POLITIK WARGANEGARA SEBAGAI SALAH SATU WUJUD PEWARTAAN KEBENARAN INJIL DEMI KESEJAHTERAAN UMUM


1.        Gereja mengembangkan kebebasan dan tanggungjawab politik warganegara

            Gereja sebagai komunitas orang-orang yang beriman kepada Kristus hidup di tengah-tengah dunia dengan segala dinamika kebudayaan dan proses perjalanan sejarahnya.  Gereja bukanlah sebuah komunitas yang terpisah dari hidup bermasyarakat dimana Gereja itu hidup dan tinggal. Oleh sebab itu, ia harus mengikuti segala macam aturan dan tata hidup bersama dalam sebuah masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama. Dalam konteks dunia modern, tata hidup bersama suatu masyarakat secara luas diatur dan dilembagakan dalam suatu tatanan politik yang disebut negara. Dengan demikian, anggota Gereja sebagai tubuh Kristus juga termasuk sebagai warganegara dari suatu negara tertentu. Meski demikian, hubungan antara Gereja dan negara akan selalu bersifat sejajar dan terpisah, dengan kata lain, tata hidup yang ada dalam Gereja tidak dapat dijadikan tata hidup dalam bermasyarakat suatu negara tertentu. Sebagaimana ditegaskan dalam GS artikel 76 bahwa berdasarkan wewenang dan tugasnya, Gereja samasekali tidak dapat dicampuradukkan dengan negara, dan tidak terikat dalam sistem politik manapun juga. Gereja menjadi tanda dan perlindungan transendensi pribadi manusia. Apa yang menyatukan anggota Gereja adalah iman mereka akan Kristus Sang Penyelamat yang mewartakan Kerajaan Allah, sedangkan prinsip pemersatu suatu masyarakat yang disebut negara adalah rasa kebangsaan dan nasionalisme manusiawi. Kedua hal berikut (iman dan rasa kebangsaan/nasionalisme) tidak dapat dicampuradukkan meski tetap ada kaitannya. Iman akan Kristus mendorong Gereja untuk terlibat dalam mewujudkan Kerajaan Allah yang nyata dalam dunia, yang didalamnya negara hadir sebagai realitas budaya manusiawi dan konteks dimana Gereja mewartakan Injil. Mengapa ia harus mengembangkan kebebasan dan tanggungjawab politik warganegara?
            Panggilan Gereja untuk mengembangkan kebebasan dan tanggungjawab politik anggotanya sebagai warganegara dari negara tertentu sudah seumur Gereja itu sendiri. Dalam umat Perjanjian Baru, meski belum secara khusus disebut sebagai Gereja, panggilan untuk mengembangkan kebebasan dan tanggungjawab politik warganegara telah menjadi bagian dari perutusannya. Umat Gereja Perdana hidup dalam situasi sosial politik Pemerintahan Romawi yang menjajah Palestina. Hukum pemerintahan diatur oleh kekuasaan Roma. Selama itu, terjadi berbagai macam penindasan yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan pemberontakan dari orang Yahudi terhadap pemerintahan Roma. Bahkan wafat Yesus di salib dimaknai sebagai korban dari kekuasaan politik dengan menempatkan Yesus sebagai salah seorang nabi visioner yang hendak melepaskan Israel dari penjajahan Roma[1]. Konsep Mesias dalam keyakinan orang-orang Yahudi saat itu pun lebih berkaitan dengan  hadirnya Sang Penyelamat yang akan membebaskan mereka dari penjajahan politik. Yesus sungguh-sungguh Mesias karena Ia datang hendak membebaskan manusia dari dosa (tidak sekedar dari penjajahan politis). Paham kekuasaan yang diwartakan-Nya sangat berbeda dengan paham kekuasaan yang dimengerti oleh pemerintahan Romawi maupun orang-orang Yahudi waktu itu. Secara khusus, kekuasaan yang diwartakan oleh Yesus adalah kekuasaan Allah dimana Kerajaan Allah hadir dalam kasih, pelayanan dan pengorbanan diri bagi sahabat-sahabat-Nya. Bagi Yesus, keselamatan yang diwartakan-Nya dengan hadirnya Kerajaan Allah melampaui segala macam aturan politik dari pemerintahan manapun yang bertujuan demi kesejahteraan bersama. Pada prakteknya, kekuasaan politik dalam suatu pemerintahan duniawi justru dimengerti sebagai kekuasaan mutlak untuk mengatur, memerintah, menguasai dan menindas[2]. Sedangkan dalam pewartaan Yesus Kristus, kekuasaan yang akhirnya menjadi dasar dari pemerintahan politik dimengerti sebagai pelayanan (Mrk 10: 42-44; Mat 20:25-27; Luk 22:25-26)[3]. Hal ini menjadi dasar dari Gereja untuk mengembangkan kebebasan dan tanggungjawab politik warganegaranya hanya demi pelayanan bagi kesejahteraan semakin banyak orang. Bahkan Yesus sendiri, dalam Kitab Suci, mengungkapkan bahwa keterlibatan untuk turut bertanggungjawab dalam hidup politik menjadi salah satu syarat untuk menerima kehadiran Kerajaan Allah (bdk. Mark 12:13-17)[4].
            Dalam Gereja era Paulus, keterlibatan dalam politik  menjadi tanggungjawab dari setiap anggota Gereja karena kewenangan para pejabat yang mengatur  kesejahteraan warganya itu berasal dari Allah[5]. Dengan demikian, tanggungjawab untuk terlibat dalam hidup politik ini tidak diberikan kepada seseorang tertentu tetapi kepada kekuasaan yang mengatur bagi kesejahteraan warga seluruhnya. Meski demikian, Paulus juga menekankan segi pentingnya jemaat dalam hal mengatur kepentingan iman bagi keselamatan anggota Gereja. Dalam hal ini, tekanan untuk membedakan jemaat dengan pemerintahan duniawi pada umumnya amat tampak. Hanya saja, setelah Kekristenan mulai diakui sebagai agama negara (Edik Milano [313] dan Kaisar Konstantinus Agung)[6]. ‘Perkawinan’ antara negara dan Gereja mulai menuai skandal-skandal kekuasaan yang melunturkan nilai-nilai Injili tentang kekuasaan sebagai pelayanan. Skandal ini memuncak dengan peristiwa Perang Salib[7]. Keterlibatan warga Gereja terhadap politik suatu negara tertentu dimaknai dengan kekerasan dan ekspansi militer. Para pejabat Gereja mendapatkan kekuasaan dalam arti duniawi sebagaimana para pejabat politik yang memiliki kekuasaan untuk mengatur, memerintah, dan bahkan menindas rakyat. Hal ini berlangsung hingga abad pertengahan yang memicu lahirnya Reformasi Gereja oleh kaum Reformasi Protestan di kalangan Gereja Eropa Barat.
            Semenjak itu, Gereja mulai dipisahkan dari negara dalam mengatur kepentingan warganya, meski anggota Gereja tetap dapat terlibat dalam hidup politik dari masyarakatnya. Secara lebih khusus hal ini terjadi ketika gelombang modernitas mulai mengalir di era Pencerahan dengan adanya revolusi politik besar-besaran dari era monarki ke pemerintahan demokratis. Revolusi Perancis dan bangkitnya negara-negara baru yang menggunakan semangat nasionalisme demokratis menjadi awal dari munculnya tata pemerintahan politis dunia era modern. Pada era modern yang diawali dengan semangat Pencerahan ini, humanisme dan kebebasan Hak Asasi Manusia mulai mendapatkan perhatian khusus, termasuk dalam hal politik. Setiap warganegara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam politik negaranya. Pada masa ini pula, Gereja mulai menghadapi berbagai permasalahan sosial yang amat kompleks dalam hidup umatnya seperti: lahirnya ideologi-ideologi sosial politik, permasalahan perburuhan dan kemiskinan, pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan ekspansi kolonialisme imperialisme yang mulai marak di kalangan negara-negara Eropa. Untuk itu, Gereja yang mengemban misi mewartakan Injil Yesus Kristus terus menegaskan dirinya sebagai sakramen keselamatan yang hidup di tengah dunia real dengan segala permasalahannya. Untuk itu, Gereja tidak hanya menutup mata dan berpangku tangan terhadap hal-hal tersebut, meski tetap memisahkan diri dari praktek politik praktis yang berkaitan langsung dengan kekuasaan duniawi.
            Oleh karena itu, sejak tahun 1891, otoritas Gereja selalu berusaha menyerukan sikap-sikap Gereja terhadap kehidupan sosial masyarakat dengan Ajaran Sosial-nya. Dalam Ajaran Sosial itu, Gereja menyerukan kepada negara-negara  untuk selalu mengedepankan nilai-nilai Injili dalam pelayanannya secara politis kepada masyarakat umum. Seruan-seruan itu antara lain: Rerum Novarum (1891) artikel.33; Quadragesimo Anno (1931) artikel.25-28; Mater et Magistra (1961) artikel.126-143; Pacem in Teris artikel 53-61. Hal ini menunjukkan bahwa Gereja selalu menyerukan sikapnya terhadap pengembangan keterlibatan para warganya dalam hal tanggung jawab serta kebebasannya dalam politik. Hal ini demi misi pewartaan Gereja akan Kerajaan Allah bagi dunia.

2.    Mengembangkan kebebasan dan tanggungjawab politik warganegara sebagai salah satu wujud pewartaan kebenaran Injil demi kesejahteraan umum

            Mengembangkan kebebasan dan tanggungjawab politik dari warganegara ini adalah salah satu wujud pewartaan kebenaran Injil demi keselamatan jiwa-jiwa. Dalam GS artikel 40 diungkapkan tentang hubungan timbal balik antara Gereja dan dunia. Dalam artikel tersebut diungkapkan bagaimana Gereja menyalurkan kehidupan ilahi kepada manusia dan dengan cara tertentu menyalurkan pantulan cahaya-Nya ke seluruh dunia, terutama dengan menyembuhkan dan mengangkat martabat pribadi manusia, dengan meneguhkan  keseluruhan masyarakat manusia, dan dengan memberi makna serta arti yang lebih mendalam  kepada kegiatan manusia. Secara khusus, hal ini ditampakkan dengan mewartakan kebenaran nilai-nilai injili yang menjadi jiwa Gereja di tengah dunia.  Oleh karena itu, berdasarkan Injil yang dipercayakan kepadanya, Gereja mewartakan hak-hak manusia, dan mengakui serta menjunjung tinggi dinamisme zaman sekarang, yang dimana-mana mendukung hak-hak itu. (GS 26,41,73; Pacem in Terris 11-38; SRS 26,33; CA 21-22; 24,29,47). Hak-hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh Gereja sebagai komitmennya terhadap pewartaan Injil ini termasuk juga hak para warganegara untuk terlibat secara bebas dan bertanggungjawab dalam kehidupan politik. Hal ini tampak dalam keikutsertaan serta keterlibatan warganegara dalam kehidupan berpolitik, baik sebagai warganegara yang memberikan suaranya dalam pemilu ataupun terlibat dalam politik pemerintahan. Untuk itu, Gereja sebagai komunitas umat beriman kepada Kristus mengembangkan warganya untuk juga terlibat secara aktif dalam memikirkan, melayani dan memperjuangkan kesejahteraan bagi masyarakatnya dengan berbagai macam ajaran serta dinamika hidup berimannya (nilai-nilai Injili yang mengutamakan kasih, keadilan dan perdamaian menjadi prinsipnya). Dengan kata lain, Gereja tidak membuat warganya bersikap apatis terhadap politik maupun perjuangan bagi kesejahteraan bersama, ataupun memisahkan diri secara ekslusif dari kehidupan politik. Keterlibatan yang merdeka dan bertanggungjawab dari warga Gereja dalam hal politik masyarakatnya ini justru menjadi panggilan khas mereka dalam mewartakan Injil bagi kehidupan masyarakat demi suatu kesejahteraan bersama (bonum commune).
            Tujuan akhir dari pewartaan Injil yang secara khusus (dalam konteks kehidupan politik  dengan mengembangkan kebebasan dan tanggungjawab politik warganegara) ini adalah demi keselamatan jiwa-jiwa (hadirnya Kerajaan Allah di dalam dunia) yang terjadi sekarang (hic et nunc) dan yang akan datang (eskatologis). Dengan demikian, keterlibatan politik yang bernilai Injili hendaknya menjunjung tinggi martabat manusia dan berciri transformatif-pembebasan (meski tidak secara praksis sosial revolusioner seperti Marxis)[8].

3.      Konteks Indonesia?

            Langkah Gereja Katolik di Indonesia dari awal hingga saat ini sebenarnya sejalan dengan gerak tumbuh dan berkembangnya nasionalisme Indonesia. Nilai-nilai Kristianitas telah menggugah segenap umat untuk juga turut memperjuangkan nasionalisme dan politik Indonesia. Perjuangan para pahlawan Katolik Nasional seperti Yos Sudarso, Adi Sucipto,  dan Mgr Soegijopranata, SJ dalam mendukung kemerdekaan Indonesia dari imperialisme Belanda menjadi contoh konkret bagaimana Gereja terlibat dalam mengembangkan kebebasan serta tanggungjawab politik warganya. Meski bentuk keterlibatan itu tidak harus ditunjukkan dengan menjadi pahlawan kemerdekaan atau terlibat dalam politik praktis, namun tanggungjawab politik ini menjadi panggilan khas yang tak boleh dikesampingkan begitu saja dalam rangka mewartakan Kerajaan Allah yang nyata dalam dunia.
            Keterlibatan umat Katolik awal di Indonesia ini bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi wujud dari sikap iman Kristiani mereka. Dengan demikian, benarlah yang dikatakan oleh Mgr. A. Soegijopranata, SJ tentang umat Katolik Indonesia harus 100% Katolik dan 100% Indonesia. Artinya, menjadi warga masyarakat Indonesia yang penuh dedikasi dalam memperjuangkan kemerdekaan dan penghargaan terhadap martabat kemanusiaan merupakan wujud iman Katolik yang hidup. Dengan demikian, antara semangat Injili dan keterlibatan yang merdeka dalam tanggungjawab terhadap hidup politik Indonesia  bisa berjalan seiring.
            Pertanyaannya sekarang adalah: apakah para warga Gereja Katolik Indonesia telah terlibat sungguh secara merdeka dalam tanggungjawab politik ini? Ataukah para warga Gereja justru cenderung apatis terhadap kehidupan politik negeri ini?  Dalam bidang-bidang apa saja Gereja dapat terlibat dengan merdeka dan bertanggungjawab dalam kehidupan politik negeri ini demi kebaikan bersama?


Daftar Pustaka
1.      Dokumen Konsili Vatikan II
2.      Eddy Kristiyanto, OFM, Gagasan yang menjadi Peristiwa, Yogyakarta: Kanisius,  2001.
3.      Mateus Mali, Hand out  Teologi Politik, FTW, Yogyakarta,  2008.
4.      Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991.
5.      J.B. Libanio, Spiritual Discernment and Politics, New York: Orbis Books, 1982.



[1] Lih, hand out  Rm. Mateus Mali, Teologi Politik, FTW, Yogyakarta,  2008, hal.39
[2] Lih, hand out  Rm. Mateus Mali, Teologi Politik, FTW, Yogyakarta,  2008,  hal.34
[3] Ibid, hal.34
[4] Ibid, hal.41
[5] Menurut St. Paulus, kekuasaan yang dimiliki oleh para pejabat itu berasal dari Allah karena tiada kekuasaan   yang bukan dari Allah (Rom13:1-6).
[6] Lih. Eddy Kristiyanto, OFM, Gagasan yang menjadi Peristiwa, Kanisius, Yogyakarta, 2001,  hal.59-67.
[7] Ibid, hal.173-193.
[8]  Dalam tulisannya yang berjudul Spiritual Discernment and Politics, J.B. Libanio mengungkapkan pentingnya suatu proses discernment (penegasan roh) dalam hidup bermasyarakat (politis) demi mewujudkan Kerajaan Allah. Dikatakan olehnya bahwa setiap tindakan (iman) memiliki makna politis. Makna politis dari setiap tindakan ini akan menjadi keruh (mengalami disorientasi makna) apabila melegitimasikan ketidakadilan dan penindasan. Untuk itu, iman perlu menjadi kritis terhadap segala bentuk legitimasi tersebut. Dalam konteks inilah proses discernment dalam kehidupan politik menjadi penting karena iman dipertanggungjawabkan secara kritis oleh nalar demi menguak disorientasi makna tindakan politis. Arah dari refleksi ini adalah historisasi Kerajaan Allah; Kerajaan Allah yang sungguh real hadir dalam sejarah. Lih. J.B. Libanio, Spiritual Discernment and Politics, New York: Orbis Books, 1982, hal.7-18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar