Sabtu, 13 Juli 2013

Catatan Harian Mengikuti Bulan Pastoral: Jumat, 12 Juli 2013



Awal hari dimulai dengan merayakan perayaan ekaristi bersama. Masih dengan model liturgi yang dipersiapkan oleh Romo Kieser, setiap hari Senin, Rabu dan Jumat. Setelah Ekaristi, dilanjutkan sarapan dan mulai masuk ke sessi pada jam 08.00. Tema sessi hari ini adalah Imamat dalam perkembangan sejarah Gereja hingga Konsili Vatikan II. Seluruh sessi dipandu oleh Rm. Madya Utama, SJ. Kami tetap duduk manis mendengarkan ulasan dari Romo Madya tentang sejarah imamat di dalam Gereja Katolik. Sessi ini merupakan kelanjutan dari Sessi sebelumnya, yakni dari Romo Indra, tentang imamat menurut Kitab Suci (PL dan PB). Secara khusus, Romo Madya menggarisbawahi tentang perubahan konsep imamat  sacerdos’ (imam kultis) ke ‘minister’ (pelayan). Dengan data-data sejarah yang disajikan secara singkat namun runtut, Romo mengungkapkan tentang dinamika perubahan konsep imamat dalam sejarah Gereja. Aku mengikuti dengan agak tertatih, karena menyadari bahwa daya tangkapku terbatas, tapi aku mencoba untuk terus mengikuti semampuku.
Ketika alur sejarah dalam pemaparan itu mulai memasuki babak Konsili Vatikan II, Romo Madya mengajak para peserta untuk berefleksi mengenai kelima bidang pastoral Gereja. Refleksi itu terkait dengan sejauh mana para imam ini melaksanakan pelayanan di dalam bidang-bidang itu, untuk melihat proporsi serta prioritasnya, agar semakin menjadi pelayan yang sungguh handal. Beberapa pertanyaan yang diolah antara lain sebagai berikut:
1.       Sebagai orang yang menerima tahbisan, Apakah yang selama ini (sudah) Anda lakukan, di bidang:
a.    Koinonia (Persekutuan)
b.    Kerugma (Pewartaan)
c.     Diakonia (Pelayanan)
d.    Leiturgia (Liturgi)
e.    Poimenik (Kesaksian)
2.       Berapakah waktu yang  Anda sediakan untuk masing-masing bidang?
3.       Apakah dampak dari yang Anda lakukan itu bagi kehidupan?

Kami mendiskusikannya dalam kelompok dan membagikan pengalaman serta pergulatan dalam memperjuangkan pelayanan pada kelima bidang itu. Dan sebelum makan siang, kami diberi teks tentang imamat dan juga pedoman pembinaan calon imam tingkat seminari tinggi. Teks itu diharapkan dibaca sebelum pertemuan  pada sessi sore harinya. Dan aku pun jatuh tertidur, tanpa sempat membacanya.

Pada Sessi sore hari, Romo Madya mengulas tentang kedua teks tersebut yang mengungkapkan tentang konteks Indonesia serta citra imam yang diharapkan. Satu hal yang amat membekas adalah ketika diungkapkan bahwa menjadi imam hendaknya menjadi seperti Kristus sendiri di tengah konteks hidup umat yang beraneka ragam dan dengan tantangan yang tidak mudah untuk dihadapi. Romo Madya mengungkapkan tentang bagaimana hidup Yesus yang sungguh membawa kebebasan bagi setiap jiwa, memperbarui segala hal, memperdamaikan siapapun juga. Akhirnya aku bertanya soal keberanian untuk teguh pada komitmen terhadap kebenaran. Sebagaimana Yesus, aku teringat kisah Romo Toro yang berjuang bersama dengan umat Tanjung Selor yang dirampas tanahnya oleh Perusahaan. Ancaman pembunuhan menjadi konsekuensi yang tidak ringan, namun dipilih karena Yesuslah yang menjadi acuan dasar dan utama. Dan untuk itu, perlu dibangun relasi yang erat dengan Allah dalam Kristus oleh Roh Kudus.
Akhirnya, aku menyadari, bahwa menjadi imam adalah bukan soal kesuksesan dalam melaksanakan tugas-tugas, tetapi soal kesetiaan dalam terlibat menghadirkan Kerajaan Allah, dalam kebersamaan, dalam dinamika, dalam perjuangan yang tidak pernah berhenti, hingga Tuhan sendiri yang menyatakan bahwa waktu kita sudah habis. Aku ingin menjadi sahabat bagi siapapun, itulah citra imam yang saat ini tinggal dalam diriku. Sebagaimana Yesus, Sang Sahabat sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar