Kamis, 16 Desember 2010

Proposal Tesis Licensiat Teologi 2010-2011


Seminari Menengah  Mertoyudan sebagai Pioner Formatio Imam Pribumi (local clergy) Menuju Gereja Indonesia dalam terang Surat Apostolik Maximum Illud

1.                  Latar Belakang
Pendidikan calon imam pribumi di tanah Jawa (Indonesia) ini diawali oleh keinginan dari dua orang murid lulusan Kweekschool Muntilan pada tahun 1911, yakni R.M. Petrus Semeru Darmaseputra dan F.X. Satiman. Pada tahun 1911, murid kelas VI Kweekschool Muntilan ada 4 orang yakni: R. Junus Doelrachim Djajaatmadja, R. Alph Sujadiman  Partasubrata, R. M. Petrus Semeru Darmaseputra dan F.X. Satiman. Selepas lulus dari Kweekschool tersebut, R. M. P. Semeru dan F.X. Satiman ditetapkan menjadi guru Kweekschool Muntilan untuk mengajar bahasa Melayu dan bahasa Jawa.
Keinginan dari dua lulusan Kweekschool ini ditanggapi secara positif oleh para misionaris Belanda saat itu: Pastor van Lith SJ dan Pastor Mertens, SJ. Selanjutnya, mereka hanya mengajar 14 jam seminggu, sementara waktu-waktu lainnya digunakan untuk belajar bahasa Latin dan Yunani sebagai persiapan menjalani pendidikan imam. Sejak saat itulah sebenarnya telah dimulai seminari kecil di Jawa (feitelijk-sebenarnya- di Indonesia).[1] Keduanya tinggal di luar college, meski tempatnya masih satu kompleks dengan college. Keinginan untuk menjadi imam di antara anak-anak Jawa murid Kweekschool Muntilan ini bermula dari kelakar Pastor van Lith ketika menanggapi permintaan murid-muridnya agar Pastor Mertens diberi kesempatan kotbah lebih banyak karena lebih menarik dibandingkan dengan Pastor van Lith. Saat itu, Pastor van Lith berkata: “Ya kami orang Belanda, tidak dapat begitu berkotbah cara Jawa, harap saja kelak telah ada pastor Jawa”.[2] Kata-kata Pastor van Lith ini telah menjadi penyemangat bagi beberapa anak Jawa lulusan Kweekschool Muntilan untuk dididik menjadi imam. Kata-kata Pastor van Lith ini membuka mata dan memberi kegembiraan bagi beberapa murid Kweekschool bahwa ternyata anak Jawa pun bisa menjadi imam (pastor/romo).[3]
Gagasan untuk mendidik calon-calon imam pribumi ini merupakan tahap baru bagi perkembangan selanjutnya karya Misi Gereja Katolik di Indonesia. Dengan hadirnya imam-imam pribumi, pintu perkembangan menuju Gereja Katolik Indonesia yang mandiri kian terbuka. Hal ini menjadi semacam aggiornamento (pembaruan) bagi penaburan benih nilai-nilai Injil, dan iman Katolik di tanah Jawa serta Indonesia. Dengan munculnya imam-imam pribumi, nilai-nilai Injil dan iman Katolik dirasakan telah mulai mengakar di masyarakat dan kebudayaan Indonesia.  Langkah ini menjadi pijakan bagi iman Katolik yang universal untuk mengalami ‘indigenisasi’ atau ‘pemribumian’ ke dalam konteks khas Indonesia. Proses ‘indigenisasi’ ini menjadi sebuah gerakan lebih lanjut tentang adanya pergeseran perspektif bahwa pewartaan Injil berdasarkan teologi-teologi yang diwarisi dari gereja-gereja tua di komunitas Atlantik Utara tidak lagi dapat diterapkan dalam konteks Gereja-gereja muda seperti Asia dan Afrika[4]. Proses ‘indigenisasi’ dan juga inkulturasi iman ini menjadi puncak dari perjuangan karya Misi bahwa pewartaan Injil sungguh mengakar, memperkaya serta mentransformasikan suatu kebudayaan tertentu tanpa harus berkiblat ke salah satu kebudayaan global tertentu, namun khas pribumi.
Teologi-teologi itu lahir dalam rangka menterjemahkan dan menyampaikan pesan Injil ke dalam situasi khas masyarakat lokal dengan keadaan dan kekhasan tertentu. Di Indonesia (Hindia Belanda), hal ini telah dipikirkan dan digulati oleh salah satu tokoh perintis pemribumian iman Katolik di Jawa, bahkan sudah sejak awal abad ke-20.  Salah satu tokoh perintis ulung pemribumian iman Katolik di tanah Nusantara Indonesia ini adalah Pastor F.van Lith, SJ (1863-1926).[5] Pastor van Lith adalah seorang misionaris Jesuit berkebangsaan Belanda yang sungguh mengenal orang dan kebudayaan Jawa. Meski ia adalah seorang yang sungguh mengenal orang dan kebudayaan Jawa, ia tetap merasa bahwa pewartaan pesan iman Katolik akan lebih sampai jika dilayani oleh para imam ataupun tenaga pastoral pribumi. Selain itu, pandangannya mengenai kemerdekaan bangsa pribumi Indonesia sebagai bagian dari pewartaan Injil telah menuntunnya dalam memperjuangkan nasionalisme Indonesia. Gagasan pastor van Lith ini menjadi salah satu gagasan revolusioner dalam karya Misi bahwa tujuan pertama-tama karya misi Gereja dalam mewartakan Kerajaan Allah bukanlah mempertobatkan orang-orang pribumi ke dalam Gereja Katolik, melainkan di dalam Gereja Kristus yang menghapuskan segala bentuk penjajahan (kolonialisme imperialisme). Mengenai hal ini, pastor van Lith pernah menyatakan: “Setiap orang sekarang tahu, kami para misionaris, ingin bertindak sebagai penengah; tetapi setiap orang tahu juga bahwa seandainya terjadi suatu perpecahan, meskipun hal itu tidak kami harapkan, sedangkan kami terpaksa memilih, kami akan berdiri di pihak golongan pribumi”.[6] Mengenai gagasan tentang penghapusan segala bentuk penjajahan yang terjadi atas bangsa pribumi Jawa, pastor van Lith dengan tegas menyatakan: “Lewatlah sudah masa penjajahan bangsa kulit putih. Seorang bule tidak  akan dapat bertahan berhadapan dengan 100.000 orang Asia untuk selama-lamanya. Janganlah bermain api dengan sombong menjajah orang Jawa, melulu karena dia itu orang Jawa. Akuilah hak-hak bangsa Pribumi, agar lambat laun hak-hakmu sendiri diakui. Tinggalkanlah hak-hak khayalanmu, lepaskanlah hak-hak istimewamu yang dibenci. Di dalam Gereja Kristus tidak ada orang Yahudi, tidak ada orang Romawi, tidak ada orang Yunani. Juga tidak ada Belanda, tidak ada Jawa. Apa yang sejak semula di dalam Gereja merupakan undang-undang, sekarang di luar Gereja pun dijadikan peraturan pula: Belanda (totok), Indo, dan Jawa mulai saat ini akan hidup rukun sebagai saudara di dalam satu rumah; jika tidak, tidak lama lagi mereka tidak akan hidup bersama-sama”.[7]
Pemihakan pastor van Lith terhadap bangsa pribumi Jawa ini menjadi suatu pernyataan sikap lebih lanjut tentang karya Misi dan kaitannya dengan kolonialisme Eropa (Belanda). Sikap pastor van Lith ini memperjelas posisi Gereja dan karya Misi sebagai suatu hal yang terpisah dari kolonialisme. Memang diakui bahwa pintu masuk karya Misi di bumi nusantara ini melalui ekspansi politik ekonomi kolonial (Era Portugis, Spanyol dan Belanda). Akan tetapi tujuan akhir dari Karya Misi Gereja Katolik amat berlainan dengan kolonialisme. Tujuan akhir dari Karya Misi adalah membangun Gereja Indonesia yang mandiri (berkharakter khas Indonesia). Dengan demikian, karya Misi Gereja Katolik bukan semata-mata perpanjangan tangan politik kolonial. Gagasan pastor van Lith tentang pempribumian Iman Katolik bagi orang-orang pribumi Hindia Belanda (Indonesia/Jawa) ini sejajar dengan gagasan Paus Benediktus XV  di dalam Surat Apostolik Maximum Illud, tanggal 30 November 1919: tentang penyebaran iman Katolik di seluruh dunia. Surat Apostolik ini banyak menentukan dan mempengaruhi suasana Misi yang berlangsung saat itu dan sesudahnya. Surat Apostolik ini menggambarkan bagaimana pewartaan iman Katolik berlangsung dari abad ke abad yang dilaksanakan oleh Gereja. Tugas pewartaan ini merupakan perutusan  Kristus bagi para murid sebelum kembali kepada Bapa: “Pergilah ke seluruh dunia dan wartakanlah Injil kepada semua makhluk” (Mrk 16:15). Perutusan ini diwariskan terus menerus dari para rasul hingga akhir zaman.[8]
Pada bagian awal Surat Apostolik Maximum Illud, Paus mengungkapkan tentang tugas perutusan pewartaan Injil ke segala penjuru dunia bagi segala makhluk dan juga sejarah karya Misi Gereja yang telah berlangsung dari abad ke abad. Setelah berabad-abad berlalu, Gereja tidak pernah melupakan amanat Tuhan itu, dan tidak pernah berhenti untuk mengirimkan utusannya ke setiap penjuru dunia yang mengabarkan ajarannya dan pelayanannya untuk keselamatan kekal yang telah dianugerahkan melalui Kristus bagi setiap orang.[9] Paus kemudian mengungkapkan rasul-rasul Agung pewarta Injil yang telah berjuang mewartakan Injil ke penjuru-penjuru dunia, mulai dari Gregorius Iluminator yang membawa Injil ke Armenia, Victorinus rasul Styria (sebuah daerah di Austria), Frumentius yang menginjili Ethiopia, kemudian Patrick yang membawa orang Irlandia kepada Kristus, Agustinus yang memperkenalkan iman kepada orang-orang Inggris, Columba dan Palladius yang mengabarkan Injil kepada orang-orang Skotlandia, Clement Willibrordus, uskup pertama Utrecht yang membawa Injil kepada orang-orang Belanda, Bonifasius dan Anagar memperkenalkan iman kepada orang-orang Jerman, serta Cyrillus dan Metodius yang memenangkan Slavonia bagi Gereja.[10] Selain rasul-rasul pewarta Injil di dataran Eropa dan Afrika, Paus juga mengungkapkan tentang pewartaan Injil di Amerika dan Asia. Semenjak penemuan Amerika, sekelompok misionaris mulai berangkat ke dunia baru itu untuk mewartakan Injil, termasuk di dalamnya adalah murid dari St. Dominikus, Bartolomeus de Las Casas yang mencoba memperjuangkan kaum pribumi dari penindasan dan kuasa kegelapan di dalam budaya mereka. Di daratan Asia, St. Fransiskus Xaverius mewartakan keselamatan Kristus hingga di India, Indonesia, dan Jepang. Ia meninggal ketika hendak memasuki kekaisaran Cina. Di dataran Cina, William Rubruck membawa iman kepada orang-orang Mongol, dan kemudian Gregorius X mengirimkan misionaris pertama ke Cina yang diikuti oleh para murid St. Fransiskus Asisi.[11]
Selanjutnya, Surat Apostolik Maximum Illud mengungkapkan tentang anjuran-anjuran serta nasihat bagi para pemimpin Misi dan para misionaris. Salah satu pokok yang mengungkapkan tentang bagaimana karya Misi bukan bagian dari politik kolonial adalah anjuran bagi para misionaris agar selalu mengindahkan keluhuran tugas mereka, dan jangan menganut nasionalisme palsu.[12] Para misionaris hendaknya mengingat sabda Tuhan yang telah mengutus mereka: “Dengarlah hai putri, lihatlah dan sendengkanlah telingamu, lupakanlah bangsamu dan seisi rumah ayahmu”(Mzm 45:11) sebab tugas perutusannya bukanlah berasal dari dunia kemanusiaan saja (kerajaan manusia) tetapi berasal dari Kristus sendiri (Kerajaan Kristus). Dan hendaknya para misionaris juga mengingat bahwa tujuannya adalah memperoleh warga negara-warga negara bagi tanah air surgawi, dan bukan bagi tanah air duniawi.[13] Lebih lanjut, ditekankan bahwa sungguh disesalkan jika beberapa misionaris hanya memikirkan tanah air duniawi mereka, bahkan menampilkan semangat yang tidak pantas, untuk memperbesar kekuasaan tanah air mereka, dan terutama memperluas kemashyurannya. Hal ini untuk menyatakan bahwa iman kristiani bukanlah iman bangsa asing/penjajah kolonial. Memeluk kristianitas tidak berarti menempatkan diri di bawah perlindungan kedaulatan bangsa asing dan mengingkari tanah airnya sendiri.[14]
Tujuan dari surat apostolik ini adalah untuk mendukung para misionaris dan para pimpinan Misi, dan juga umat semuanya dalam mengembangkan karya Misi serta menunjukkan metode-metode yang dapat diterapkan untuk melanjutkan pemenuhan karya  Misi yang amat penting. Surat apostolik Maximum Illud memiliki pengaruh yang besar bagi karya Misi, khususnya dalam upaya indigenisasi iman Katolik di tanah Misi. Salah satu  upaya indigenisasi iman Katolik yang ditekankan oleh surat apostolik Maximum Illud adalah perlunya imam pribumi. Dengan demikian, para pemimpin misi dan misionaris hendaknya mengupayakan munculnya imam-imam pribumi yang akan mewartakan iman Katolik di antara umatnya sendiri. Hal ini dipandang sebagai sebuah langkah indigenisasi iman Katolik yang amat vital karena imam pribumi memiliki karakter yang sama dengan bangsanya, misalnya dalam hal bahasa, budaya, adat istiadat, dan mentalitas.[15] Selain itu, dengan adanya imam pribumi, pewartaan iman Katolik tidak lagi diidentikan dengan kolonialisme Eropa.  Meski demikian, pembinaan para calon imam pribumi hendaknya dijalankan sesuai dengan pedoman-pedoman pembinaan klerus bagi Gereja universal, dalam hal ini sesuai dengan arahan Roma. Oleh surat apostolik Maximum Illud ditegaskan bahwa pembinaan dan organisasi klerus pribumi merupakan sumber utama bagi harapan akan jemaat-jemaat baru. Imam pribumi memiliki karunia-karunia rohani, asal-usul, pandangan, dan komunikasi yang mudah serta erat dengan sesama umat beriman pribumi. Imam-imam pribumi memiliki keistimewaan dalam rangka meng-akarkan iman Katolik bagi orang pribumi.[16]
Gagasan untuk mendidik para calon imam pribumi sebenarnya telah muncul pada awal-awal karya Misi para misionaris Jesuit di Bumi Nusantara ini, seperti surat-surat para Jesuit di Maluku pada tahun 1542-1663 yang menulis usulan Pater Ferrari, Superior Jesuit Maluku kepada Pater Jendral untuk mendidik secara intelektual dan spiritual anak-anak pribumi, dan kemudian mengirimkan yang terbaik ke Goa (India) atau Malaka untuk melanjutkan pendidikan imamat. Selain itu, muncul gagasan Mgr.Vrancken, Vikaris Batavia (1847-1874) untuk membuka semacam seminari tempat pembinaan imam pribumi yang diungkapkan dalam proposal kepada Mgr. Scholten, mantan Prefek Apostolik Batavia (1830-1842). Gagasan ini muncul karena jumlah misionaris yang melayani di Hindia Belanda ini masih sangat kecil, bahkan untuk komunitas Eropa.[17] Meski demikian, pembinaan calon klerus pribumi di Indonesia, khususnya di Jawa ini baru terwujud ketika dua lulusan Kweekschool Muntilan angkatan tahun 1911 (F.X. Satiman dan R.M. Petrus Semeru Darmaseputra) mulai memberanikan diri untuk memohon dibina sebagai calon imam. Mereka menghadap pastor van Lith SJ dan pastor Mertens SJ agar diperkenankan belajar untuk mempersiapkan diri menjadi imam. Niat kedua pemuda itu dan kebutuhan imam di Indonesia mendorong munculnya gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi para calon imam. Untuk itu, proses perizinan dari Roma segera diurus. Pada tanggal 30 Mei 1912, keluarlah izin resmi dari Roma untuk memulai lembaga pendidikan calon imam di Indonesia. Pater Jendral Jesuit pun menyetujui usaha Pater van Lith untuk mendirikan Seminari Pertama di Indonesia. Saat itu gedung seminari belum ada. Maka, kursus pendidikan calon imam kemudian diselenggarakan di Kolese Xaverius Muntilan[18].
Sekolah calon guru yang dirintis oleh para Jesuit di Muntilan telah menjadi benih bagi tumbuhnya panggilan imam pribumi di Indonesia.  Keinginan untuk mendidik calon imam pribumi yang tidak pernah menjadi salah satu fokus karya Misi di Muntilan ini akhirnya muncul dalam diri anak-anak Jawa sendiri yang merasa bahwa Kristus pun memanggil orang Jawa untuk membumikan iman akan Dia di Jawa. Dalam sejarah perkembangan Misi iman Katolik di Jawa, sekolah-sekolah yang dikembangkan oleh para Jesuit di Muntilan dan  para biarawati Fransiskanes di Mendut seperti  Kweekschool, Normaalschool, Hollandsch Inlandsch School (HIS), dan sejumlah sekolah rendah berbahasa Jawa (Volksschool dan Standaardschool) memiliki peran yang amat besar. Dari karya pendidikan inilah muncul benih-benih panggilan imam pribumi yang mulai digulirkan dan dididik secara khusus untuk mendukung indigenisasi iman Katolik Jawa, sebagaimana yang terjadi pada lulusan Kolese Xaverius.[19]
Karya pendidikan calon guru (Sekolah Guru) di Muntilan yang telah  dibuka oleh Pater van Lith sejak tahun 1906 ini merupakan pioner formatio bagi munculnya pemimpin-pemimpin Gereja Indonesia yang turut berperan besar dalam proses perjuangan Indonesia sebagai bangsa merdeka. Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ dan Ig. Kasimo merupakan murid-murid awal dari Sekolah Guru tersebut (Kolese Xaverius). Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ diangkat sebagai uskup asli Indonesia yang pertama pada tanggal 1 Agustus 1940 ketika daerah Jawa Tengah mulai dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia, pada tanggal 25 Juni 1940. Pada tanggal 25 Juni 1940 itulah resmi didirikan Vikariat Apostolik Semarang setelah Mgr. P. J. Willekens, SJ, vikaris Apostolik Batavia mengadakan perundingan di Roma.[20]  Saat itulah awal dimana seorang klerus pribumi, seorang uskup Jawa memimpin Gereja di Jawa Tengah dengan 41.152 umat Katolik dan 15.824 diantaranya adalah umat Eropa.[21] Dengan diangkatnya Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ sebagai uskup pribumi pertama di Indonesia, Gereja Katolik Indonesia mulai menampakkan kekhasan karakter nasionalnya. Gereja Katolik sedikit demi sedikit tidak lagi menginduk pada Gereja Belanda dan tidak lagi dipandang sebagai Gereja orang asing (agama kolonial). Bahkan Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai pahlawan Nasional yang turut memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Perjuangan para misionaris Jesuit untuk mengakarkan iman Katolik di antara orang-orang Jawa (Indonesia) mulai menampakkan hasil yang cukup signifikan melalui karya pendidikan Sekolah Guru dan juga melalui pendidikan para calon klerus pribumi. Diangkatnya Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ yang adalah generasi awal (generasi pertama) anak-anak Katolik Jawa yang mendapatkan pendidikan calon imam, sebagai uskup pribumi pertama telah membuka pintu bagi berkembangnya indigenisasi iman Katolik dan kemandirian Gereja Indonesia. Atas berkat Penyelenggaraan Ilahi, pengangkatan Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ sebagai uskup pribumi pertama pada tahun 1940 seolah menjadi cara Kristus dalam memelihara dan melestarikan umat Katolik pribumi Indonesia pada periode penjajahan Jepang (1942-1945). Meski pada masa penjajahan Jepang itu Gereja Katolik mengalami krisis berat karena para misionaris Belanda hampir semua ditahan, namun Gereja masih terus lestari. Saat itu, imam-imam pribumi dan tenaga pastoral pribumi amat berperan untuk tetap berlangsungnya iman Katolik di Indonesia.[22]
Sejak saat dibukanya Seminari Menengah pertama kali pada tahun 1912, anak-anak Katolik di Jawa mulai banyak yang tertarik untuk meniti panggilan sebagai seorang calon imam. Dan selama 50 tahun setelahnya, Seminari Menengah di Keuskupan Agung Semarang telah mendidik 1242 seminaris dan menghasilkan 143 imam.[23] Meski pada awal-awal pendiriannya, pendidikan seminari ini terbentur berbagai masalah yang cukup rumit mengenai kurangnya kader kepemimpinan untuk mendirikan seminari-seminari, namun lambat laun realisasi dari pendidikan imam pribumi ini berkembang dengan pesat. Anjuran Apostolik Maximum Illud tahun 1919 telah mendorongnya sedemikian rupa. Pertambahan jumlah calon imam pribumi menunjukkan bahwa Seminari Tinggi pun harus dimulai di Indonesia. Mulai saat itu juga dirintis Seminari Menengah di daerah-daerah lain di luar Jawa seperti di Sikka, Pulau Flores pada tahun 1926.[24] Selain itu, pendidikan Seminari Menengah yang telah mengolah dan mempersiapkan panggilan imamat bagi anak-anak Jawa ini juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mempersiapkan serta mendidik tokoh-tokoh nasional bagi perjuangan kemerdekaan dan proses awal lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa pastor terlibat dalam perjuangan itu dengan menjadi anggota dalam MPRS, DPA, DPN, dan DPR, yakni Prof Dr. N. Drijarkara, SJ; Mgr. J.O.H. Padmaseputra, Pr; R.P.A. Sumandar, SJ; dan Chr.Widjajasuparta, Pr.[25]
Perkembangan jumlah calon imam pribumi, dan juga mulai didirikannya novisiat-novisiat tarekat-tarekat imam misionaris, serta Seminari Tinggi Diosesan di Indonesia yang didorong oleh Surat Apostolik Maximum Illud menunjukkan bahwa guliran iman Katolik yang diwartakan oleh para misionaris mulai mendapatkan tanah yang cukup baik untuk menancapkan akar-akarnya. Perkembangan ini tidak lepas dari peran para misionaris perintis pribumisasi iman Katolik melalui karya pendidikan Guru dan pembinaan tenaga pastoral pribumi (lembaga pendidikan imam diosesan, dan biarawan-biarawati pribumi) seperti Pastor van Lith, SJ dan juga Mgr. Petrus Joannes Willekens, SJ.[26]
Menelusuri kembali jejak-jejak perjuangan serta perkembangan pemribumian iman Katolik di Indonesia, kiranya pendidikan calon imam pribumi di Indonesia ini memiliki peran yang cukup vital. Surat Apostolik Maximum Illud, surat apostolik Paus Benediktus XV tentang Karya Misi yang muncul pada tanggal 30 November 1919 pun telah menegaskan bahwa pendidikan imam pribumi (local clergy) menjadi bagian yang amat penting dalam rangka mem-bumikan iman Katolik di tanah Misi. Pola pendampingan atau formatio yang dilakukan bagi para calon imam pribumi ini pun menjadi semacam succesio apostolica yang menyatukan pesan Injil Gereja Universal dengan konteks eklesiologi lokal nan dinamis. Pola pendidikan dan pendampingan bagi para calon klerus pribumi ini pun selalu diperbaharui sesuai dengan tuntutan Gereja Universal dan Gereja lokal untuk semakin membumikan iman Katolik. Perkembangan pola-pola pembinaan calon imam itu memiliki dinamika khusus yang membingkai setiap periode dalam perjalanannya untuk semakin menjadi Gereja Katolik Indonesia.
Atas dasar pertimbangan bahwa pembinaan calon imam pribumi, khususnya tingkat Seminari Menengah  memiliki peran yang amat besar dalam pempribumian iman Katolik di Indonesia dalam rangka penyediaan tenaga-tenaga pastoral klerus pribumi, maka penelitian ini hendak mengangkat dinamika sejarah perkembangan pola pendidikan atau model formatio Seminari menengah pertama di Indonesia, yakni seminari Menengah Mertoyudan (seminari menengah di Vikariat Apostolik Semarang/Keuskupan Agung Semarang). Secara khusus, penelitian ini akan memfokuskan pada pengaruh/dorongan Surat Apostolik Maximum Illud pada kelahiran serta berkembangnya pendidikan calon imam pribumi tingkat menengah di Indonesia, yang diawali oleh Seminari Kecil St. Petrus Kanisius (Mertoyudan) di daerah Vikariat Apostolik Semarang/Keuskupan Agung Semarang. Tidak dapat dipungkiri bahwa usaha-usaha pembinaan calon imam pribumi ini merupakan bagian dari usaha untuk semakin membumikan iman Katolik di Indonesia hingga saat ini, di awal millenium ke-tiga, setelah iman Katolik di Indonesia memasuki generasi ke-tiga (ke-empat). Usaha ini tentu tidak akan pernah melupakan atau meninggalkan setiap dinamika sejarah yang telah dilaluinya.
Alasan memilih Surat Apostolik Maximum Illud sebagai dokumen kajian dalam penelitian ini adalah peran yang amat vital dari Surat Apostolik Maximum Illud dalam mengusung paradigma baru Karya Misi Gereja Katolik.  Surat Apostolik Maximum Illud  merupakan dokumen pertama kepausan di abad XX tentang Karya Misi. Secara politis, Surat Apostolik Maximum Illud merupakan visi supranasional Karya Misi yang menjernihkan persoalan seputar Karya Misi dan kolonialisme.[27] Dengan jelas diungkapkan bahwa Kerajaan Allah tidak berasal dari bangsa kolonial, dan juga bukan perkara kolonial. Paradigma baru yang diusung oleh dokumen ini bagi Karya Misi berkaitan dengan konteks relasi antara Karya Misi dan politik kolonialisme. Oleh dokumen tersebut ditegaskan bahwa Karya Misi terpisah dari urusan kolonialisme. Secara teologis, Surat Apostolik Maximum Illud ini berpijak dari perintah Kristus sendiri dalam mewartakan Kabar Gembira bagi seluruh bangsa. Selain itu, Surat Apostolik Maximum Illud juga menegaskan tentang perlunya pendidikan imam pribumi demi menunjang Karya Misi dalam mendirikan Gereja Lokal.[28] Penegasan tentang perlunya imam pribumi ini membawa pada pemahaman teologis tentang Karya Misi yang didirikan diatas dasar misteri inkarnasi. Selanjutnya, Surat Apostolik Maximum Illud juga mengundang segenap umat beriman untuk ikut bertanggungjawab dalam Karya Misi melalui doa, penggalangan dana, dan promosi panggilan bagi umat setempat.
Penelitian ini secara khusus dilakukan untuk menelusuri kembali dinamika pendampingan serta pergulatan pembinaan calon imam pribumi di Seminari Menengah Mertoyudan yang akan memasuki usia seabad pada tahun 2012. Harapannya, penelusuran kembali tentang  sejarah pola pendampingan atau formatio calon imam di Seminari Menengah Mertoyudan yang hampir berusia satu abad ini dapat meramaikan khasanah refleksi dan pembaharuan terus menerus bagi pembinaan calon imam Gereja Universal pada umumnya, dan secara khusus, bagi Gereja Katolik Indonesia.

2.    Perumusan Masalah (Persoalan Teologis)
Dalam Surat Apostolik Maximum Illud (30 November 1919), Paus Benediktus XV menekankan tentang pentingnya pembinaan klerus pribumi dalam mengembangkan karya Misi. Paus menyebutkan bahwa ada satu hal amat penting yang harus diperhatikan oleh para pemimpin Misi maupun misionaris yakni mereka harus memberikan perhatian istimewa untuk menjamin dan membina calon-calon lokal (pribumi) bagi pelayanan kudus. Di dalam kebijakan ini, terhampar harapan yang besar bagi Gereja baru. Sebab imam-imam pribumi, yang merupakan satu bangsa, satu tanah air, simpati dan aspirasi dengan umatnya sendiri akan sungguh efektif dalam masuk ke dalam mentalitas mereka dan kemudian menarik mereka ke dalam iman. Selain itu, imam-imam pribumi akan tetap menjamin berlangsungnya pewartaan iman di tempat-tempat dimana imam-imam asing (misionaris asing) ditolak.[29] Penegasan dari Paus Benediktus XV tentang pembinaan calon imam pribumi dalam karya Misi ini mendapat respon positif dari para misionaris yang mewartakan iman Katolik di daerah-daerah misi, salah satunya adalah di wilayah Nusantara ini. Surat Apostolik ini sendiri bertujuan untuk meneguhkan para pemimpin misi dan para misionaris dalam menjalankan karya Misi mereka. Dan secara khusus memberi arahan bagi pempribumian iman Katolik di masing-masing tempat dimana Injil diwartakan. Salah satu arahan tersebut adalah dengan membina anak-anak pribumi setempat untuk dipersiapkan sebagai pelayan kudus (imam).
Di tanah Misi Indonesia ini, gagasan untuk memulai pembinaan calon imam pribumi ternyata telah muncul beberapa tahun sebelum Surat Apostolik Maximum Illud diterbitkan. Meski demikian, Surat Apostolik ini semakin memberi peneguhan tentang pembinaan lebih lanjut bagi imam-imam pribumi Indonesia dalam mempersiapkan Gereja Indonesia yang mandiri. Lantas bagaimana amanat dari Surat Apostolik Maximum Illud ini menjiwai pembinaan para calon klerus pribumi dan perjuangan awal pembinaan calon imam pribumi yang benar-benar terealisasikan setelahnya? Bagaimana  Surat Apostolik Maximum Illud mendorong dilakukannya pembinaan calon imam pribumi yang sesuai dengan karakter khas jemaat lokal setempat demi pewartaan iman yang semakin efektif demi semakin membumikan Iman Katolik di tanah Indonesia ini, secara khusus dalam proses formatio di Seminari Menengah Petrus Kanisius Mertoyudan sejak awal berdirinya hingga saat ini?
Dengan mengungkapkan beberapa pokok persoalan tentang pengaruh Surat Apostolik Maximum Illud bagi lahir dan berkembangnya pembinaan calon-calon imam pribumi tingkat menengah di Keuskupan Agung Semarang ini, tulisan ini memiliki fokus pada studi historis formatio pembinaan calon imam tingkat menengah di Indonesia, khususnya yang telah dirintis oleh misionaris Jesuit di Jawa pada seminari menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan. Persoalan teologis yang hendak diangkat antara lain: (1) Pembinaan calon imam pribumi merupakan bagian yang cukup vital dalam karya misi mewartakan Injil Kerajaan Allah terus menerus demi semakin mengakarnya iman akan Kristus dalam konteks jemaat lokal, (2) Pola-pola pembinaan yang dilangsungkan di dalam pendidikan calon klerus tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial masyarakat, serta karakter Gereja setempat yang menjadi lahan pelayanan sekaligus pewartaan Injil bagi calon-calon klerus tersebut.

3.    Tujuan Penulisan
Tesis ini disusun pertama-tama dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Teologi Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma. Selanjutnya, tujuan lain dari penulisan tesis ini adalah  untuk menemukan kaitan antara Surat Apostolik Maximum Illud dan pendirian awal pendidikan calon imam tingkat menengah di Indonesia, khususnya Seminari Menengah St. Petrus Kanisius di Vicariat Apostolik Semarang. Usaha itu dilakukan dengan menggali sejarah lahir serta dinamika formatio Seminari Menengah Mertoyudan dalam menunjang kelangsungan karya Misi Gereja Indonesia.  Harapannya, dengan penelusuran  sejarah kelahiran dan formatio di Seminari Menengah Mertoyudan ini  penulis dapat menemukan pola-pola khas formatio calon imam pribumi Indonesia dari waktu ke waktu  demi menuju Gereja Katolik Indonesia yang semakin mandiri, khas dan misioner.
Dalam terang Surat Apostolik Maximum Illud, penelitian ini hendak menggali peran Seminari Menengah Mertoyudan sebagai pioner  Formatio Imam Pribumi (local clergy) Menuju Gereja Indonesia. Harapannya, penelusuran sejarah formatio Seminari Kecil Mertoyudan ini semakin membuka kesadaran akan pentingnya pendidikan calon imam dalam kerangka karya Misi dan  pembaharuan terus menerus formatio calon imam demi semakin membumikan iman Katolik di Indonesia.
Selain itu, berhadapan dengan dunia abad XXI yang memiliki begitu banyak tantangan dalam hidup beriman, berkomunitas (menggereja), serta munculnya ‘budaya-budaya’ baru dalam tatanan kehidupan, mengajak setiap umat beriman untuk semakin mempertanggungjawabkan imannya secara kontekstual, dialogis, dan peka zaman. Dalam hal ini pulalah, semoga dengan menggali kembali sejarah kelahiran dan dinamika perkembangan formatio calon imam di seminari Menengah Mertoyudan dari waktu ke waktu, para calon imam sekarang dengan metode dan model pembinaan yang semakin kontekstual untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut tidak meninggalkan pembelajaran yang telah didapat dari para pendahulunya. Dengan demikian, pembelajaran terhadap sejarah ini memberikan semangat kerasulan yang terus bergulir demi pewartaan Injil di segala tempat dan situasi, dengan segala kemudahan serta tantangannya.

4.   Metode Penulisan
Dalam menyusun tesis ini, penulis menggunakan metode penulisan pustaka dan wawancara. Secara khusus lagi, penelitian ini merupakan penelitian sejarah. Pertama-tama penulis akan melaporkan tentang konteks historis Surat Apostolik Paus Benediktus XV, Maximum Illud. Pemaparan ini hendak memberikan gambaran konteks luas tentang karya Misi iman Katolik pada awal abad ke-20. Secara khusus lagi, pemaparan ini hendak memfokuskan tentang pentingnya pendidikan calon imam pribumi bagi karya Misi.
Selanjutnya, penulis hendak mengungkapkan data-data historis mengenai tanggapan para pemimpin misi dan misionaris di Indonesia serta tindak lanjut atas Surat Apostolik Maximum Illud dengan permulaan pembinaan calon-calon imam di bumi Indonesia. Pemaparan ini hendak memberikan gambaran konteks khusus tentang karya misi iman Katolik di Indonesia yang berkaitan dengan lahirnya pembinaan calon imam pribumi. Pemaparan ini akan dilanjutkan dengan penyampaian data-data historis mengenai perkembangan formatio seminari menengah St. Petrus Kanisius, mulai dari saat dipimpin oleh para misionaris Jesuit Belanda hingga saat ini. Dinamika pembaruan terus menerus dari formatio pembinaan calon imam di seminari menengah St. Petrus Kanisius ini sebagai salah satu usaha dari gerak pempribumian iman Katolik di Indonesia dalam terang Surat Apostolik Maximum Illud.
Pada akhirnya, penulis hendak memberikan kesimpulan singkat mengenai gerak dinamika  umat Katolik Indonesia dari Gereja karya Misi ke Gereja Katolik Indonesia yang mandiri. Di dalam usaha serta dinamika pergulatan pempribumian Iman Katolik ini, pendirian lembaga pembinaan calon-calon imam pribumi dan pembaharuan metode formatio sesuai dengan konteks sosial masyarakat Indonesia dari waktu- ke waktu menjadi salah satu bagian vital dan berperan amat besar dalam rangka menuju ke Gereja Katolik Indonesia.

5.    Sistematika Penyajian
Bab I  merupakan  bagian pendahuluan yang memaparkan tentang latar belakang, batasan masalah, tujuan, metode penulisan serta sistematika penyajian dari tesis ini. Bab ini menjadi bab pengantar yang akan membuka pada penelusuran lebih lanjut tentang pokok persoalan tesis.
Bab II memaparkan tentang pokok dari Surat Apostolik Maximum Illud dari Paus Benediktus XV tentang karya misi. Secara khusus, akan dibahas tentang pentingnya formatio imam-imam pribumi yang mendukung perkembangan karya Misi dimana pun.
Bab III hendak memaparkan tentang pengaruh dari Surat Apostolik Maximum Illud bagi karya misi di Indonesia pada umumnya dan bagi kelahiran serta pembinaan calon-calon imam pribumi awal di Indonesia. Pada bab ini juga secara khusus diuraikan tentang Seminari Menengah St. Petrus Kanisius di Vicariat Apostolik Semarang sebagai pioner pendidikan calon imam di Indonesia.
Bab IV secara khusus hendak melaporkan data-data historis tentang formatio pembinaan calon imam di Seminari Menengah St. Petrus Kanisius sejak kelahirannya hingga saat ini. Perkembangan dan pergulatan dinamika formatio ini dimaksudkan sebagai langkah-langkah nyata atas usaha menuju Gereja Katolik Indonesia yang mandiri (Pempribumian iman di bumi Indonesia).
Bab V hendak menegaskan kembali pentingnya karya pembinaan calon imam pribumi bagi karya Misi di era Gereja Indonesia. Bab ini hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar pembinaan calon imam di era Gereja Indonesia yang mandiri. Dengan kata lain, setelah  Gereja Indonesia tercapai kemandiriaannya, kemanakah arah pembinaan calon imam pribumi ini dibawa?
Bab VI berisi tentang kesimpulan sekaligus penutup dari penelitian atau tesis ini. Kesimpulan atau penutup ini merupakan penilaian dan rekomendasi penulis setelah mengadakan penelusuran sejarah, dan proses penggalian dokumentasi mengenai Surat Apostolik Maximum Illud serta perkembangan pembinaan calon imam pribumi di Indonesia.


7.    Daftar Pustaka
1.      Denis E. Hurley, OMI and Joseph Cunnane, Vatican II on Priest and Seminaries, Scepter Books Dublin and Chicago, 1967.
2.      Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Dokumen Konsili Vatikan II: Optatam Totius, Jakarta: Penerbit Obor, 1993.
3.      Fr. Saturnino Dias (ed), Evangelisation and Inculturation, Pauline Publications: Mumbai, 2001.
4.      Gerard S. Sloyan (ed), Secular Priest in The New Church, New York: Herder and Herder, 1967.
5.      John M. Prior, SVD dan Patrisius Pa SVD (ed), Kisah Yesus di Asia: Perayaan Iman dan Hidup, Kongres Misi Asia Chiang Mai Thailand 18-20 Oktober 2006, Jakarta: Komisi Karya Misioner KWI Karya Kepausan Indonesia, 2007.
6.      Kenan B. Osborne, OFM, Community, Eucharist, and Spirituality, Missouri: Liguori, 2007.
7.      Paus Yohanes Paulus II, Gereja di Asia: Anjuran Apostolik Pasca Sinodal New Delhi 6 November 1999, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2001.
8.      Paus Yohanes Paulus II, Pastores Dabo Vobis: Anjuran Apostolik tentang Pembinaan Imam dalam Situasi Zaman Sekarang, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1992.
9.      Pedoman Pembinaan Seminari Menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan Magelang, 2004.
10.  Pujasumarta, Pr, Abad XXI Sebagai Abad Kaum Awam: Pencarian Format Pendidikan Seminari Menengah Mertoyudan, 28 Juli 2007.
11.  Rangkuman hasil Bedah Seminari Mertoyudan: Kerangka Seminari Menengah Mertoyudan  Tahun 2010 yang diadakan di Wisma Salam, 13-15 Februari 2007.
12.  Rangkuman Hasil Pertemuan Tahunan para pembina Seminari Menengah Regio Jawa-Bali, pada 1-3 oktober 2006 di Muntilan.
13.  Raymond A. Tartre, S.S.S, The Postconciliar Priest, New York: P.J. Kenedy and Sons, 1966.
14.  Robert J. Schreiter, C.PP.S, Rancang Bangun Teologi Lokal, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.
15.  Sacred Congregation for Catholic Education, The Basic Plan for Priestly Formation, National Conference of Chatolic Bishop: 1312 Massachusetts Avenue, N.W. Washington D. C, 1970.
16.  Saya Sasaki Shiraisi, Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001.
17.  Tim KAS, Garis-garis Besar Sejarah Gereja Katolik di Keuskupan Agung Semarang, Semarang: Keuskupan Agung Semarang, 1992.
18.  Y. Driyanto, Pr (ed), Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia Bagian Seminari Menengah, Jakarta: Penerbit Komisi Seminari KWI, 2001.
19.  Dokumen FABC
20.  F.Hasto Rosariyanto, SJ (ed), Bercermin pada Wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2001
21.  Majalah Aquila, Seminari Menengah Mertoyudan
22.  Panitia Panggilan Keuskupan Agung Jakarta, Pendidikan Imam dalam Masyarakat Indonesia Modern, Jakarta: Yayasan Gembala Utama, 1987
23.  Huub J.W.M. Boelaars, OFM Cap, Indonesianisasi, Yogyakarta: Kanisius, 2005
24.  Fl. Hasto Rosariyanto, SJ, Van Lith: Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2009
25.  Anton Haryono, Awal Mulanya adalah Muntilan, Yogyakarta: Kanisius, 2009
26.  Majalah St. Claverbond (1913-1947)
27.  Paulus Widyawan Widhiasta, Monsinyur Willekens, SJ (Biografi 1881-1971), Jakarta: Obor, 2009






Kerangka Tesis:
Seminari Menengah  Mertoyudan sebagai Pioner Formatio Imam Pribumi (local clergy) Menuju Gereja Indonesia dalam terang Anjuran Apostolik Maximum Illud


Bab I Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
1.2.Tujuan
1.3.Perumusan Masalah dan Kerangka Teori
1.4.Metodologi
1.5.Sumbangan bagi Ilmu Teologi

Bab II Anjuran Apostolik Maximum Illud tentang Formatio Imam Pribumi
2.1. Konteks Sejarah Anjuran Apostolik Maximum Illud
2.2. Garis Besar  dan Tujuan Anjuran Apostolik Maximum Illud
2.3. Karya Misi dan Imam Pribumi (local clergy)
2.3. Formatio Imam Pribumi sebagai ujung tombak karya Misi dalam Maximum Illud


Bab III. Surat Apostolik Maximum Illud dan Pendidikan Calon Imam Pribumi di Indonesia

1.1.       Konteks Karya Misi di Indonesia awal abad 20
1.2.       Karya Misi Para Jesuit di Indonesia
1.3.       Pengaruh Surat Apostolik Maximum Illud terhadap lahirnya Seminari Pribumi di Indonesia
1.4.       Seminari-seminari Awal di Indonesia
1.5.       Seminari Menengah di Keuskupan Agung Semarang (Vicariat Apostolik Semarang) sebagai pioner pendidikan calon imam di Indonesia

Bab IV. Seminari Menengah Mertoyudan sebagai Pioner Formatio Imam Pribumi (local clergy) Menuju Gereja Indonesia

4.1.       Sejarah Seminari Menengah di Keuskupan Agung Semarang (Vicariat Apostolik Semarang)
4.1.1.      Seminari Muntilan
4.1.2.      Seminari Jogjakarta
4.1.3.      Seminari Mertoyudan
4.1.4.      Seminari Diaspora
4.2.       Indonesianisasi Formatio Calon Imam di Seminari Menengah Mertoyudan
4.2.1.      Sejarah Lahirnya Visi Misi Formatio Calon Imam di Seminari Menengah Mertoyudan
4.2.2.      Mendidik Calon Imam Sesuai Konteks Karakter Gereja Setempat
4.2.3.      Mengembangkan Sisi Sanctitas, Sanitas, Scientia
4.3.       Rekam Jejak Usaha Indonesianisasi Formatio Imam Pribumi dalam Visi Misi Formatio Seminari Menengah Mertoyudan (1912-2010) Menuju Gereja Indonesia
4.3.1.      Tahun 1912-1941
4.3.2.      Tahun 1942-1961
4.3.3.      Tahun 1962-1981
4.3.4.      Tahun 1982-1988
4.3.5.      Tahun 1988-2004


Bab V. Seminari Menengah Mertoyudan dan Karya Misi di era Gereja Indonesia

5.1. Apa itu Gereja Katolik Indonesia?
5.2. Bagaimana Karya Misi di era Gereja Indonesia?
5.3. Pembinaan Calon Imam di era Gereja Indonesia

Bab VI. Penutup


[1] F.X. Satiman, SJ., “Seminaris Pertama” dalam Aquila edisi Khusus 50 Tahun Seminari 1912-1962, hal.8
[2] Ibid, hal. 7, bdk. Fl. Hasto Rosariyanto, SJ, Van Lith: Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2009, hal. 189-190
[3] F.X. Satiman, SJ., “Seminaris Pertama” dalam Aquila edisi Khusus 50 Tahun Seminari 1912-1962, hal.7
[4] Robert J. Schreiter, C. PP.S, Rancang Bangun Teologi Lokal, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006, hal.6
[5] Dr. Huub J.M.W Boelaars, OFM Cap, Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal.109
[6] Ibid, hal. 109
[7] Ibid, hal.110
[8] Paus Benediktus XV, Surat Apostolik Maximum Illud, 30 November 1919
[9] From that time on, as the centuries have passed, the Church has never forgotten that command God gave her, and never yet has she ceased to dispatch to every corner of the world her couriers of the doctrine He entrusted to her, and her ministers of the eternal salvation that was delivered through Christ to the race of men (Paus Benediktus XV, Surat Apostolik Maximum Illud, 30 November 1919
[10] Paus Benediktus XV, Surat Apostolik Maximum Illud, 30 November 1919
[11] Paus Benediktus XV, Surat Apostolik Maximum Illud, 30 November 1919
[12] Dr. Huub J.M.W Boelaars, OFM Cap, Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal.106
[13] Paus Benediktus XV, Surat Apostolik Maximum Illud, 30 November 1919
[14] Dr. Huub J.M.W Boelaars, OFM Cap, Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal.106
[15] Fl. Hasto Rosariyanto, SJ, Van Lith: Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2009, hal. 193-194
[16] Dr. Huub J.M.W Boelaars, OFM Cap, Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal.107
[17] Fl. Hasto Rosariyanto, SJ, Van Lith: Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2009, hal. 186-187, bdk., Dr. Huub J.M.W Boelaars, OFM Cap, Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal. 235
[18] Pedoman Pembinaan Seminari Menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan Magelang, 2004, hal.1, bdk., B. Subrata, “Detik-detik Bersejarah” dalam Aquila edisi Khusus 50 Tahun Seminari 1912-1962, hal.10
[19] Anton Haryono, Awal Mulanya adalah Muntilan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal.88-89
[20] Dr. Huub J.M.W Boelaars, OFM Cap, Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal.112, bdk., Fl. Hasto Rosariyanto, SJ, Van Lith: Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2009, hal. 91
[21] Ibid., hal. 112
[22] Imam-imam dan tenaga pastoral pribumi saat itu adalah: Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, 19 imam (14 imam berkarya di Pulau Jawa, 2 di Flores, 2 di Kalimantan Barat, dan 1 di Pulau Bangka), 60 bruder, dan 206 suster, Lih., Dr. Huub J.M.W Boelaars, OFM Cap, Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal.118
[23] Aquila edisi Khusus 50 Tahun Seminari 1912-1962, hal.29
[24] Dr. Huub J.M.W Boelaars, OFM Cap, Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal.114
[25] Ibid, hal. 29
[26] Paulus Widyawan Widhiasta, Monsiyur Willekens, SJ: Sebuah Biografi (1881-1971), Jakarta: Obor, 2009, hal.45
[27] Dr. Huub J.M.W Boelaars, OFM Cap, Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal.105
[28] Perhatian pada pendidikan calon imam pribumi ini muncul pada dokumen-dokumen Kepausan tentang Karya Misi selanjutnya seperti Rerum Ecclesiae, Evangelii Praecones, Donum Fidei, dan Princeps Pastorum meski setiap dokumen memiliki konteks masing-masing. Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut, tujuan utama dari Karya Misi adalah mendirikan Gereja Lokal. Dalam usaha pembentukan Gereja Lokal ini, pendidikan calon imam pribumi menjadi salah satu bagian yang amat vital. (bdk. Gregorius Budi Subanar, The Local Church in The Light of Magisterium Teaching on Mission, Roma: Editrice Pontificia Universita Gregoriana, 2001, hal.50)
[29] There is one final, and very important, point for anyone who has charge of a mission. He must make it his special concern to secure and train local candidates for the sacred ministry. In this policy lies the greatest hope of the new churches. For the local priest, one with his people by birth, by nature, by his sympathies and his aspirations, is remarkably effective in appealing to their mentality and thus attracting them to the Faith. Far better than anyone else he knows the kind of argument they will listen to, and as a result, he often has easy access to places where a foreign priest would not be tolerated.    (Benedict XV. Maximum Illud: Apostolic Letter on the Propagation of the Faith Throughout the World. 30 November 1919.     Diterjemahkan oleh Thomas J. M. Burke, S.J. Washington, DC: National Catholic Welfare Office. http://www.svdcuria.org/public/mission/docs/encycl/mi-en.htm, diunduh tanggal 10 Februari 2010)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar