Kamis, 23 Desember 2010

Natal: On The Way Home


Terdengar sayup sayup lagu natal berkumandang. Memecah keheningan sore yang sepi. Hanya ada satu dua frater yang masih tinggal di komunitasku Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan Yogyakarta. Begitulah suasana yang selalu terjadi setiap kali natal tiba. Perayaan Natal selalu bertepatan dengan libur akhir semester yang lumayan cukup panjang. Sebagian besar dari para frater dan romo menggunakan waktu libur semester dan natal untuk membantu asistensi natal di paroki-paroki atau juga menghabiskan waktu libur bersama keluarga di rumahnya. Para frater maupun romo yang masih tinggal di Seminari biasanya bertugas untuk menjaga rumah kami agar tidak kosong. Dan pada saat-saat seperti itu, suasana seminari berubah sepi. Sungguh amat terasa kesepian itu ketika saat makan. Kursi-kursi di refter banyak yang kosong.
                Beberapa kali perayaan natal aku rayakan di seminari tinggi, di tengah suasana sepi. Perayaan Natal di Kapel Seminari Tinggi pun tampak begitu sederhana. Hanya ada beberapa frater, staf dan juga umat dari sekitar seminari. Ketika Misa Natal usai, kami melanjutkan dengan makan bersama. Seluruh umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi Natal pun diundang untuk makan malam yang telah disediakan oleh suster. Suasana sederhana namun akrab amat terasa dalam perayaan Ekaristi maupun makan bersama itu. Dan setelah semuanya usai, seminari Tinggi kembali sepi. Bahkan amat sepi.
                Kesederhanaan dan keheningan saat Natal di Seminari Tinggi ini sungguh amat mengesan bagiku. Merayakan Natal nan sederhana dan hening ini selalu menjadi saat dimana aku diajak kembali untuk mensyukuri hidup dan panggilanku. Keakraban yang hangat dan tulus  di antara para frater, romo, suster serta  umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi pun menjadi warna indah yang semakin membuatku merasa ‘ditemani’ dalam peziarahan hidup ini. Dan ketika para frater maupun romo yang bertugas asistensi telah kembali ke seminari, kami saling mengungkapkan kegembiraan dan syukur kami dengan saling berbagi kenang-kenangan. Tentu bukan masalah penerusan tradisi pesta natalnya yang ingin kami lestarikan, namun persaudaraan, persahabatan, syukur atas hidup, iman, kasih, dan panggilan untuk saling berbagi satu sama lainlah yang ingin kami rayakan. Dalam kenyataan itu, aku sendiri merasa bahwa Yesus sungguh lahir kembali di komunitas kami, terlebih lagi, Ia telah lahir di hati kami.
                Di saat-saat seperti itu, aku sering membayangkan betapa meluapnya perasaan gembira dan syukur dari Bunda Maria dan Bapa Yosef ketika bayi mungil Yesus terlahir ke dunia. Tangisan-Nya yang memecah keheningan malam nan cerah berbintang  telah menjadi fajar baru bagi kebahagiaan seluruh alam semesta. Di dalam tangisan itu berkumandang madah pengharapan, kasih, ketulusan, semangat berbagi dan penyertaan-Nya dalam setiap langkah perjuangan manusia. Ia hadir seperti bintang yang senantiasa menjaga dan menyertai para Raja dari Timur yang bergegas hendak menyembah Sang Kebenaran. Kelahiran-Nya tidak disertai dengan gegap gempita dan sorak sorai nan meriah, namun dengan keheningan dan kesederhanaan yang amat menyejukkan hati. Dan kelahiran itu telah menyatukan sekian banyak jiwa untuk selalu berjalan bersama menuju Sang Terang, yang tampak dalam kasih serta persaudaraan di antara sekian banyak manusia, termasuk di antara saudara-saudari kami sekomunitas.
                Natal selalu menjadi moment yang indah bagi kami semua untuk kembali bertumbuh dalam kasih, persaudaraan, cinta dan ketekunan dalam menjalani panggilan. Sebab Natal selalu bertepatan dengan hari-hari libur akhir semester, selain juga merupakan libur akhir tahun. Setelah Natal, agenda yang dilakukan oleh para frater adalah retret tahunan. Pengalaman Natal menjadi bagian dari usaha untuk terus menerus bertumbuh dalam kasih dan kebenaran. Dan pada kesempatan retret itu, kami diajak untuk kembali menegaskan langkah pilihan panggilan kami. Retret itu menjadi semacam simpul hidup atas perjalanan panggilan pada tahun-tahun sebelumnya, dan sebagai kompas untuk perjalanan di tahun berikutnya. Dan perayaan Natal mengawali seluruh proses tersebut.
                Di komunitas seminari tinggi, amat jarang kami merayakan Natal secara bersama-sama seluruh anggota komunitas. Perayaan Natal yang kami adakan secara bersama-sama biasanya terjadi setelah tanggal 25 Desember. Saat tanggal 25 Desember itu, sebagian besar dari para frater dan romo menjalani perutusan asistensi Misa Natal di paroki-paroki atau stasi-stasi. Dan pada saat itulah kami pun belajar apa artinya diutus. Sebagaimana Yesus Kristus yang terlahir ke dunia pun diutus oleh Bapa, kami belajar juga apa artinya diutus untuk membantu pelayanan para pastor paroki dalam perayaan iman umat bersama dalam Perayaan Natal. Bahkan bagi para frater yang masih harus tinggal di seminari saat Natal pun, itu termasuk bagian dari perutusan. Para frater yang masih tinggal di seminari ini biasanya membantu dalam perayaan Natal di komunitas, selain juga mengerjakan tugas-tugas perkuliahan yang masih terus berlangsung, seperti penyelesaian tugas pembuatan skripsi. Dinamika tersebut selalu menjadi warna yang indah saat Natal tiba. Natal seolah menjadi saat dimana kami me-recharge semangat dan spiritualitas kami sebagai orang-orang yang terpanggil. Sejenak mengalami keindahan panggilan perutusanNya dalam kasih dan persaudaraan yang selalu terjalin dan bertumbuh semakin indah dari hari ke hari.

                Saat Natal itulah saat yang membawa kami untuk selalu On The Way Home. Dimana kami semua sebagai satu komunitas selalu diajak untuk mengarahkan diri ke dalam alur kasih-Nya yang telah telah terjadi melalui kelahiran-Nya. Kami diajak untuk kembali selalu berada di jalur “ Ke Rumah”; untuk selalu mau berbahagia dan bergembira sebagai orang-orang terpanggil, sebagaimana kegembiraan Bunda Maria serta Bapa Yosef yang menyambut kelahiran-Nya. Meski hari-hari Natal kami lalui dalam keheningan dan kesederhanaan, namun damai Natal akan selalu menjadi saat yang indah bagi pertumbuhan semangat dan spiritualitas kami. Kedamaian Natal akan selalu menjadi kerinduan kami yang berkumandang memanggil kami  untuk selalu kembali ‘pulang’. Dan ketika tahun baru tiba, kami pun siap kembali untuk bertekun sebagai jiwa-jiwa baru yang membawa Yesus kecil di dalam hatinya, yang siap tuk dilahirkan pula ke dalam tugas perutusan nyata kami di dalam komunitas dan masyarakat dan lingkungan sekitar kami.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar