Kamis, 23 Desember 2010

Belajar dari Peziarahan Batin Bunda Teresa


Di suatu siang, saya mampir sebentar di perpustakaan Seminari Tinggi, sebuah hal yang akhir-akhir ini jarang saya lakukan. Sesampai di ruang  baca, saya terpaku pada Majalah Time Edisi September 2007 yang menulis tentang pergulatan dan penderitaan batin Bunda Teresa dalam perjuangannya untuk mengalami Allah. Saya buka Majalah  tepat di bagian artikel yang memuat tentang hal itu. Karena saya ingin membacanya dengan lebih serius, maka saya lantas memfotocopy artikel tersebut. Saya merasa tertarik karena realitas penderitaan yang mendera jiwa karena ketidakmampuan mengalami perjumpaan dengan Allah pun dialami oleh Bunda Teresa, seorang rasul kemanusiaan  dunia modern yang sebentar lagi akan dinobatkan sebagai seorang kudus (santa).


            Dalam artikel tersebut dipaparkan tentang ditemukannya surat-surat pribadinya yang menggambarkan bahwa hampir selama 50 tahun Bunda Teresa menghabiskan  hidupnya tanpa merasakan kehadiran Allah dalam setiap gerak langkahnya. Penemuan surat-surat ini memicu perbincangan tentang peziarahan spiritual Bunda Teresa berkaitan dengan kiprahnya dalam melayani orang miskin atas dasar panggilan Kristus sendiri. Surat-surat itu menampakkan adanya sisi disonan dari pergulatan Bunda Teresa dalam mengalami Allah. Di hadapan publik, Bunda Teresa selalu mengungkapkan tentang kasih Kristus yang senantiasa tercurah bagi dunia namun dalam surat-surat pribadinya yang ditujukan kepada Bapa Pengakuan dan Superiornya, ia selalu mengungkapkan kekosongan jiwanya karena ketidakberdayaannya mengalami kasih Allah. Penderitaan ini begitu menyesakkannya hingga ia pernah menulis surat pada pembimbing rohaninya, Pater Michael van der Peet demikian: “Bapa, Yesus memiliki cinta yang dahsyat untukmu, namun untukku, kesunyian dan kekosongan ini terlalu besar, aku memandang namun tidak melihat, aku mendengar namun seakan telingaku tuli, dan aku berdoa namun tak muncul satu kata pun dari mulut dan hatiku, aku ingin engkau berdoa bagiku agar aku mampu membiarkan TanganNya merengkuhku dengan mesra”.

 Penderitaan sebagai Konsekuensi Mengikuti Kristus yang Tersalib
            Pergulatan batin tentang kekosongan jiwa ini terdengar mencengangkan. Terlebih lagi karena penderitaan ini dialami oleh Bunda Teresa hampir selama 50 tahun. Pengalaman Bunda Teresa ini bagi saya memberikan suatu permenungan menarik tentang realitas keterbatasan dan penderitaan manusia sesungguhnya karena muncul sebagai konsekuensi atas cinta. Pengalaman Yesus saat di kayu salib agaknya mengingatkan saya bahwa realitas ambang batas sebagaimana dialami oleh Bunda Teresa ini memang benar-benar real. Saat Yesus mengalami puncak penderitaan-Nya di kayu salib, Ia berteriak dengan keras: “Eloi, eloi lama sabakhtani, Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Daku?” Di puncak penderitaan-Nya, bahkan Yesus sendiri sempat merasa sendirian. Ia merasa  telah ditinggalkan oleh Allah Bapa-Nya. Perasaan gagal dan sia-sia muncul demikian menyesakkan. Meski demikian, Ia tetap meminum cawan yang telah disediakan oleh Bapa-Nya. Lalu dimanakah letak kedamaian dan kepenuhan janji Allah tentang kebahagiaan setelah memperjuangkan ketaatan pada Bapa? Apakah perjuangan salib Yesus adalah sebuah kesia-siaan karena akhirnya Ia justru mengalami kematian yang mengenaskan? Apakah perjuangan Bunda Teresa dalam mendengarkan seruan Yesus yang hadir dalam diri orang miskin pun berakhir sia-sia ketika Bunda Teresa justru mengalami penderitaan batin selama hidupnya?
            Perjuangan Bunda Teresa diawali dengan pilihannya untuk mencintai Yesus sebagaimana Yesus belum pernah mendapatkan cinta itu sebelumnya. Hal ini dijelaskan dalam tulisan Bunda Teresa pada tahun 1951 bahwa penderitaan adalah satu-satunya aspek dari hidup Yesus dimana Bunda Teresa tertarik untuk terlibat di dalamnya: “ Aku ingin meminum HANYA (ia menekankan) dari piala penderitaan-Nya”. Di dalam penderitaan itulah Bunda Teresa memilih untuk mengungkapkan cintanya kepada Kristus yang tersalib. Penderitaan itu menjadi wujud cinta.
            Dalam bukunya The Crucified God, Jurgen Moltmann, seorang Professor Teologi Sistematik di  Universitas  Tubingen Jerman, mengungkapkan bahwa pusat teologi dan iman Kristiani adalah Kristus yang tersalib. Iman, Gereja dan teologi Kristiani harus menunjukkan  apa yang sungguh mereka percayai dan berharap dengan sungguh pada seorang manusia dari Nazareth yang disalib pada masa pemerintahan Gubernur Romawi bernama Pontius Pilatus. Segala gerak iman, Gereja dan teologi bersumber dan bermuara pada diri Yesus yang tersalib ini. Dengan demikian, penderitaan menjadi konsekuensi dari pilihan untuk mencintai Kristus sebagaimana Ia menerima salib demi cinta-Nya pada manusia. Kiranya pilihan sikap seperti ini menjadi karakter dasar dari perjuangan orang-orang kudus (santo-santa) dalam  mencintai dan mengikuti Kristus. Santo Yohanes dari Salib menggambarkan adanya malam gelap jiwa ketika ia berziarah batin menuju Allah. Situasi malam gelap jiwa ini sungguh merupakan situasi yang mengajak manusia untuk benar-benar mengalami penderitaan yang menyesakkan serta  kegelapan jiwa. Hal yang sama juga dialami oleh St. Ignatius Loyola, St. Theresia Lisieux dan Padre Pio. Para santo santa ini merupakan contoh dari begitu banyak santo santa yang mengalami penderitaan seumur hidupnya demi memperjuangkan kebenaran cinta pada Kristus yang tersalib. Para martir menjadi barisan terdepan dalam mengikuti jejak Yesus yang memanggul salib, menderita, hingga akhirnya wafat di kayu salib hina. Apakah yang dialami oleh Bunda Teresa juga merupakan wujud keterlibatan dalam salib Kristus ini? Apakah penderitaan batin Bunda Teresa tidak merupakan sekedar gejolak psikologis dari seseorang yang berkepribadian seperti Bunda Teresa? Lantas dimanakah letak harapan dan kebahagiaan jika di sepanjang hidupnya, ia justru mengalami penderitaan batin yang begitu menyesakkan itu?
            Sungguh mengherankan ketika menyaksikan kegigihan serta kesetiaan Bunda Teresa dalam melayani orang miskin serta ketekunannya dalam doa meski jiwanya selalu menderita. Apakah yang membuatnya sedemikian teguh untuk selalu memperjuangkan tindakan kemanusiaan meski ia  justru mengalami kekosongan jiwa dan kehampaan batin karena tidak merasakan sentuhan Allah? Satu-satunya kekuatan yang memampukannya adalah kekuatan cinta. Kekuatan cinta yang membuatnya gigih untuk terus berjuang demi menjunjung tinggi martabat manusia yang lemah, miskin dan tersingkir di jalanan India ini tertuang dalam sebuah refleksinya tentang kesetiaan. Ia menulis: “ Tuhan memanggilku bukan untuk kesuksesan tetapi untuk kesetiaan”. Kesetiaan adalah buah dan wujud dari cinta. Kesetiaan karena cinta ini tidak merasa hidup ini sia-sia meski akhirnya selalu berhadapan dengan ketidaksuksesan/kegagalan/ketidaksempurnaan dan penderitaan. Hidup bukanlah suatu realitas absurd meski penderitaan di dunia ini tak kunjung berhenti.

Sebuah Ungkapan Jiwa yang Jujur
            Sebagaimana si pemungut cukai yang berdoa dengan hati remuk redam karena tidak berdaya dan berdosa di hadapan Allah (Luk 18:9-14), demikian juga Bunda Teresa mengungkapkan keterbatasannya dalam mengalami Allah dalam surat-surat kepada pembimbing Rohani dan Superiornya. Ungkapan itu terasa begitu jujur dan sederhana. Bunda Teresa tidak hanya menghayati kemiskinan dalam arti kemiskinan fisik, namun juga dalam kemiskinan jiwa. Ia memberikan diri secara total bagi pelayanan pada Kristus yang tersalib di dalam diri orang-orang miskin dan orang yang berada di ambang batas daya kemanusiaannya itu, bahkan ketika harus dibayar dengan pengalaman penderitaan batin karena Tuhan terasa begitu jauh dan telah membiarkannya berjalan sendirian. Menghadapi penderitaan batin semacam itu, Bunda Teresa masih selalu rendah hati untuk meminta doa dari pembimbing rohaninya agar dikuatkan dalam kesetiaan karena cinta. Pengalamannya itu seperti  pengalaman seorang ibu yang baru saja menikmati indahnya pernikahan tiba-tiba harus mendapati suaminya terserang stroke dan lumpuh seumur hidup. Pengalaman itu  membawanya ke dalam situasi dimana hampir tidak ada suatu masa depan.
            Menghadapi penderitaan batin seperti itu, ia tidak lantas menyerah atau lari darinya tetapi dengan jujur menerimanya sebagai peristiwa ambang batas daya kemampuannya. Ia tidak lari dari penderitaan ataupun menipu diri bahwa penderitaan itu memberi suatu pencerahan. Ia benar-benar bersentuhan dengan realitas bahwa masa depan adalah absurd dan gelap. Ia mencecap sampai titik terakhir  pahitnya piala penderitaan Kristus sebagaimana diungkapkannya di awal perjuangan panggilannya.

Sebuah Perspektif Baru Hidup Spiritual
            Pergulatan batin Bunda Teresa ini memberi suatu insight baru bagi saya. Peziarahan spiritual tidaklah terpisah dari kehidupan real sehari-hari. Dengan demikian, ia menyentuh setiap kesulitan, jerih payah dan penderitaan hidup sehari-hari. Akhir dari peziarahan itu kadang bukanlah suatu kesuksesan atau kesempurnaan atas kebenaran, namun inti dari peziarahan itu justru terletak dalam perjuangan menuju kesuksesan atau kesempurnaan yang tampak utopis.
            Kesempurnaan justru terletak pada sisi  kesetiaan dalam berjuang untuk menjadi sempurna. Meski dalam perjuangan, setiap peziarah akan bertemu dan mencecap pahitnya penderitaan serta kesia-siaan, namun kesetiaan untuk selalu bangkit dan berjuang merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa. Kekuatan itu mengalir dari rahmat Allah yang telah ditanamkan dalam pilihan kebebasan manusia untuk menanggapinya. Itulah letak inti panggilan hidup. Panggilan hidup akhirnya merupakan tanggapan terhadap ajakan Allah untuk terlibat dalam karya Kasih-Nya dalam berbagai macam realitas yang dihadapi di dunia ini, termasuk realitas kegagalan dan penderitaan. Kesediaan untuk selalu taat dan setia dalam  menanggapi panggilan ini  merupakan langkah awal atau pintu gerbang  bagi pencapaian kesejatian makna hidup.

2 komentar:

  1. Aku jadi terharu. Terima kasih telah berbagi.

    BalasHapus
  2. sama-sama mas bayu, tulisan ini sebenarnya pernah dimuat di majalah Utusan, sekitar tahun 2008 yang lalu..

    BalasHapus