Kamis, 23 Desember 2010

Teologi Salib sebagai jembatan Dialog antara Dokumen Dominus Iesus dan Postmodernisme

1. Sekilas Dokumen Dominus Iesus
            Dokumen Dominus Iesus dideklarasikan oleh Kongregasi Untuk Ajaran Iman pada tanggal 6 Agustus 2000. Oleh Kongregasi, deklarasi ini pertama-tama dimaksudkan sebagai sebuah deklarasi ajaran iman tentang kekhasan dan universalitas Yesus Kristus sebagai satu-satunya pengantara bagi keselamatan manusia  serta kekhasan Gereja sebagai satu-satunya komunitas yang menghadirkan Kristus Sang Penyelamat. Ajaran iman ini muncul berkaitan dengan tantangan relativisme iman yang mulai merasuki kehidupan Gereja di tengah konteks masa kini. Secara khusus, Prefek Kongregasi Ajaran Iman saat itu, Kardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) menyatakan adanya tantangan relativisme iman dalam dunia era postmodern saat ini. Hal ini terungkap ketika pada tahun 1984 Vittorio Messori, seorang wartawan Italia, melakukan wawancara dengan Ratzinger. Dalam terjemahan bahasa Inggris, hasil wawancara tersebut diterbitkan dengan judul The Ratzinger Report: An Exclusive Interview on the State of the Church (1985)[1] . Dalam wawancara tersebut, Ratzinger mengungkapkan tentang bahaya relativisme iman yang berkembang belakangan ini bagi Gereja serta masa depan dialog. Baginya, dialog iman dengan agama-agama lain haruslah didukung dengan definisi yang jelas dari iman seseorang. Dengan tegas ia menyatakan bahwa "definisi-definisi jelas dari iman seseorang akan membantu semua pihak, termasuk partner dalam dialog" (1985:155). Dengan kata lain, dialog hanya bisa terjadi justru kalau masing-masing pihak sungguh meyakini imannya. Ratzinger yakin bahwa dialog antar-agama tidak boleh jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme iman".[2] Relativisme ini marak dalam dunia dengan kebudayaan postmodern dimana kebenaran tunggal tidak lagi mendapat maknanya. Kebenaran tunggal yang memuncak dalam era modernitas tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. Era modern telah terlampaui dan yang muncul adalah era relativitas dalam postmodern.
            Dalam konteks demikianlah, Dokumen Dominus Iesus muncul sebagai bentuk penegasan Gereja terhadap kebenaran pokok iman Kristiani akan Yesus Kristus. Dokumen ini tidak mengingkari adanya panggilan untuk berdialog dengan agama-agama lain serta kebenaran-kebenaran yang tersebar. Dokumen ini justru memiliki maksud untuk memberi posisi yang jelas akan definisi iman akan Yesus Kristus dalam Gereja Katolik dalam rangka dialog. Meski demikian, bahasa rumusan yang dimunculkan oleh dokumen ini tetap menyisakan suatu kontroversi yang mengundang berbagai macam reaksi dan diskusi dari kalangan teolog Katolik. Bahasa yang dimunculkan dalam dokumen ini terkesan apologetis berhadapan dengan realitas postmodern yang ditandai dengan hadirnya bahaya relativisme iman. Di sisi lain, bahasa yang ditampilkan agaknya menampakan adanya semacam arogansi kekristenan terhadap klaim kebenaran universal tentang keselamatan (salvation) yang mensubordinasikan agama-agama lain sebagai jalan kebenaran dan keselamatan. Secara khusus, Dokumen Dominus Iesus menjadi amat kontroversial di kalangan hidup beriman Kristiani Asia/Afrika dimana warna dasar kehidupan iman umatnya (Gereja) adalah dialog dengan berbagai macam budaya, agama, dan realitas kemiskinan. Bagaimana rumusan dokumen Dominus Iesus dapat menjawab berbagai macam persoalan dalam dialog tersebut? Bagaimana Yesus Kristus yang adalah jalan, keselamatan dan hidup ini ‘nyambung’ dalam realitas keberagaman dalam dialog ini?
            Dokumen Dominus Iesus sendiri merupakan sebuah rangkuman refleksi iman Gereja yang diwakili oleh hirarki tentang  Yesus Kristus (sebuah refleksi Kristologis) berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi Gereja. Dengan demikian, refleksi Kristologis dalam dokumen Dominus Iesus ini bukanlah sebuah refleksi Kristologis baru melainkan refleksi Kristologis alkitabiah dan tradisional. Pokok-pokok tema yang ditulis dalam dokumen tersebut antara lain: (1) Yesus Kristus sebagai wahyu yang penuh dan definitif; (2) Inkarnasi Sabda dan Roh Kudus dalam karya keselamatan; (3) Keunikan dan universalitas Misteri Penyelamatan dalam diri Yesus Kristus; (4) Keunikan dan Kesatuan Gereja; (5) Gereja: Kerajaan Allah dan Kerajaan Kristus; (5) Gereja dan agama-agama lain dalam relasinya dengan keselamatan. Dari pokok-pokok berikut amat kelihatan bagaimana otoritas Gereja berusaha menegaskan sikap imannya terhadap Kristus serta kaitannya dengan Gereja.
            Tulisan ini dibuat tidak untuk menguraikan kembali isi dokumen Dominus Iesus  serta memberikan penilaian terhadapnya tetapi mencoba menemukan bahasa yang mampu menjadi jembatan demi terjadinya dialog, terlebih mengingat konteks budaya dunia kontemporer saat ini sangat diwarnai dengan arus pemikiran postmodern.  Ancaman akan adanya relativisme iman tidak lagi merupakan tantangan yang akan dihadapi, tetapi Gereja tengah hidup dalam dunia dengan suasana tersebut. Dengan menemukan jembatan dialog tersebut, diharapkan refleksi-refleksi iman akan Yesus Kristus dalam Gereja lebih memiliki bahasa dialogis inklusif meski tetap mempertahankan agar tidak jatuh ke dalam arus relativisme iman. Usaha yang dilakukan terus menerus dalam membahasakan refleksi iman ini dipandang sebagai suatu usaha yang penting karena Gereja pada hakikatnya adalah sebuah komunitas yang bergerak ke arah Kristus. Gereja tengah berziarah hingga akhirnya mencapai kepenuhannya di dalam Kristus.  Dalam proses berziarah inilah Gereja tidak dapat menutup mata dan berpangku tangan bahwa terdapat keanekaragaman budaya, arus pemikiran, dan realitas hidup dari setiap manusia yang hidup dalam dunia saat ini. Dengan demikian, proses inkulturasi Injil Yesus Kristus sungguh berdaya transformatif bagi hidup manusia dengan berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Dengan kata lain, pokok iman akan Yesus Kristus sebagai Sang Kepenuhan wahyu dan jalan keselamatan dari Allah dapat meresap dalam situasi hidup masyarakat manusia dengan berbagai macam kebudayaan, agama dan realitas perjuangan hidup ke arah kebenaran serta keselamatan.

2. Konteks:  Gereja di tengah Realitas Postmodernisme
            Dokumen Dominus Iesus mendapat banyak tanggapan dan reaksi bagi komunitas Gereja di tengah dunia postmodern saat ini. Salah satu contoh yang terjadi di masyarakat Bantu, Afrika. Francois Lumbala Kabalese menuliskan tentang kesulitan memahami isi dokumen tersebut bagi masyarakat Bantu yang telah memiliki sistem keyakinan tersendiri. Memang masyarakat Bantu mampu memahami Yesus sebagai Sang Pengantara Tertinggi antara Allah dan manusia, sementara pengantara-pengantara yang lain menunjuk kepada Yesus. Akan tetapi sungguh sulit untuk memahami klaim kebenaran tunggal pewahyuan hanya terjadi pada umat Israel, sebagaimana terjadi pada diri Kristus dan Gereja. Tidakkah Allah juga mewahyukan diri ke dalam hidup manusia melalui realitas yang lainnya?[3]
            Contoh tersebut merupakan salah satu contoh dari sekian reaksi yang muncul atas deklarasi tersebut bagi keberlangsungan dialog antar-agama. Kesalahpahaman dapat muncul dari deklarasi ini karena kegagalan untuk membedakan secara esensial antara studi tentang tradisi religius, teologi agama-agama, dan dialog antar-agama. Untuk itu diperlukan penjernihan penafsiran dengan pendekatan yang menyeluruh dari sisi studi tentang tradisi religius, teologi agama-agama dan dialog antar-agama[4]. Secara khusus, studi tentang tradisi-tradisi religius, teologi agama-agama, dan dialog antar-agama ini dipahami dalam konteks dunia postmodern dengan segala karakternya. Arus postmodern ditandai oleh lahirnya pluralitas budaya yang mulai bersuara, globalisasi dan neo-liberalisme. Ciri dasar dari realitas postmodern adalah berkembangnya pluralisme, narasi kecil, dissensus (diversitas/keterpecahan), dan pertanyaan tentang akhir sejarah. Dalam kehidupan sosial, postmodernisme ditandai dengan muncul dan berkembangnya semangat lokal, munculnya pencitraan yang tidak lagi sebagai gambaran realitas tetapi menjadi entitas tersendiri, dan berkembangnya masyarakat informasi[5]. Kiranya, deklarasi Dominus Iesus muncul sebagai salah satu sikap iman Gereja pada Kristus di tengah dunia dengan arus pemikiran/budaya postmodern yang mulai disadari sebagai salah satu tantangan bagi hidup beriman. Refleksi itu muncul sebagai sebuah sikap iman inklusif Gereja pasca Konsili Vatikan II atas relativisme iman yang mulai tampak di tengah arus postmodernitas. Dokumen Dominus Iesus muncul seolah sebagai jawaban atas problem kristologis era postmodern yang oleh Colin Greene dalam bukunya Christology in a Cultural Perspective mengungkap tentang krisis refleksi teologis di era postmodern. Greene menulis  bahwa masa transisi zaman modern menuju postmodern sekedar menampilkan pertumbuhan pusat-pusat kekuasaan baru dan jaringan-jaringannya yang kemudian menyebar kemana-mana (meng-global). Manusia akhirnya menjadi budak sistem dari masyarakat rasional lanjut. Saat itulah teologi yang mendasarkan refleksinya pada pola pikir modernitas mengalami krisis karena tak lagi mampu menjawab situasi konkret dari suatu komunitas iman tertentu[6]. Meski demikian, pokok iman kristiani akan selalu diwartakan dan dihidupi oleh Gereja di sepanjang zaman dan di segala tempat. Hal ini menjadi esensi dari perutusan Gereja sebagaimana tertuang dalam kalimat pertama dokumen Dominus Iesus: The Lord Jesus, before ascending into heaven, commanded his disciples to proclaim the Gospel to the whole world and to baptize all nations: ‘Go into the whole world and proclaim the Gospel to every creature. He who believes and is baptized will be saved; he who does not believe will be condemned’ (Mrk 16:15-16).
            Perutusan ini berlangsung di sepanjang zaman dan berhadapan dengan beragam realitas budaya serta keyakinan religius dari begitu banyak manusia yang ada dalam dunia ini. Iman akan Yesus Kristus Sang Penyelamat serta satu-satunya Perantara antara Allah dan manusialah yang mempersatukan Gereja untuk teguh dalam berziarah hingga kesempurnaannya di dalam Kristus. Dalam hal ini, Gereja hanya ada karena Kristus Sang Kebenaran, maka pernyataan iman akan Yesus Kristus sebagai pusat kebenaran dan kehadiran definitif Allah bagi keselamatan manusia yang secara khusus dilanjutkan oleh Roh Kudus dalam Gereja perlu mendapat tekanan khusus di tengah-tengah krisis iman dalam dunia saat ini.

Dominus Iesus: Kristologi dari Atas
            Menghadapi arus postmodernisme yang memunculkan bahaya relativisme iman di tengah pluralitas budaya dan agama, Gereja perlu menegaskan kembali pokok imannya akan Kristus. Penegasan ini merupakan refleksi kristologis yang menyatakan iman kristiani terhadap Kristus yang adalah satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup; kepenuhan wahyu Allah dalam sejarah yang definitif lagi absolut (DV 4). Refleksi iman ini berpijak dari Kitab Suci dan Tradisi yang diturunkan sejak para Rasul bahwa Kristus adalah pribadi kedua Trinitas yang mewahyukan diri-Nya bagi keselamatan manusia. Secara khusus, refleksi iman dalam dokumen Dominus Iesus ini menampakkan refleksi Kristologis dari Atas (Christology from Above) yang menyatakan bahwa iman akan Yesus Kristus, Sang Inkarnasi Sabda Bapa telah menyatukan Gereja sebagai sakramen keselamatan bagi dunia. Kebenaran iman akan Kristus yang telah tertulis dalam Kitab Suci ini menjadi dasar bagi Gereja untuk selalu memelihara iman kristiani sejak para Rasul. Tema-tema yang dirumuskan dalam dokumen ini pun berpijak dari refleksi kristologis alkitabiah (khususnya Injil Yohanes dan Surat-surat Paulus) dan kristologi dogmatik Tradisi. Dalam dokumen ini ditekankan tentang Kristus yang diimani oleh Gereja sebagai Sabda Allah, satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup bagi keselamatan manusia. Meski demikian, dokumen ini tidak meninggalkan sisi historis dari pribadi Yesus yang sungguh-sungguh manusia yang hidup dalam periode sejarah tertentu (inkarnasi sabda). Hal ini tampak dalam uraian bab I dokumen Dominus Iesus yang tertulis demikian: In fact, it must be firmly believed that, in the mystery of Jesus Christ, the incarnate Son of God, who is "the way, the truth, and the life" (Jn 14:6), the full revelation of divine truth is given: "No one knows the Son except the Father, and no one knows the Father except the Son and anyone to whom the Son wishes to reveal him" (Mt 11:27); "No one has ever seen God; God the only Son, who is in the bosom of the Father, has revealed him" (Jn 1:18); "For in Christ the whole fullness of divinity dwells in bodily form" (Col 2:9–10). Faithful to God's word, the Second Vatican Council teaches: "By this revelation then, the deepest truth about God and the salvation of man shines forth in Christ, who is at the same time the mediator and the fullness of all revelation." Furthermore, "Jesus Christ, therefore, the Word made flesh, sent 'as a man to men,' 'speaks the words of God' (Jn 3:34), and completes the work of salvation which his Father gave him to do (cf. Jn 5:36; 17:4). To see Jesus is to see his Father (cf. Jn 14:9). For this reason, Jesus perfected revelation by fulfilling it through his whole work of making himself present and manifesting himself: through his words and deeds, his signs and wonders, but especially through his death and glorious resurrection from the dead and finally with the sending of the Spirit of truth, he completed and perfected revelation and confirmed it with divine testimony.
            Tak dapat dipungkiri bahwa pengenalan akan Yesus pun tak dapat dilepaskan dari komunitas yang mengimani-Nya. Iman komunitas akan Kristus turut mewarnai pengenalan akan pribadi Yesus Kristus, sebagaimana diungkapkan oleh Larry W Hurtado dalam bukunya yang berjudul Lord Jesus Christ. Dalam bukunya, Larry W Hurtado mengungkapkan bahwa pada jemaat kristiani awal, khususnya dalam Perjanjian Baru muncul devosi terhadap Yesus. Devosi-Yesus ini merupakan bentuk binitarian dari monotheisme; artinya ada dua figur yang dapat dibedakan yaitu Allah dan Yesus, tetapi keduanya dipandang dalam satu relasi. Hurtado berpendapat, devosi-Yesus mencakup suatu adaptasi tradisi perantara-utama Allah: Apa yang dikerjakan Yesus menunjuk pada karya Allah[7]. Maka kiranya, munculnya dokumen Dominus Iesus tidak bisa dilepaskan dari konteks komunitas yang mengimani Kristus dimana sejarah telah membentuk sedemikian rupa mulai dari jemaat Perjanjian Baru hingga saat ini. Pengenalan terhadap pribadi Yesus Kristus tidak mungkin melepaskan iman jemaat akan pribadi Yesus Kristus sebagai Mesias. Sehingga menjadi jelaslah bahwa refleksi kristologis dalam dokumen Dominus Iesus ini adalah refleksi Gereja tentang Yesus Kristus yang diimani oleh Gereja di tengah dunia postmodern dengan tantangan relativisme imannya. Refleksi ini merupakan sebuah usaha pertanggungjawaban iman terhadap Yesus Kristus di tengah dunia saat ini demi keselamatan (fides quaerens intellectum), iman yang mencari pemahaman sebagai wujud komunikasi sekaligus pewartaan kebenaran iman itu sendiri bagi realitas dunia yang terdiri dari beranekaragam manusia dengan berbagai macam latar belakang sosial, budaya, agama (keyakinan religius) dan dinamika sejarahnya.


Kristologi dalam Dialog (Dominus Iesus dan Postmodernisme)
Munculnya dokumen Dominus Iesus mendapatkan banyak reaksi dan tanggapan daro para teolog Katolik berkaitan dengan dialog antar-agama. Bahasa dokumen dipandang tidak memberi peluang bagi terjadinya dialog antar-agama (sebuah panggilan  Gereja di tengah dunia saat ini di antara berbagai macam agama dan keyakinan religius). Gereja yang mewartakan Kristus dan Kerajaan Allah tidak lagi berhadapan dengan orang-orang ‘kafir’ (yang belum menerima Injil dan juga agama-agama lainnya). Gereja saat ini tengah berhadapan dengan pluralitas budaya, agama dan arus pemikiran postmodern. Muncul pertanyaan apakah dokumen Dominus Iesus sebagai pernyataan iman akan Yesus Kristus  sebagai satu-satunya kepenuhan wahyu Allah tidak justru menutup pintu dialog dengan agama lain yang juga meyakini pewahyuan dalam agamanya merupakan satu-satunya kepenuhan wahyu Allah? Lantas dialog macam apakah yang mungkin terjadi berkaitan dengan munculnya dokumen tersebut? Bagaimana dokumen Dominus Iesus  berhadapan dengan realitas budaya sebagaimana terjadi dalam sebuah film  yang berjudul  Eve and The Fire Horse? Dalam film tersebut dikisahkan tentang imaginasi liar dari Eve Eng, seorang gadis sembilan tahun dari keluarga imigran Cina yang hidup di Vancouver Kanada, tentang ‘keselamatan’. Imaginasi ini tumbuh ketika keyakinan religius Konfusius begitu kental mewarnai keluarganya sementara di dalam hidup keseharian ia juga bertemu dengan keyakinan religius lain yakni Budhisme dan Katolik.  Imaginasi tentang keselamatan ini tumbuh berdasarkan latar belakang keyakinan Cina bahwa ia lahir dalam tahun bershio Kuda Api (orang bershio Kuda Api diyakini akan selalu menemui kesialan) serta perjumpaannya dengan pengalaman-pengalaman penderitaan. Pengalaman-pengalaman itu adalah peristiwa keguguran  bayi ibunya (calon adiknya), sakitnya sang nenek hingga meninggalnya serta perjumpaannya dengan teman-temannya yang miskin. Pengalaman-pengalaman itu membawanya terbang bersama dengan imaginasinya mengenai keselamatan setelah hidup di dunia. Jiwanya yang sederhana selalu mempertanyakan tentang keselamatan  itu meski ia sebenarnya hanya menerima begitu saja apa yang diyakinkan oleh orang-orang di sekitarnya (orang tua, nenek, kakak dan teman-temannya di sekolah). Situasi semakin kompleks ketika kakaknya, Kareena Eng, yang saat itu berumur sebelas tahun, mulai mengenal dan menerima Yesus Kristus sebagai Sang Juru Selamat setelah mendapat sebuah buku dari dua pewarta Kristiani yang mendatangi rumahnya. Meski akhirnya sang kakak mulai memutuskan untuk menerima iman Katolik sebagai iman yang akan membawanya kepada keselamatan, namun Eve tetap saja tidak hendak memutuskan untuk memilih meyakini satu jalan dari keyakinan-keyakinan religius yang pernah ditemuinya.
            Dalam konteks film ini, Yesus dipandang sebagai salah satu pembawa keselamatan yang abadi karena Ia adalah orang yang baik. Mengikuti kebaikan Yesus adalah salah satu jalan menuju ke surga (keselamatan) yang juga dapat ditemukan pula dalam diri tokoh-tokoh suci dari keyakinan-keyakinan religius yang pernah dikenalnya (Konfusius dan Budhisme). Eve tidak mengenal Yesus sebagai satu-satunya jalan keselamatan yang sejati sebagaimana dialami oleh kakaknya, namun ia berusaha untuk menerima keyakinan-keyakinan itu sebagai jalan yang unik pula dalam mencapai keselamatan. Apakah keyakinan seperti ini dikatakan sebagai keyakinan yang salah dan sesat?
            Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut, kiranya tulisan dari Conrad T. Gromada, How Would Karl Rahner Respond to Dominus Iesus dalam Jurnal Philosophy and Theology dapat dijadikan acuan. Dalam tulisan tersebut, Conrad T. Gromada berusaha menanggapi dokumen dengan perspektif pemikiran teologis Karl Rahner. Diakuinya, dokumen Dominus Iesus merupakan pernyataan yang tepat dari Gereja tentang imannya di tengah menghadapi bahaya relativisme iman. Meski demikian pembacaan yang jernih atas refleksi kristologis kontekstual atas dokumen tersebut harus terus dilakukan dalam rangka dialog. Berpijak dari pemikiran Karl Rahner, ia menyebutkan  tiga hal dasar yang harus dipegang dalam rangka membaca dokumen tersebut. Ketiga hal ini turut mewarnai refleksi kristologis kontemporer berhadapan dengan dunia saat ini. Ketiga hal tersebut adalah:
1.      Tidak dapat dipungkiri bahwa Rahner akan tetap berpegang bahwa Gereja Katolik perlu berpikir tentang dirinya sendiri sebagai satu-satunya dan kehadiran total dalam sejarah tentang satu Allah-manusia dalam kebenaran dan rahmat serta memiliki hubungan fundamental dengan semua orang. Gereja Katolik tidak dapat dengan mudah berpikir tentang dirinya sebagai bagian dari gereja-gereja kristen dan juga komunitas-komunitas agama lainnya. Gereja Katolik harus memegang iman akan Yesus Kristus sebagai satu-satunya kebenaran absolut.
2.      Meski demikian, Rahner juga mengungkapkan bahwa menjadi benar-benar kristiani (beriman pada Kristus sebagai satu-satunya kebenaran absolut) adalah sebuah proses. Hal ini terjadi karena manusia hidup dalam keterbatasan dan kemiskinan bahasa untuk menangkap keagungan dan keluasan misteri Allah dalam Kristus ini.
3.      Membaca dokumen ini hendaknya didasari oleh semangat kerendahan hati bahwa pernyataan iman ini bukan dalam kerangka persaingan dengan komunitas agama lainnya. Gereja dipanggil untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Gereja diundang bukan untuk memaksakan imannya kepada yang lain[8].
            Ketiga hal berikut menjadi dasar sikap bagi refleksi kristologi yang lebih inklusif dalam menanggapi dokumen Dominus Iesus. Dari sikap-sikap berikut, dapat dikembangkan suatu kristologi yang berciri dialog. Dengan kata lain, refleksi teologis atas Kristus lebih bernada inklusif universal, berpijak dari Kitab Suci dan Tradisi serta menggunakan bahasa universal yang memungkinkan pemahaman bagi setiap orang (intelligible)[9].

Bahasa Universal Kristologi: Berpijak dari Realitas Manusia Menuju Kristus
            Mengikuti pemikiran Rahner, berbicara mengenai kristologi adalah berbicara tentang realitas keseluruhan kristianitas, keseluruhan eksistensi manusia serta kekayaan misteri kehidupan dalam berbagai dimensinya. Selain itu, kristologi berkaitan dengan keseluruhan misteri eksistensi manusia di hadapan misteri Tertinggi dari dirinya sendiri yakni Tuhan. Berbicara tentang kristologi juga melibatkan teologi-teologi lainnya tentang hidup manusia seperti teologi kasih, kematian dan masa depan manusia. Dalam pendekatan kristologinya, Rahner tidak memulai refleksinya dengan Kristologi dari Atas, melainkan Kristologi dari Bawah yang secara khusus berpijak dari realitas manusia yang selalu dalam proses ‘menjadi’ menuju kepada kepenuhan sebagai manusia sejati[10].  Pendekatan ini dirasa sebagai pendekatan yang berciri dialog karena berpijak dari realitas manusia sebagai pribadi yang selalu berproses ‘menjadi’. Proses ‘menjadi’ ini adalah realitas penyelamatan manusia dengan mengangkat dimensi-dimensi keutamaan dan martabat manusiawi sebagai unsur-unsurnya. Secara khusus, ia melihat bahwa penyelamatan manusia terjadi karena cinta tanpa syarat (unconditional love) Allah. Cinta yang tanpa syarat ini telah hadir secara penuh di dalam Yesus Kristus yang hidup, berkarya hingga memuncak dalam sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya demi cinta-Nya pada manusia. Hal inilah yang menjadi bahasa dasar untuk memahami bahwa Yesus Kristus adalah realitas cinta Allah bagi manusia demi keselamatan manusia. Yesus Kristus adalah jawaban dari perjalanan (pertanyaan)  proses manusia untuk menjadi manusia secara penuh (selamat). Yesus Kristus adalah kepenuhan wahyu Allah dan manusia sempurna (the fulness of man) yang unik, satu-satunya dan definitif hadir dalam sejarah.
            Dari perspektif tersebut dapat dipahami adanya relasi antara tradisi-tradisi religius mistik dan kekristenan dalam realitas manusia yang tengah berproses menuju kepada Sang Misteri Agung, Realitas Tertinggi dan Penyelamat Sejati. Salah satu contoh yang dapat diangkat dalam konteks ini adalah pengalaman seorang imam Katolik berkebangsaan Perancis, Henri le Saux yang telah membangun jembatan antara spiritualitas India dan kristianitas serta mistisisme; diantara tradisi biara Hindu India kuno dan tradisi monastik kristiani era Bapa-bapa Padang Gurun. Dari pengalamannya mendalami (berinkulturasi) tradisi mistisisme Hindhu Advaitic, ia merasa dapat mengenal Kristus secara lebih dalam[11]. Tulisannya yang terkenal berjudul Saccidananda. Dalam tulisan itu, ia menyatakan bahwa dengan mengalami Injil Kristus sebagai satu-satunya yang absolut di dalam inti jiwanya (dipengaruhi tradisi Hindhu Advaitic dalam mistisismenya), ia membawa pengalaman mistiknya dalam Hindhu Advaitic ke dalam harmoni dengan pengalaman kekristenannya. Dalam tulisan tersebut, ia juga mengemukakan pandangannya tentang misteri Trinitas sebagai pusat iman Kristiani. Bagi dia, Trinitas bukanlah sebuah ide abstrak melainkan sebuah komunitas yang hidup yang terjadi antara Allah dan manusia. Untuk mencecap misteri Trinitas berarti juga harus mencecap misteri manusia secara penuh. Melalui pengalaman mistik Advaitic-nya, le Saux mengalami Realitas Tertinggi sebagai Keberadaan (being/sat), kesadaran (awareness/cit), dan kebahagiaan (bliss/ananda). Di dalam sat, orang kristiani mengalami Bapa sebagai sumber segala sesuatu; di dalam cit, Putra sebagai Sabda dan Pikiran Bapa; sementara dalam ananda, Roh Cinta antara Bapa dan Putra. Akhirnya, melalui kesadaran jiwa terdalamnya,  manusia disadarkan tentang Allah dan melalui kesadaran tentang Allah ini manusia dibawa ke dalam inti misteri Bapa dimana Roh-Nya telah mengutus Sabda-Nya menjadi manusia bagi dunia. Pengalaman ini dimaknai oleh le Saux sebagai pengalaman perjumpaan dengan Yesus Kristus yang adalah wajah Bapa dan Putra di dalam Roh Kudus[12]. Dari pengalaman ini, dapat dikatakan bahwa pengalaman manusia untuk mencapai yang sejati dan absolut adalah pengalaman untuk mengalami Kristus. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Pierre Teilhard de Chardin. Ia menulis demikian: “All human striving, scientific or religious must eventually lead to whorship, adoration and ectasy. Science, evolution, religion, and mysticism therefore pertain to the one central longing of human heart: to find a personal totality that it can ultimately love. I believe that the universe is an evolution, I believe that evolution proceeds toward spirit. I believe that in man, spirit is fully realized in person. I believe that the supremely personal is the universal Christ[13]. Dari kedua pengalaman ini, kita dapat mengatakan bahwa salah satu jembatan dialog antara kristologi khas Kristen Katolik dengan tradisi-tradisi religius dalam agama-agama adalah mistisisme.
4. Teologi Salib sebagai sebuah Jembatan Dialog
            Meski mistisisme dapat menjadi bahasa dialog namun secara konkret tema yang diangkat sebagai bahasa bersama dalam mengalami Kristus antara tradisi kristiani dengan konteks pluralitas belum begitu terfokus dan tampak. Untuk itu, saya mengusulkan sebuah tema yang dapat diangkat sebagai refleksi kristologi dalam dialog yakni teologi salib Kristus. Pertanyaan dasarnya adalah bagaimana Yesus Kristus yang hadir dalam sejarah adalah Sabda Allah, Kebenaran Sejati dan tujuan akhir dari proses manusia menuju realitas kepenuhannya ini mampu ditangkap, dipahami dan dihayati oleh semua orang dengan segala keunikannya (termasuk dengan segala latar belakang keyakinan religiusnya)?
            Saya mengusulkan tema teologi salib Kristus karena dengan mengalami salib, Yesus Kristus  menyatakan diri sebagai cinta Allah yang tanpa syarat bagi manusia. Penderitaan Kristus di salib merupakan model (prototype) bagi penderitaan manusia. Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti mengalami penderitaan. Proses penyelamatan pun berawal dari adanya realitas penderitaan dalam hidup manusia karena dosa. Penderitaan menjadi bahasa universal manusia dalam rangka berproses menuju kepenuhannya (selamat). Keselamatan itu bukan didapatkan dengan menghancurkan penderitaan atau lari darinya tetapi justru dengan menerima salib sebagai komitmen terhadap cinta. Spiritualitas cinta yang membuat Yesus menerima salib ini membawa pada kenyataan kenosis (pengosongan diri) sebagai jalan keselamatan. Kristuslah satu-satunya manusia yang telah mampu membuka jalan keselamatan itu dengan realitas salib (kenosis). Dengan saliblah, realitas cinta Allah yang transenden  menjadi imanen dan dekat dengan manusia. Salib Yesus menyimpan suatu paradoks. Allah yang jauh sekarang menjadi dekat, Allah yang meninggalkan ternyata menyertai dan menyelamatkan. Paradoks kebenaran Allah dalam Salib Kristus itu diungkapkan oleh Jurgen Moltmann dalam bukunya The Crucified God dengan amat menarik: “ For man seeks God in the law, and attempts to conform to him through the works of the law, in order to bring himself into the righteousness of God. If he sees and believes in God in the person of Christ, condemned by the law, he is set free from the legalist concern to justify himself. Man seeks God in the will for political power and world domination. If he sees and believes God in Christ who powerless and crucified, he is set free from the desire to have power and domination over others. Man seeks to know God in the works and ordinances of the cosmos or the course of world history, in order to beome divine himself through knowlegde. If he sees and believes God in the suffering and dying Christ, he is set free from the self-deification which guides him toward knowledge. Thus the knowledge of God in the crucified Christ takes seriously the situation of man in pursuit of his own interests, man who reality is inhuman, because he is under the compulsion of self-justification, dominating self-assertion and illusionary self-deification[14]. Dengan salib itulah, kasih Allah sungguh menyentuh realitas manusia senyatanya dan membawa pembebasan atas hidup manusia yang selalu berada dalam ketidaksempurnaan dan penderitaan karena  egosentrisme manusia[15]. Penderitaan (kemiskinan, keterasingan, tidak dicintai, penindasan, kekerasan, penyakit dan kematian) adalah realitas konkret yang dialami oleh manusia dalam perjalanannya menuju yang sejati. Hal yang sama dialami juga oleh Budha dalam samsara, Hindhu dalam Dharma, serta perjuangan nabi-nabi dalam mewartakan kebenaran sejati dari Allah. Peristiwa Salib Kristus merangkum seluruh peristiwa itu karena Ia adalah representasi dari cinta Allah sendiri yang rela hadir dalam realitas penderitaan manusia (solider) hingga titik terendah pengalaman manusia, yakni kematian hina di kayu salib.
Dalam hidup, sabda, karya dan terlebih melalui sengsara serta wafat-Nya di salib, Kristus hadir sebagai realitas konkret kasih Allah bagi manusia. Dalam peristiwa itulah inkarnasi Allah dalam sejarah manusia mencapai puncaknya[16]. Kristus yang tersalib adalah solidaritas konkret Allah yang transenden ke dalam hidup manusia karena  cinta kasih-Nya[17]. Mengenai Allah yang mengasihi manusia ini, Jurgen Moltmann mengungkapkan tentang pathos Allah. Refleksinya tentang pathos Allah ini berdasarkan pada perjalanan umat Israel dengan para nabinya yang mengalami situasi Allah (situation of God). Dalam perjalanan umat Israel, Allah sungguh dekat dan terlibat dengan umat-Nya dalam mengalami realitas hidupnya sehari-hari, termasuk dalam penderitaan manusia karena murka-Nya (the warth of God). Cintalah  yang menjadi sumber dari segala keterlibatan ini, termasuk sikap murka, sebab lawan dari cinta adalah sikap acuh tak acuh (indifferent). Karena cinta, Allah sungguh hadir secara dekat serta terlibat hidup dengan manusia.[18]. Dalam cinta pulalah terjadi perjumpaan antara Kasih Allah dan tanggapan iman manusia akan kasih-Nya.
Kasih Allah dalam Kristus menjadi sumber daya gerak dalam semangat solidaritas untuk mengasihi sesama. Kasih ini tampak dalam diri Kristus yang telah hidup, menderita, wafat dan bangkit demi manusia sebagai kebenaran sejati[19]. Kebenaran inilah yang menjadi rahmat panggilan-Nya yang memampukan manusia untuk sampai kepada Allah yang adalah kebenaran. Yesus menjadi bahasa Allah dan wujud kasih Allah yang berbagi hidup/terlibat hidup dengan manusia dengan segala realitas yang dialami oleh manusia: hidup, berjuang, menderita, sakit dan mati. Realitas hidup manusia yang mengalami penderitaan setelah penciptaan adalah  bahwa karena dosa Adam, manusia harus menjalani hidup dengan penuh perjuangan, mengalami jerih lelah, sakit dan akhirnya mati (Kej 3:17-19). Pertanyaan tentang  adanya penderitaan manusia ini merupakan pertanyaan yang fundamental bagi eksistensi manusia. Pertanyaan ini berusaha  dijawab oleh para teolog Kristiani di sepanjang  zaman, mulai dari Agustinus hingga saat ini. Dalam tulisannya yang berjudul Why does God Allow us to Suffer? secara khusus Karl Rahner membahas tentang penderitaan manusia. Ada beberapa point refleksi yang diungkapkannya berkaitan dengan mengapa dalam dunia ini manusia mengalami penderitaan yakni: (1)Suffering as a natural side effect in an evolving world, (2)suffering as effect of creaturely,sinful freedom, (3)Suffering as a situation of trial and maturing, (4)suffering as a pointer to another, eternal life, (5)The incomprehensibility of suffering as part of the incomprehensibility of God[20].
Kristus sebagai kebenaran sejati yang hadir sebagai bahasa serta kasih Allah dalam berbagi hidup/terlibat hidup dengan manusia ini menggerakkan  manusia dalam melakukan tindakan moral. Perjuangan dalam berbagi hidup dengan orang lain (terutama yang menderita) ini adalah wujud perjumpaan antara wahyu dan iman yang membawa keselamatan, meski kematian tak terelakkan, sebagaimana juga dialami oleh Kristus. Dalam perjuangan itu terjadilah relasi timbal balik antara panggilan Allah dan tanggapan manusia untuk memenuhi panggilan-Nya demi kebenaran sejati oleh karena kasih-Nya.

5. Salus animarum suprema lex
            Melalui pemaknaan atas Kristus yang tersalib inilah kebenaran sejati Yesus Kristus sebagai Sabda Allah dan satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup menuju Allah dalam dokumen Dominus Iesus akan mendapatkan bahasa dialogisnya. Dalam hal ini, kebenaran Allah dimaknai dalam kasih terhadap sesama demi pembebasan melalui misteri salib. Pemahaman ini akan menggerakkan manusia untuk mau terlibat bagi perjuangan ke arah kebenaran universal yang terkandung dalam cinta melalui peristiwa salib Yesus. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada dalam hukum kebenaran Allah memiliki tujuan demi penyelamatan jiwa-jiwa (Salus animarum suprema lex)  yang juga mengalami peristiwa salib seperti Yesus karena egosentrisme pribadinya. Bahasa ini akan mampu menjadi bahasa universal bagi pembebasan manusia seluruhnya, yang juga dipahami dan dijunjung tinggi oleh agama-agama yang lainnya. Dengan pemaknaan bersama atas salib Kristus ini, agama-agama diajak untuk lebih bekerjasama dalam usaha mencapai masyarakat yang lebih bermoral sebagaimana cinta Kristus bagi manusia dengan salib-Nya. Teologi Salib akan menjadi bahasa dalam memahami dan menangkap kehendak Allah bagi keselamatan manusia sekarang dan yang akan datang. Keselamatan sekarang menyangkut pertobatan sosial dan pembebasan manusia dari penderitaan karena dosa; sementara keselamatan yang akan datang menyangkut keselamatan kekal dimana manusia telah mencapai kesejatian dirinya yang bersatu dengan Allah, Sang Kebenaran Sejati, Realitas tertinggi.

6. Penutup
             Dalam penggalan bab kesimpulan dari Dokumen Dominus Iesus tertulis: Misteri keKristenan sendiri, melampaui segala rintangan waktu dan tempat, dan menyempurnakan persatuan seluruh umat manusia: "Dari tempat dan tradisi yang berbeda semuanya dipanggil di dalam Kristus untuk berbagi di dalam persatuan keluarga anak-anak Allah. Yesus menghancurkan tembok-tembok pemisah dan menciptakan kesatuan dalam kebersamaan dalam misteriNya yang tidak terlampaui. Dari pernyataan berikut, apakah Gereja telah sungguh-sungguh mengikuti Kristus secara penuh?  Bagaimanakah Gereja menjalankan misi Kristus untuk menyempurnakan persatuan seluruh umat manusia ketika berhadapan dengan realitas postmodernisme? Apakah Gereja telah sungguh-sungguh mengikuti Kristus yang tersalib dengan semangat kenosis yang  berciri pembebasan dan bersumber dari kebenaran salib demi keselamatan manusia seluruhnya? Bagaimanakah spiritualitas salib ini menggerakkan Gereja untuk terlibat dalam aksi konkret bagi pembebasan orang-orang miskin, menderita, terasing dan tertindas  dengan bekerja sama bersama agama-agama lainnya yang juga merasa memiliki panggilan yang sama meski tidak mengenal Kristus[21]? Akhirnya, sebuah kesimpulan dapat ditarik dari seluruh diskusi kita dalam tulisan ini. Kesimpulan ini masih merupakan hipotesis yang ditarik dari pemaknaan atas Salib Kristus sebagai tema pokok refleksi kristologi saat ini yang memanggil segenap manusia untuk mengikuti jejak salib-Nya demi kebenaran sejati. Kesimpulan tersebut adalah:
            Melalui hidup, karya dan sabda-Nya yang memuncak dalam sengsara dan wafat-Nya di salib, Kristus sebagai sabda Allah mewartakan Kerajaan Allah demi keselamatan manusia. Dalam dunia saat ini, wajah Kristus yang tersalib hadir dalam diri orang-orang lemah, miskin dan tersingkir yang menderita karena dosa serta hadir dalam diri orang-orang yang berjuang bagi orang-orang lemah, miskin dan tersingkir demi kesejahteraan bersama.






















Daftar Bacaan
A. Buku/Skripsi/Dokumen Gereja
1.      Jurgen Moltmann, The Crucified God, London: SCM Press Ltd, 1974.
2.      Karl Rahner, “Why does God Allow us to Suffer?” dalam Theological Investigations: Volume Nineteen, London: Darton, Longman & Todd, 1984.
3.      Karl Rahner, “Faith as Courage” dalam Theological Investigations: Volume Eighteen, London: Darton, Longman & Todd, 1984.
4.      Paus Benedictus XVI, Deus Caritas Est, (God Is Love) Encyclical, Vatican 25 Januari 2006.
5.      Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris (On the Christian Meaning of Human Suffering),11 Februari 1984.
6.      KWI, Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ, 1993.
7.      Harvey Egan, SJ, An Anthology of Christian Mysticism, The Liturgical Press, Minnesota, 1991.
8.      Larry W Hurtado, Lord Jesus Christ:Devotion to Jesus in Earliest Christianity, Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co, 2005.
9.      Karl Rahner and Wilhelm Thusing, A New Christology, Burns and Oates, London, 1980.
10.  Yohanes Ari Purnomo, Narasi Kecil sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern menurut Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2006.
11.  Congregation for the Doctrine of the Faith, Dominus Iesus, Vatican, 6 Agustus 2000.
B. Artikel
1.      Yonky Karman, Membumikan Teologi Penderitaan, Mirifica E-News (http://mirifica.net), 28 Maret 2005-09.18.
2.      Conrad T. Gromada, “How Would Karl Rahner Respond to Dominus Iesus?” dalam Philosophy and Theology, 2001.
3.      F.L. Kabasele, “Some views on Dominus Iesus, dalam Theology Digest, 2002.
4.      TA Deshi Ramadhani, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/21/opini/ 1701701.htm.
5.      Kumpulan Paper Kelompok Presentasi Mata Kuliah Kristologi Kontekstual, FTW, 2008.
6.      M. Amaladoss, SJ, “An Indian Christology: The Dialogue Continued” dalam Vidyajyoti: Journal of Theological Reflection, 1999.
7.      Yusdani, “Dari Teologi Transendental Menuju Teologi Humanis”. Makalah ini disampaikan pada acara diskusi rutin Teologi Islam Humanis yang diadakan oleh Pusat Studi Islam UII, Jumat Malam,  di Jln Suroto Yogyakarta, 1 November 2002.

C. Film
1.      Eve and The Fire Horse dibintangi oleh Hollie Lo, Vivian Wu, Phoebe Kut. Film ini disutradarai oleh Julia Kwan dan diproduksi oleh Golden Horse Productions, 2006.




[1] TA Deshi Ramadhani, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/21/opini/1701701.htm
[2] Relativisme adalah sikap yang yakin bahwa segala sesuatu adalah relatif; bahwa segala sesuatu ditentukan bukan oleh apa yang ada dalam dirinya sendiri, melainkan oleh hubungan (Latin: relatio) antara sesuatu dan sesuatu yang lain. Relativisme iman adalah sikap yang menghayati iman bukan dengan keyakinan akan apa yang ada dalam kekayaan iman tertentu, melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan dengan iman lain. Relativisme menomorduakan gerakan ke arah dalam karena terus menyibukkan diri dengan pandangan ke arah luar. Relativisme menghindari kejujuran untuk melihat ke-khas-an yang berbeda di dalam karena terus mencoba menemukan ke-umum-an yang sama di luar, ibid., TA Deshi Ramadhani, http:// www.kompas.com/ kompas-cetak/0504/21/opini/1701701.htm

[3] To me, Christianity seems to be the best religion, but I cannot claim it is the only window through which God can best show himself to all humanity. It is true that Jesus Christ has said all there is to say of God, but we will never finish expressing Jesus Christ. No one can claim to be Christ’propietor.F.L. Kabasele, “Some views on Dominus Iesus, dalam Theology Digest, 2002, hal.47-49
[4] Ibid, hal.47-49
[5] Lih. Yohanes Ari Purnomo, Narasi Kecil sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern menurut Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2006, hal.42
[6] Lih. Paper Kelompok Presentasi Kristologi Kontekstual tentang buku Christology in a Cultural Perspective karangan Colin Greene, FTW, 2008
[7] Lih, Larry W Hurtado, Lord Jesus Christ:Devotion to Jesus in Earliest Christianity, Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co, 2005, hal.52-53
[8] Conrad T. Gromada, “How Would Karl Rahner Respond to Dominus Iesus?” dalam Philosophy and Theology, 2001, hal.425-426
[9] Lih, beberapa ukuran yang menjadi ciri tanggung jawab kristologi modern dari Tatha Willey dalam buku Thingking of Christ.
[10] Karl Rahner and Wilhelm Thusing, A New Christology, Burns and Oates, London, 1980, hal.3
[11] Harvey Egan, SJ, An Anthology of Christian Mysticism, The Liturgical Press, Minnesota, 1991, hal. 588.
[12] Ibid, hal.589-590.
[13] Ibid, hal.559.
[14] Jurgen Moltmann, The Crucified God, London: SCM Press Ltd, 1974,hal.69
[15] Yonky Karman, Membumikan Teologi Penderitaan, Mirifica E-News (http://mirifica.net), 28 Maret 2005-09.18
[16]  In my vision of God’s plan for the universe, I take seriously the historical intervention of God in Jesus Christ. The intervention of God in Jesus has made a real and specific difference to the historical realization of actualization of God’s salvific mystery. I see the mission of Jesus and of his disciples as one of gathering together, of reconciliation, of all things and people, not only in some mysterious way, but in and through historical presence, involvment and action. We cannot therefore think of God’s plan of universal salvation without Jesus Christ.,Lih, M. Amaladoss, SJ, “An Indian Christology: The Dialogue Continued” dalam Vidyajyoti: Journal of Theological Reflection, 1999, hal.601
[17] Bdk,Yes 63: 7-9; Mrk 12:28-34; Mat 22: 34-40; Luk 10:25-28; 1 Kor 13: 1-13; Ef 4:15-16; 1 Yoh 4:16  God is love, and he who abides in love abides in God, and God abides in him” (1 Yoh 4:16) These words from the First Letter of John express with remarkable clarity the heart of the Christian faith: the Christian image of God and the resulting image of mankind and its destiny. In the same verse, Saint John also offers a kind of summary of the Christian life: “We have come to know and to believe in the love God has for us”. “God so loved the world that he gave his only Son, that whoever believes in him should ... have eternal life” ( Yoh 3:16) Lih. Pope Benedict XVI, Deus Caritas Est, (God Is Love) Encyclical, Vatican 25 Januari 2006
[18] His warth is injured love and therefore a mode of his reaction to men. Love is the source and the basis of the possibility of the warth of God. The opposite of love is not warth, but indifference. As injured love, the warth of God is not something that is inflicted, but a divine suffering of evil. It is sorrow which goes through his opened heart. He suffers in his passion for his people, Lih. Jurgen Moltmann, The Crucified God, London: SCM Press Ltd, 1974, hal. 27
[19] Yoh 18: 37-38a,  Yoh 8: 31-32;Rm 3:21-26. Kristus sebagai kebenaran sejati adalah kepenuhan wahyu Allah (DV 4) yang dapat diketahui dengan pasti dengan terang kodrati nalar manusia dari apa yang diciptakan (DV 6).
[20] Karl Rahner, “Why does God Allow us to Suffer?” dalam Theological Investigations: Volume Nineteen, London: Darton, Longman & Todd, 1984, hal.194-208. Lihat juga: Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris (On the Christian Meaning of Human Suffering),11 Februari 1984.
[21] Pembebasan seseorang atau sekelompok orang dari derita kemiskinan, kebodohan, ancaman ketertindasan dan perlakuan tidak adil merupakan tujuan pokok pewahyuan Islam, Lih, Yusdani, “Dari Teologi Transendental Menuju Teologi Humanis”. Makalah ini disampaikan pada acara diskusi rutin Teologi Islam Humanis yang diadakan oleh Pusat Studi Islam UII, Jumat Malam, 1 November 2002 di Jln Suroto Yogyakarta. Yusdani adalah dosen tetap FIAI UII dan Staf Divisi Kajian Pusat Studi Islam UII.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar